Jurnalis merupakan pilar keempat dari demokrasi, sehingga media pun memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyampaikan informasi untuk menyampaikan kebenaran kepada publik. Meskipun demikian, kasus demi kasus kekerasan terus menimpa jurnalis. Beberapa di antaranya ditemukan tewas terbunuh ketika menjalankan tugas jurnalistik atau dampak penerbitan karya jurnalistik mereka.
Hal ini menjadi perhatian Aliansi Jurnalis Independen (AJI), karena jika pembunuhan terhadap jurnalis ini tidak terungkap, maka akan menguatkan impunitas atau praktik pembiaran hukum, bagi pelaku kekerasan jurnalis.
Berangkat dari kondisi di atas, AJI Indonesia telah mengadakan beberapa sesi diskusi, dan riset bersama AJI kota dan pihak terkait, untuk mengumpulkan data dan dokumen terkait beberapa kasus dark number jurnalis di Indonesia. Data dan dokumen telah terkumpul, AJI Indonesia kemudian menerbitkan laporan tersebut dalam sebuah buku digital dengan judul 'Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia.'
Tulisan dalam buku tersebut menyajikan kisah jurnalis Udin di Yogyakarta, Alfred Mirulewan di Ambon, Herliyanto di Sidoarjo, Adriansyah Matrais di Merauke, Naimullah di Mempawah, Prabangsa di Denpasar, Ersa Siregar dan Muhammad Jamal di Aceh serta Agus Mulyawan yang bertugas dan tewas di Timor Leste.
"Kredo jurnalis yang selama ini kita kenal yaitu 'tidak ada berita seharga nyawa'. Ini memang selalu kita pegang. Ketika ada satu kematian jurnalis atau jurnalis yang kemudian meninggal karena dibunuh, ini sejatinya adalah kematian bagi kebebasan pers," kata Ketua AJI Sasmito Madrim mengutip Webinar Diseminasi Buku Digital: Mati karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia, Rabu (12/10).
Menurut Madrim, dalam catatan AJI, masih ada delapan kasus, yang penanganannya belum tuntas sampai sekarang. Hanya ada satu kasus, yaitu Prabangsa yang bisa diusut secara tuntas. Tapi kalau melihat dari delapan kasus pembunuhan terhadap jurnalis mulai Udin, Alfred, dan lainnya memang tidak ada data riset yang memadai.
"Ini yang pada akhirnya menyulitkan kita melakukan advokasi. Padahal kasus-kasus pembunuhan itu harus diusut secara tuntas supaya baik korban maupun keluarga menemukan keadilan yang seutuhnya," tambahnya.
Madrim menjelaskan, beranjak dari sini, kemudian AJI berupaya melakukan riset kembali karena banyak informasi yang masih simpang-siur. Misalkan terkait pembunuhan di Timor Leste itu menurut data Dewan Pers waktu itu dinyatakan sudah selesai. Tapi ketika dicek ke Dewan Pers datanya belum ada.
Katanya, kemudian ada beberapa kasus pembunuhan yang mungkin diragukan apakah terkait dengan pemberitaan atau tidak. Itulah kemudian AJI berupaya bekerja keras menggali data di lapangan, melihat, sampai kemudian update terakhir posisi kasus seperti apa. Ini yang dikerjakan hampir dalam setahun terakhir sampai menjadi buku.
"Harapannya sangat besar sekali dengan penerbitan buku ini. Riset yang sudah disusun ini bisa menjadi bahan advokasi kita bersama, terutama dari komunitas pers seperti AJI, IJTI, PWI, PFI, organisasi perusahaan media, dan tentu Dewan Pers sebagai penjaga komunitas pers juga bisa kemudian bekerja secara bersama-sama untuk memastikan delapan kasus ini bisa ditangani dengan tuntas," sambungnya.
Sasmito menekankan bahwa AJI mendorong secara bersama aparat penegak hukum untuk melanjutkan kembali dengan berangkat dari riset ini. Jadi ini adalah salah satu bahan yang bisa dimaksimalkan untuk advokasi pembunuhan terhadap jurnalis.
"Tentu kita juga sangat berharap dan menuntut dari aparat penegak hukum, pemerintah dalam hal ini kepolisian, mungkin bisa membuka kembali delapan kasus pembunuhan terhadap jurnalis ini yang memang kita belum menemukan siapa sebenarnya aktor utama dari pembunuhan ini, pelakunya siapa, belum diungkap sampai tuntas," tutur Madrim.
Dikatakannya, isi buku ini bisa menjadi bukti baru, bahan awalan untuk kembali melihat kasus-kasus pembunuhan terhadap jurnalis. "Jadi kita sangat berharap, kita juga menuntut ke kepolisian, terus kemudian ke Kemenkopolhukam, yang saya pikir memiliki peran yang cukup vital. Bagaimana Kemenkopolhukam nanti bisa mengkoordinasikan dari kepolisian dan kejaksaan kembali mengungkap kasus ini," imbuh Madrim.
"Karena ketika kita membiarkan pembunuhan terhadap jurnalis ini kasusnya mangkrak, maka kita juga kemudian membiarkan kemerdekaan pers yang sudah dijamin oleh Undang-undang Pers ini kemudian diinjak-injak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan ini pasti akan merusak demokrasi ke depan," pungkasnya.