close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Serikat pekerja melakukan aksi menolak RUU Cipta Kerja di Jakarta. Alinea.id/Ardiansyah Fadli
icon caption
Serikat pekerja melakukan aksi menolak RUU Cipta Kerja di Jakarta. Alinea.id/Ardiansyah Fadli
Nasional
Selasa, 03 November 2020 14:36

Mayoritas akademisi penolak UU Cipta Kerja alami tekanan

Hanya 322 dari 922 akademisi yang berani secara terbuka menyampaikan aspirasinya.
swipe

Sekitar 922 akademisi yang tersebar di 119 universitas telah menyatakan secara tegas menolak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) hingga kini. Beberapa di antaranya disebut mengalami tekanan, sehingga hanya 322 di antaranya yang berani menyampaikan aspirasinya secara terbuka.

"Rekan-rekan akademisi yang tergabung dalam aliansi mengakui mengalami tekanan yang luar biasa, sehingga dengan permohonan maaf, kami tidak bisa menampilkan nama-nama rekan-rekan akademisi yang menolak itu," ujar perwakilan Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law, Dhia Al Uyun, dalam telekonferensi, Selasa (3/11).

"Di luar data yang disampaikan, sekitar 322 akademisi tadi, ada 600 lainnya yang kemudian tidak bisa kita sampaikan karena ada tekanan-tekanan yang dirasakan," sambung dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH Unibraw) Malang ini.

Dirinya melanjutkan, para akademisi penolak UU Cipta Kerja telah menggelar sesi kuliah bersama rakyat untuk mengkritisi lebih dari 30 isu dalam beleid sapu jagat (omnibus law) tersebut. Menyoroti pembentukan aturan yang cacat formil dan materiil, perizinan lingkungan yang menghilangkan akses keadilan hingga kemunduran perlindungan buruh, misalnya.

"Politik hukum juga memperlihatkan semua jalur hukum arahnya sudah bisa ditebak. Kemudian, di bidang pendidikan masih 'jauh panggang dari api' dan terlihat komersialisasi. Energi bersih menjauh dari perkembangan yang diharapkan. Bahkan, 'meninabobokkan' pelaku usaha usaha. (UU Ciptaker) ini berbahaya untuk UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah)," tutur Dhia.

Di bidang peradilan, lanjutnya, UU Ciptaker menunjukkan wajah buruk politik legislasi. Di sisi lain, kebebasan berpendapat semakin dibungkam. Ketika DPR dan pemerintah semakin tidak mendengarkan suara rakyat, penolakan semakin menguat di berbagai penjuru "Tanah Air".

Ironisnya, keprihatinan justru bertambah karena aparat menyikapi gelombang aksi unjuk rasa dengan sikap represif hingga penangkapan. Apalagi, Kapolri, melalui telegram STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020, memerintahkan melakukan pengintaian, pencegahan, dan penindakan terhadap penolak UU Ciptaker.

Pembungkaman kebebasan berpendapat, ungkapnya, juga menyasar mahasiswa dan akademisi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Surat Edaran (SE) Nomor 1035/E/KM/2020 mengimbau pembelajaran secara daring dan sosialisasi UU Ciptaker. SE tersebut disebut mengingkari kebebasan berpendapat akademik karena bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan negara hukum Indonesia.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan