Masih ada pasal karet di UU ITE
DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE). Pengesahan tingkat dua itu diambil dalam Rapat Paripurna ke-10 penutupan masa sidang II 2023-2024 di gedung Nusantara II MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (4/12).
Namun, tidak semua kalangan puas dengan itu. Karena ada anggapan kalau DPR dan pemerintah gagal merevisi UU ITE secara demokratis dan menghapus pasal-pasal karet yang mengancam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
YLBHI mencermati masih terdapat pasal karet dalam UU ITE yang mengancam demokrasi khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Pasal-pasal tersebut di antaranya Pasal 26, Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (1) dan (2), dan Pasal 45 terkait pemidanaan.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana menilai, DPR dan pemerintah tampaknya tidak mau belajar dari kesalahan dalam praktik revisi undang-undang maupun penyusunan UU yang elitis, tertutup, tidak transparan dan akuntabel dengan mengabaikan partisipasi bermakna yang merupakan hak mendasar warga dalam negara demokrasi.
"Ironisnya, sampai dengan pengesahan pada rapat paripurna DPR 4 Oktober 2023, publik tidak dapat mengakses dokumen resmi RUU tersebut. Situs resmi DPR bahkan tidak menyediakan informasi yang dimaksud dari awal hingga pengesahannya," kata dia dalam keterangannya, Kamis (7/12).
Masih dipertahankannya pasal-pasal bermasalah dalam momentum penting revisi UU ITE, menjadi keprihatinan publik karena ketentuan yang ada didalamnya masih berpotensi menambah daftar panjang kasus kriminalisasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga negara. Kegagalan menghapus pasal-pasal bermasalah tersebut akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan revisi UU ITE untuk dekriminalisasi pasal-pasal yang mengancam hak asasi manusia khususnya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
Sepanjang 2020-2022 YLBHI dan 18 LBH Kantor menangani 199 kasus berkaitan dengan pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Di antara kasus-kasus tersebut adalah pemutusan ilegal oleh Kemenkominfo terhadap akses internet di Papua dan kriminalisasi terhadap aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang menyuarakan adanya konflik kepentingan pejabat publik dalam bisnis tambang di Papua.
"Dari seluruh kasus tersebut kami menilai UU ITE seringkali dijadikan dasar pelaporan dan senjata penguasa untuk membungkam suara kritis warga negara termasuk jurnalis," ucap dia.
Itulah sebabnya, perbaikan kebijakan terkait teknologi informasi, membutuhkan perhatian yang terpusat pada manusia dan infrastruktur yang mendukungnya. Hal itu dalam rangka mewujudkan perlindungan bagi setiap warga negara.
"Revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diharapkan mampu memperkuat aspek perlindungan setiap warga negara yang merupakan amanah dari konstitusi kita," kata Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam diskusi online yang dipantau Kamis (7/12).
Kehadiran UU ITE sejatinya sama seperti undang-undang lainnya. Yaitu sebagai bagian dari upaya negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagaimana diamanatkan Pembukaan Konstitusi UUD 1945.
Namun, kehadiran sejumlah 'pasal karet' pada UU ITE justru terkesan meniadakan esensi perlindungan sebagaimana ditegaskan UUD 1945. Akibatnya, polemik penanganan kasus berbasis implementasi UU-ITE justru memantik kritik dari masyarakat akan prinsip keadilan, rasa aman melalui kepastian hukum bagi anak bangsa.
Namun, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Muhammad Farhan menyebut, kalau salah satu pasal yang mendapat perubahan pada UU ITE adalah Pasal 27, yang dianggap sebagian orang sebagai pasal karet. Dulu, pasal ini disebut karet dikarenakan tidak memiliki tolak ukur yang jelas dan dipakai untuk menjerat dengan alasan pencemaran nama baik.
"Memang sejumah pihak mengusulkan penghapusan pasal karet tersebut. Namun dalam revisi kedua ini, pemerintah dan DPR hanya mengubah substansi pasal tersebut. Karena kita tetap membutuhkan pasal 27 ini. Sebagai salah satu bentuk sosial kontrol kita kepada semua orang. Terutama kelompok bukan hanya perorangan dalam penggunaan layanan sistem elektronik. Terutama juga adanya fenomena tekanan yang dilakukan debt collector terhadap para debitur pinjaman online yang sering dapat intimidasi. Kemudian pada saat yang bersamaan, intimidasi itu ditambahkan dengan ancaman-ancaman untuk melakukan pelanggaran kesusilaan," papar Farhan dalam diskusi online yang dipantau Kamis (7/12).
Pasal 27 UU ITE mengatur tentang distribusi atau produksi informasi atau dokumen di ruang digital. Pasal itu melarang muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, dan pencemaran nama baik serta pengancaman. Farhan pun tidak memungkiri kalau hal itu menyebabkan adanya beberapa penghina Presiden Jokowi yang tersandung UU ITE yang kemudian menurunkan indeks demokrasi Indonesia.
Namun dia meyakini, kalau hal itu sepertinya tidak bakal lagi terjadi. Mengingat pada hasil revisi UU ITE, pemerintah dan DPR telah mengupayakan agar tidak ada lagi perbedaaan interpretasi dari penyidik dan penuntut terhadap pasal-pasal tersebut. Di antaranya dengan membuatnya lebih spesifik. Selain itu, revisi kedua UU ITE mengikuti KUHP baru. Jadi bisa dikatakan penuntutan pencemaran nama baik semakin dipersulit.
Untuk lebih jelasnya, berikut bunyi Pasal 27 UU ITE yang telah direvisi:
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Sebagai perbandingan, berikut Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) sebelum direvisi:
(3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Setelah revisi kedua UU ITE, dua ayat tersebut menjadi Pasal 27A dan Pasal 27B.
Pasal 27A:
Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.
Pasal 27B:
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:
a. memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.
2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman membuka rahasia, memaksa orang supaya:
a. memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.
Seperti dikatakan Farhan, pemerintah dan DPR berupaya untuk mencegah terjadinya multitafsir pada pasal ini. Oleh karena itu, pasal ini memiliki pasal penjelas dengan isi sebagai berikut:
Pasal 27A
Yang dimaksud dengan "menyerang kehormatan atau nama baik" adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.
Pasal 27B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ancaman kekerasan" dalam ketentuan ini adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi muatan yang ditujukan untuk menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya kekerasan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "ancaman pencemaran" adalah ancaman menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.