close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi lampu lalu lintas. Alinea.id/Aisya Kurnia
icon caption
Ilustrasi lampu lalu lintas. Alinea.id/Aisya Kurnia
Nasional
Sabtu, 30 Juli 2022 14:47

Maut yang mengintai di lampu lalu lintas

Kecelakaan maut di Jalan Transyogi, Bekasi, Jawa Barat diduga karena keberadaan lampu lalu lintas yang tak tepat.
swipe

Jumat (29/7) pagi, kendaraan terpantau ramai di perempatan yang mempertemukan Jalan Bintaro Utama 3A, Jalan Bintaro Utama 3, Jalan Pondok Betung Raya, dan Jalan WR Supratman di Tangerang Selatan, Banten. Di sana, terdapat empat lampu lalu lintas.

Namun, menurut salah seorang warga, Julius Prabowo, nyala lampu lalu lintas sebagai tanda mengatur kendaraan yang melintas itu kurang pas. Idealnya, kata pemuda berusia 28 tahun tersebut, ketika satu lampu lalu lintas menyala warna hijau, seharusnya tiga lainnya menyala warna merah.

“Tapi kalau di perempatan Bintaro ini, lampu hijau ada dua jalur dari arah berlawanan,” ujarnya saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Jumat (29/7).

“Jadi, misalnya di (jalur) gue (lagi menyala lampu) hijau, dari arah berlawanan juga hijau.”

Di lokasi itu, jalur Jalan Bintaro Utama 3A berhadap-hadapan dengan Jalan Bintaro Utama 3. Sedangkan Jalan Pondok Betung Raya berhadap-hadapan dengan Jalan WR Supratman.

“Kadang-kadang, kita mau ke kanan, tapi dari arah sana (berlawanan) enggak mau mengalah karena (lampu menyala) hijau. Kadang-kadang ada serempetan (kendaraan) di situ,” tutur Julius.

Selain itu, kata Julius, lampu lalu lintas di perempatan dekat Bintaro Plaza itu malah bikin semrawut, terutama saat pagi dan sore hari. “Denger-denger beberapa kali terjadi kecelakaan,” ucap Julius yang tinggal di kawasan Bintaro sejak 2004.

Situasi lalu lintas di perempatan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (29/7/2022). Alinea.id/Akbar Ridwan

Celaka di Jalan Transyogi

Penempatan lampu lalu lintas yang tak tepat menjadi sorotan pula dalam kecelakaan nahas di Jalan Transyogi, Cibubur, Bekasi, Jawa Barat pada Senin (18/7) sore. Saat itu, truk tangki milik Pertamina yang melaju dari arah Cibubur menuju Cileungsi menghantam dua mobil dan 10 sepeda motor yang tengah berhenti di dekat lampu lalu lintas. Akibatnya, 10 orang tewas.

Mulanya, polisi menduga kecelakaan disebabkan rem truk tangki Pertamina mengalami blong. Akan tetapi, warga sekitar menyebut, lampu lalu lintas di pertigaan Jalan Transyogi yang menghubungkan perumahan Citra Grand Cibubur adalah pangkal kecelakaan maut itu. Kondisi jalan yang menurun dan agak menikung, disebut-sebut tak ideal untuk menempatkan lampu lalu lintas di sana.

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono mengatakan, pihaknya masih mempelajari kajian yang sudah ada soal penempatan lampu lalu lintas berkaitan dengan kecelakaan di Jalan Transyogi. Menurutnya, penempatan lampu lalu lintas harus ada kajian dan tujuan yang jelas.

“Kita harus hati-hati menentukan bagaimana kedudukan lampu lalu lintas itu,” kata Soerjanto saat dihubungi Alinea.id, Kamis (28/7).

Di samping mempelajari berbagai kajian, Soerjanto mengatakan, KNKT pun tengah mempelajari geometrik jalan. Kemudian, menyelidiki situasi arus lalu lintas, kelengkapan bagian konstruksi jalan, kondisi struktur tanah, dan konstruksi yang tak terkait dengan pengguna jalan.

“Nanti kita akan menyampaikan di rekomendasi apakah lampu lalu lintasnya dilepas dan pertigaan itu ditutup atau bagaimana. Itu akan tertuang di dalam report investigasi KNKT,” katanya.

Soerjono tak mempersoalkan pendapat warga kalau kecelakaan terjadi karena penempatan lampu lalu lintas yang tak tepat. Menurut dia, merujuk Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 96 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, identifikasi masalah lalu lintas bisa diperoleh berdasarkan masukan instansi atau masyarakat.

Petugas tengah menyelidik truk tangki Pertamina yang menabrak sejumlah kendaraan di Jalan Transyogi, Bekasi, Jawa Barat./Foto ntmcpolri.info

“Bagaimana masukan dari masyarakat? Disampaikan langsung secara tertulis ke instansi yang bertanggung jawab bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan,” ucapnya.

Di dalam lampiran permenhub itu, diuraikan pula, identifikasi masalah lalu lintas bisa diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan, dengan visual atau peralatan teknis. Selain itu, bisa juga berdasarkan data historis terkait dengan masalah lalu lintas. Misalnya, berupa laporan pemerintah, hasil kajian dari pemerintah atau swasta, data statistik, atau data dari media.

“Kalau bertentangan (dengan temuan KNKT) nanti akan dijelaskan alasan-alasan kita apa. Tapi kalau sejalan, ya kita support,” ujarnya.

Meski demikian, Soerjanto menerangkan, lampu lalu lintas bukan satu-satunya penyebab kecelakaan di Jalan Transyogi, tetapi memang berkontribusi meningkatkan risiko. Sebab, arus lalu lintas jadi terhambat dengan adanya lampu lalu lintas.

“Karena saat itu kendaraannya lagi berhenti semua,” ucapnya.

Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai, memang perlu ada kajian untuk menyelesaikan polemik penempatan lampu lalu lintas di Jalan Transyogi. Ia tak sepakat bila tak idealnya penempatan lampu lalu lintas hanya alasan kondisi jalan yang menurun.

“Itu tergantung dari variasi jenis kendaraannya juga,” ucapnya, Kamis (28/7).

Djoko mencontohkan, di Semarang, Jawa Tengah ada penempatan lampu lalu lintas di kontur jalan menurun. Lokasinya, kata dia, ada di daerah Tanah Putih, Siranda, Ngaliyan, dan dekat RSUP Dr. Kariadi.

“Aman-aman saja,” katanya. “Karena memang kendaraan ringan semua, bukan kendaraan berat.”

Yang harus diperhatikan

Adapun, Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) Edison Siahaan mengatakan, ada tiga faktor yang sering menyebabkan terjadinya kecelakaan. Pertama, kelalaian manusia. Kedua, kendaraan. Ketiga, lingkungan atau jalan.

"Umpamanya jalan berlubang, enggak ada tanda, akhirnya membuat kendaraan oleng,” katanya, Jumat (29/7).

“Ketika faktor jalan menyebabkan kecelakaan, maka bisa digugat (pengelolanya).”

Lampu lalu lintas di Jalan Transyogi, Bekasi, Jawa Barat,/Foto ntmcpolri.info

Perihal penempatan lampu lalu lintas, Edison menuturkan, harus melalui ketentuan yang ada dan dilakukan bersama-sama. Merujuk Permenhub Nomor PM 49 Tahun 2014 tentang Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL), yang berhak menempatkan, memelihara, dan menghapus lampu lalu lintas, yakni direktur jenderal untuk jalan nasional, gubernur untuk jalan provinsi, bupati untuk jalan kabupaten dan desa, serta wali kota untuk jalan kota.

Menurut Edison, semua jalan harus dilengkapi lampu penerangan, marka jalan, dan fasilitas pendukung lainnya. Penempatannya pun harus tepat.

“Apabila itu tidak tepat penempatannya, tidak disosialisasikan, atau tidak diberikan tanda-tanda yang cukup sehingga pengendara tidak melihat, bisa menimbulkan kecelakaan,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat transportasi Muslich Zainal Asikin memandang, keberadaan lampu lalu lintas sebaiknya baru dipasang ketika situasi lalu lintas sudah tak bisa diatur lagi secara alamiah.

“Tapi karena di Indonesia ‘latah’, traffic light ini jadi proyek. Itu yang bikin kacau,” ucapnya, Kamis (28/7).

Muslich mengatakan, kesalahan penempatan lampu lalu lintas bisa meningkatkan risiko kecelakaan lantaran kondisi jalan jadi terhambat ketika kendaraan sebenarnya lancar-lancar saja melaju.

“Risiko kecelakaan itu kan kita anggap yang paling ekstrem. Yang tidak ekstrem itu kan merugikan pemakai jalan, jadi menghambat,” ujarnya.

Penempatan lampu lalu lintas, kata Muslich, tergantung pada kondisi geometrik jalannya. “Naik-turunnya, licin atau tidak, daerahnya apakah memang sering hujan atau tidak. Itu kan berkaitan juga dengan kualitas jalannya,” katanya.

Sedangkan kata Djoko, selain memperhatikan geometrik jalan, jenis kendaraan, dan volume kendaraan, perlu juga diperhatikan jarak pandang. Idealnya, lampu lalu lintas sudah terlihat dari kejauhan.

Infografik aturan lampu lalu lintas. Alinea.id/Aisya Kurnia

“Jangan sampai lampu lalu lintas ketutupan,” katanya.

Lebih lanjut, Muslich menjelaskan, sebaiknya diadakan kajian terlebih dahulu sebelum memasang lampu lalu lintas di jalan yang menurun dan berisiko tinggi. Menurutnya, di kondisi jalan menurun solusi mengatur lalu lintas tak mesti menggunakan lampu lalu lintas.

“Bisa dengan cara dibuat jalan satu arah atau dibelokkan,” tuturnya. “Masalahnya, kadang-kadang jalan di Indonesia memang tidak dibuat berdasarkan perencanaan yang matang.”

Muslich menyarankan, pemasangan lampu lalu lintas melibatkan akademisi untuk mengkajinya. “Engineering traffic itu ada, sekolahnya ada, akademisinya juga ada,” ujar dia.

Langkah itu, ujar Muslich, bisa membuat pemasangan lampu lalu lintas laik fungsi dan tidak memboroskan anggaran.

“Harus diakui, kadang-kadang ada jatah anggaran untuk traffic light. Kita kan sering melihat, hari ini traffic light pakai tulisan ‘peringatan’, nanti satu tahun lagi tulisannya sudah hilang,” kata dia.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan