Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut konflik pertambangan di Tanah Air tak lepas dari proses penerbitan perizinan tambang yang berlangsung dalam ruang tertutup, penuh transaksional dan koruptif, serta tidak berangkat dari aspirasi warga.
Kepala Kampanye Nasional Jatam, Melky Nahar menyebut, fenomena ini terjadi sejak lama dan puncaknya pasca UU Minerba No 4 Tahun 2009 berlaku, di mana bupati/walikota/gubernur/Menteri ESDM memiliki kewenangan yang sama dalam menerbitkan izin tambang. Hal ini dungkap Melky menyoroti konflik tambang di Desa Wadas, Puworejo atau di Moutong, Parigi, Sulawesi Tengah.
"Kedua, regulasi yang berpihak pada kepentingan korporasi dan pejabat pemberi izin, sehingga warga kehilangan hak veto, untuk menyatakan menolak," kata Melky kepada Alinea.id, Kamis (17/2).
Menurutnya, konflik kemudian terjadi, ketika izin-izin tambang itu masuk dan mencaplok ruang hidup warga. "Muncul resistensi, namun pemerintah mengatasi itu dengan pendekatan keamanan yang selalu represif," ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR Mulyanto sebelumnya berpendapat, berbagai kasus penolakan tambang yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini terkait dengan sentralisasi perizinan, khususnya dari aspek analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Terutama terkait dengan partisipasi masyarakat.
Dia meminta Menteri ESDM Arifin Tasrif mengawasi implementasi Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba dan peraturan turunannya, terkait dengan sentralisasi perizinan dari pemerintah daerah menjadi ke pemerintah pusat.
Pasal 35 UU 3/2020 mengatur bahwa pemerintah pusat dapat mendelegasikan perizinan pertambangan minerba kepada pemerintah daerah khususnya terkait izin pertambangan rakyat (IPR) dan surat izin pertambangan batuan (SIPB). Namun dalam PP turunannya, pilihan yang diambil pemerintah adalah sentralisasi atas seluruh perizinan tambang minerba melalui mekanisme perizinan berusaha.
Mulyanto menegaskan, pengawasan perlu dilakukana agar jangan sampai regulasi pertambangan yang baru ini menimbulkan komplikasi sebagaimana yang terjadi di Desa Wadas, Puworejo atau di Moutong, Parigi, Sulawesi Tengah.
Berbeda dengan Mulyanto, Melky berpendapat, pemicu konflik tambang bukan karena sentralisasi perizinan, tetapi karena kebijakan dan regulasi yang ngawur, tidak berpihak pada keselamatan warga dan ruang hidupnya.
"Dan, di balik semua itu, terdapat kepentingan besar para oligark yang, dengan mudah mengendalikan atau menunggangi setiap kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh elit politik di negeri ini, termasuk DPR," ungkapnya.