close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pesawat N219 amfibi. Alinea.id/Aisya Kurnia
icon caption
Ilustrasi pesawat N219 amfibi. Alinea.id/Aisya Kurnia
Nasional
Jumat, 05 Agustus 2022 06:01

Di balik mangkraknya proyek pesawat N219 amfibi 

Masuk jadi salah satu proyek riset nasional 2020-2024, pengembangan pesawat N219 amfibi jalan di tempat setelah Lapan dilebur ke BRIN.
swipe

Mantan Kepala Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Gunawan Setyo Prabowo tengah gamang. Ia cemas pesawat N219 amfibi (N219A) yang digarap Lapan bersama PT Dirgantara Indonesia dan sejumlah instansi tak akan pernah terbang. Sejak 2021, proyek itu mangkrak. 

"Ada perubahan skema atau cara riset. Sekarang ini lebih ke riset dasar, semisal riset kecil-kecil seperti bahan dan sebagainya. Semua dari nol lagi. Kalau begitu, akan sangat lama sekali sampai jadi pesawatnya," ucap Gunawan kepada Alinea.id di Jakarta, akhir Juli lalu. 

Sesuai isi Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 38 Tahun 2019 tentang Prioritas Riset Nasional, pengembangan pesawat N219A merupakan salah satu proyek prioritas nasional pada 2020-2024. Dimulai sejak 2019, proyek itu diperkirakan telah memakan biaya hingga Rp117 miliar. 

Pada Permen itu, Lapan ditunjuk sebagai koordinator riset. Anggotanya antara lain, Badan Penelitan dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Balitbang Kementerian Perindustrian, dan Balitbang Kementerian Pariwisata. 

Pada September 2021, bersama tiga lembaga penelitian nonkementerian (LPNK) lainnya, Lapan dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sejak itu, menurut Gunawan, arah riset di ranah kedirgantaraan bergeser ke pengembangan teknologi dasar, semisal penelitian terkait komposit pesawat, avionic, dan sensor. Produk-produk teknologi berbasis riset terapan tak lagi "dilirik".

"Sebenarnya sudah lahir ekosistem yang saling mendukung di dunia penerbangan dengan adanya dua entitas industri komponen pesawat, yakni Indonesia Aircraft and Component Manufacturer Association (Inacom) dan IAEC. Tapi, skema riset sekarang tak memungkinkan karena semua riset BRIN hanya fokus pada riset-riset dasar," ujar Gunawan.

Gunawan menyayangkan jika proyek tersebut benar-benar dihentikan. Menurut dia, keberadaan pesawat amfibi seperti N219A penting untuk Indonesia. Selain untuk menunjang pariwisata, N219A juga bisa dimanfaatkan sebagai alat transportasi menuju pulau-pulau terpencil, penanganan bencana, dan pengawasan keamanan di perairan. 

Ia berargumen N219A juga bakal punya banyak peminat. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, ia memperkirakan negara-negara di Asia Pasifik bakal membutuhkan lebih dari 100 unit pesawat amfibi kecil dalam 10 tahun ke depan. 

"Pesawat tipe ini terutama sangat dibutuhkan untuk menjangkau daerah-daerah Indonesia yang didominasi perairan," kata pria yang kini berstatus sebagai peneliti di Pusat Teknologi Penerbangan Organisasi Riset (OR) Penerbangan dan Antariksa BRIN itu. 

Sesuai peta jalan (roadmap) pengembangan yang disusun Lapan bersama PT Dirgantara Indonesia (DI), pesawat N219A direncanakan untuk uji terbang pada 2024. Sebelum mangkrak, menurut Gunawan, para peneliti Lapan tengah merampungkan floater atau kaki pelampung pada pesawat N219A. 

Pengembangan landing gear pada pesawat yang diproyeksikan mampu mengangkut 19 penumpang itu terhenti lantaran anggaran untuk proyek disetop. "Apabila, floater sudah siap, maka pekerjaan kritis lain adalah integrasi. Ini perlu pengalaman dan biaya yang tidak sedikit," kata Gunawan.

Program Manager PT DI untuk N219, Budi Sampurno membenarkan proyek N219A mangkrak setelah Lapan dilebur ke BRIN. Ia bahkan mengaku khawatir N219A bakal benar-benar gagal mengudara karena pembiayaan untuk proyek itu disetop. 

"Anggaran BRIN diprioritaskan untuk riset di internal BRIN saja. Efek di PT DI, proses pengembangan produk baru (pesawat N219) menjadi jalan di tempat dan melambat," kata Budi saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (30/7).

Mangkraknya proyek N219 A juga menimbulkan sejumlah dampak turunan di PT DI. Budi mengungkap para engineer muda yang terlibat dalam proyek tersebut hengkang. Dari 70 orang, setidaknya ada 15 engineer PT DI yang mengundurkan diri. 

"Beberapa ada yang pindah kerja sebagai ASN (aparatur sipil negara), tapi ada juga yang pindah ke perusahaan swasta. Padahal, regenerasi engineer termasuk salah satu tatanan ekosistem yang perlu dibentuk di cetak biru industri dirgantara nasional," terang Budi. 

Budi memaparkan setidaknya ada tiga tahapan riset pesawat N219A yang masih butuh pembiayaan besar. Pertama, riset terkait peningkatan performa pesawat. Kedua, pengembangan komposit pada floater pesawat. Terakhir, pengembangan integrasi N219A. 

Menurut Budi, PT DI tidak bisa membiayai riset-riset itu sendiri tanpa ada kepastian calon pembeli. Sebagai solusi, ia mengusulkan agar lembaga-lembaga pemerintah mengijon pesawat N219A. Lembaga yang butuh pesawat amfibi, semisal Badan Keamanan Laut, Badan SAR Nasional, dan Kementerian Pertahanan.

"Sehingga PT DI bisa menyisihkan sebagian keuntungannya untuk menyelesaikan program ini. Cara ini dipakai Korea Selatan untuk mengembangkan pesawat tempur IFX yang baru-baru ini berhasil uji terbang pertama dan juga Eropa dalam mengembangkan A400 M. Pesawat ini nantinya bisa dioperasikan sendiri atau joint operation dengan maskapai," kata Budi.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko. /Foto dok. BRIN

Dukungan terbatas BRIN

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menegaskan BRIN bakal tetap mendukung kelangsungan program N219A. Namun, BRIN tidak lagi sanggup membiayai penuh semua kegiatan riset dan pengembangan N219A sebagaimana saat proyek itu masih dipegang Lapan. 

"Dukungan BRIN dalam bentuk SDM dan infrastruktur riset. Semua kami gratiskan, termasuk juga pembiayaan untuk pengembangan desain dan material bahan riset. Tetapi, kami tidak bisa membiayai modal kerja untuk manufacturing di PT DI," kata Handoko lewat pesan singkat kepada Alinea.id, Selasa (2/8).

Handoko membantah disetopnya anggaran untuk pengembangan N219A merupakan imbas dari pergeseran arah riset di BRIN. Menurut dia, keputusan itu dikeluarkan BRIN setelah mengevaluasi program riset dan mendapat masukan dari berbagai pihak.

"Kami tetap mendukung program penerbangan, baik N219 maupun PUNA. Tidak ada hubungannya dengan riset dasar atau terapan karena keduanya tidak dibedakan. Khusus untuk N219, kami minta PT DI bisa memperkuat pasar untuk tipe N219. Kalau tidak, nanti kami pengembangan terus tanpa pernah jual beneran," tutur dia. 

Lebih jauh, Handoko juga tidak sepakat bila peleburan Lapan ke BRIN dianggap merusak ekosistem industri penerbangan nasional yang sudah mulai tumbuh dan berkolaborasi. "Justru sekarang makin kuat ekosistemnya karena pengelolaan dalam satu atap," imbuh mantan Kepala LIPI itu.

Senada, Kepala Pusat Riset Teknologi Penerbangan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN Fadil mengatakan skema proyek N219A menyalahi pakem hilirisasi. Menurut dia, tak seharusnya pengembangan produk yang dihasilkan perusahaan dibiayai oleh lembaga riset. 

"Seharusnya pengembangan pesawat itu penyertaan modal itu kan dari calon pengguna. Contohnya, baik pesawat militer maupun pesawat komersial itu selalu yang membiayai itu di hilir," kata Fadil kepada Alinea.id, Senin (1/8). 

Sebagai lembaga riset, menurut Fadil, BRIN tak mungkin mampu membiayai proyek-proyek besar seperti pengembangan pesawat N219A. Ia mengusulkan agar pengembangan proyek tersebut diteruskan oleh instansi-instansi pemerintah atau kementerian terkait lainnya.

"Kami ada di hulu. Lalu kenapa hulu yang harus membantu? Kenapa tidak Kementerian BUMN? Kenapa tidak Kementerian Perhubungan yang membantu dalam pendanaan? Ini kan proyek strategis nasional. Dana riset kita di Indonesia secara umum sangat kecil. Padahal, untuk pengembangan pesawat itu butuh biaya sangat besar," kata dia. 

Meski begitu, Fadil menyebut, BRIN tak akan lepas tangan. Jika dibutuhkan, BRIN siap menyediakan fasilitas-fasilitas riset untuk menunjang pengembangan pesawat N219A. PT DI, misalnya, bisa menggunakan laboratorium laboratorium terowongan angin untuk menguji desain, performa, dan daya angkut pesawat. 

Sejalan dengan itu, menurut Fadil, peneliti BRIN juga bakal melanjutkan riset-riset dasar untuk komponen penunjang kemampuan N219A. Tahun ini, misalnya, BRIN tengah menjalankan riset terkait komponen-komponen kendali dan stabilitas pesawat N219A saat mengudara dan mendarat.  

"Sebagian dari perekayasa BPPT sudah mengajukan proposal pada akhir tahun lalu untuk riset bidang kendali dan pada sayap dan ekor pesawat, baik yang vertical stabilizer dan horizontal stabilizer. Sayang, proyek itu sudah menghabiskan anggaran ratusan miliar. Kalau mangkrak, kasihan. Itu pajak rakyat," cetus dia. 

Suasana Laboratorium DO-160 di Kompleks Pusat Teknologi Penerbangan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN di Rumpin, Bogor, Jawa Barat, Senin (1/8). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Pengoperasian Lab DO-160 

Selain soal mangkraknya proyek pengembangan N219A, mantan Kepala Pustekbang Lapan Gunawan Setyo Prabowo mengungkapkan integrasi Lapan dan BRIN turut mengganjal rencana pengoperasian Laboratorium (Lab) DO-160. Menurut Gunawan, laboratorium itu seharusnya sudah bisa "menghasilkan duit" tahun ini. 

Setidaknya ada lima tahapan pengoperasian Lab DO-160 yang tak jadi dilaksanakan karena peleburan Lapan ke BRIN. Pertama, pengoperasian peralatan dan pelatihan petugas. Kedua, peluncuran resmi Lab DO-160. Ketiga, workshop bersama Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kemenhub untuk sinkronisasi regulasi. 

"Keempat, adalah uji coba dan sertifikasi proses untuk produk avionic dan interior. Kelima, komersialisasi Lab DO-160. Plan (rencana) Lab DO-160 tahun ini sebenarnya mendorong komponen avionic dan interior," ungkap Gunawan.

Selain karena proses integrasi, menurut Gunawan, pengoperasian laboratorium itu juga terganjal "leletnya" sertifikasi RTCA DO-160. RTCA DO-160 merupakan standar pengujian komponen pesawat udara yang diakui dan digunakan oleh EUROCAE di Eropa dan Federal Administration Aviation (FAA) di Amerika Serikat serta DKPPU. 

Dibangun Lapan sejak 2020, Lab DO-160 rencananya bakal dimanfaatkan untuk pengujian komponen-komponen pesawat terbang, semisal uji temperatur dan ketinggian, uji vibrasi, daya tahan pesawat terhadap ledakan, kelembapan, serta uji power input

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Lab DO-160 berada di Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) BRIN di kawasan Rumpin, Bogor, Jawa Barat. Proyek pembangunan laboratorium itu diperkirakan menghabiskan anggaran hingga Rp125 miliar. Saat Alinea.id berkunjung ke laboratorium tersebut, Senin (1/8), tidak terlihat ada ada aktivitas sama sekali. 

"Sekarang lab ini di bawah kewenangan Deputi Infrastruktur BRIN. Lab DO ini belum bisa beroperasi. Kami pun peneliti enggak bisa sembarang masuk," kata seorang peneliti Pustekbang BRIN yang enggan disebut namanya. 

Ditanya soal itu, Kepala BRIN membenarkan Lab DO-160 belum bisa dioperasikan. Tanpa merinci, Handoko menyebut proyek pembangunan laboratorium tersebut terlilit persoalan transparansi penggunaan anggaran. 

"Untuk Lab DO-160, penyelesaiannya bermasalah sejak awal. Sekarang, kami di BRIN, harus membereskan itu. Sekarang ini kami sedang menunggu hasil audit," kata Handoko.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan