Terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (KTP-el) Markus Nari mempersoalkan pertimbangan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam vonis enam tahun penjara terhadapnya. Menurut dia, pertimbangan hakim terkesan janggal.
"Pada saat persidangan kemarin itu jelas Hakim Bu Rose menanyakan berkali-kali pada saksi Sudihardjo, 'Uang itu mata uangnya apa?' Lalu dijawab, 'Singapura dollar bentuk pecahan seratus.' Itu saya pertanyakan," kata Markus usai sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (11/11).
Di persidangan, Ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun menyebut Markus terbukti telah merugikan keuangan dengan menerima uang suap sebesar US$400 ribu dari proyek KTP-el.
Duit suap disebut diberikan kepada Markus oleh Direktur Umum PT Quadra Solution Sugiana Sudihardjo. "Nyatanya dalam putusan yang disampaikan, kok jadi US dollar Amerika," ujar Markus.
Markus mengklaim tak pernah menerima uang sebesar US$400 ribu dalam proyek KTP-el. Ia juga membantah mengancam politikus Hanura Miriam S Haryani sebagaimana disebut hakim dalam pertimbangan putusan terkait pidana merintangi penyidikan.
"Jelas-jelas Miriam menyatakan bahwa saya tidak pernah menghalang-halangi dan rupanya apa yang dituduhkan pada saya yidak ada dalam fakta persidangan. Hanya dakwaan yang diambil adalah dakwaan dari pada JPU (jaksa penuntut umum). Kami merasa sangat dirugikan," ucap dia.
Meski mempersoalkan putusan tersebut, Markus mengaku belum merencanakan untuk mengambil langkah banding."Nanti kami pikir-pikir dalam tujuh hari ini apa yang harus dilakukan.
Dikabarkan sebelumnya, Markus Nari telah divonis 6 tahun kurungan penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan. Dia dianggap telah melakukan melakukan praktik rasuah secara bersama-sama dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP-el. Markus juga dianggap terbukti merintangi penyidikan perkara kasus korupsi.
Atas perbuatannya, Markus dinyatakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu, Markus juga dianggap melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.