close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Terdakwa kasus dugaan suap perizinan proyek Meikarta Billy Sindoro mendengarkan pembacaan putusan saat sidang lanjutan di pengadilan Tipikor, Bandung, Jawa Barat, Selasa (5/3). /Antara Foto
icon caption
Terdakwa kasus dugaan suap perizinan proyek Meikarta Billy Sindoro mendengarkan pembacaan putusan saat sidang lanjutan di pengadilan Tipikor, Bandung, Jawa Barat, Selasa (5/3). /Antara Foto
Nasional
Minggu, 28 April 2019 19:18

Mayoritas koruptor masih dihukum ringan

Mayoritas koruptor hanya dihukum penjara selama 1-4 tahun.
swipe

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada sebanyak 1.053 perkara korupsi dengan 1.162 terdakwa pada 2018. Data ini direkap ICW dari putusan perkara korupsi yang dikeluarkan oleh pengadilan pada tingkat pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), dan Mahkamah Agung (MA).

Dari total lebih dari seribu perkara korupsi yang masuk ke meja hijau itu, terjadi peningkatan vonis hukuman kepada para terdakwa. Namun demikian, menurut kajian ICW, mayoritas vonis tergolong dalam kategori hukuman ringan.  

"Rata-rata vonis secara keseluruhan ada peningkatan, tapi tidak signifikan. Mulai dari 2016, 2017 sampai 2018 putusannya hampir tidak berubah," ujar peneliti ICW Lalola Easter di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (28/4).

Vonis perkara korupsi di tingkat pengadilan, menurut Lola, sapaan akrab Lalola, terbagi menjadi tiga kategori, yakni kategori ringan (1-4 tahun), sedang (di atas 4 sampai 10 tahun) dan berat (di atas 10 tahun). 

Pada 2018, ICW menemukan sebanyak 918 terdakwa atau 79% dari 1.162 terdakwa mendapatkan vonis hukuman ringan dan sebanyak 180 terdakwa atau 15,49% mendapatkan vonis hukuman sedang. Sisanya atau sebanyak 9 terdakwa (0,77%) mendapatkan vonis hukuman berat.

Menurut catatan ICW, pada 2016, rerata vonis bagi koruptor di pengadilan negeri adalah 1 tahun 11 bulan penjara, sedangkan di pengadilan tinggi 2 tahun 6 bulan, dan 4 tahun 1 bulan di MA. Dengan demikian, rata-rata vonis pada ketiga pengadilan tersebut yakni 2 tahun 2 bulan. Tren yang sama juga terekam pada 2017. 

Pada 2018, dijelaskan Lola, rerata vonis hukuman penjara bagi koruptor di pengadilan negeri adalah 2 tahun 3 bulan. Sementara di pengadilan tinggi rerata vonis hukuman selama 2 tahun 8 bulan dan di Mahkamah Agung (MA), rata-rata 5 tahun 9 bulan. 

"Angka rerata lama hukuman penjara dalam vonis untuk koruptor di ketiga tingkat pengadilan tersebut selama tahun 2018 adalah 2 tahun 5 bulan atau lebih 3 bulan dibandingkan 2016 dan 2017," kata Lola.

Menurut Lola, tren vonis ringan tindakan pidana korupsi (tipikor) sudah tercatat sejak 4 tahun lalu. Pada 2015, menurut catatan ICW, sebanyak 392 terdakwa atau sebesar 74,5% divonis hukuman ringan oleh majelis hakim. 

Pada 2016, angka vonis ringan meningkat menjadi 479 terdakwa atau sebesar 72,1% dari total jumlah terdakwa pada tahun itu. Pada 2017, angka vonis ringan bagi koruptor melonjak drastis menjadi 1.127 terdakwa atau sebesar 81,61%.

"Dari tren di atas, dapat dilihat bahwa tidak ada perubahan yang signifikan dari corak sebaran kategori putusan sejak 2015 hingga 2018. Mayoritas putusan masih terletak pada kategori ringan," ucap Lalola.

Pengembalian kerugian negara belum maksimal

Dari 1.053 perkara korupsi pada tahun lalu, jumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari korupsi tersebut mencapai sekitar Rp9,3 triliun dan kasus pungutan liar mencapai sebesar Rp110,8 juta.

Dari kerugian negara sebesar itu, hanya sekitar Rp805 miliar dan sekitar US$3 juta yang berhasil dikembalikan ke negara lewat vonis uang pengganti. Artinya, hanya sekitar 8,7% kerugian negara yang diganti melalui pidana tambahan uang pengganti.

"Permasalahan asset recovery masih menjadi tantangan tersendiri. Dengan kerugian negara sekitar Rp9,29 triliun, upaya pengembalian kerugian tersebut belum maksimal," ujar dia.

Karena itu, Lola berharap, aparat penegak hukum bisa memaksimalkan hukuman pidana tambahan uang pengganti. Salah satunya dengan penerapan pasal gratifikasi di Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

"Ini salah satu pendekatan yakni pembalikan beban pembuktian secara terbatas dapat digunakan untuk merampas harta-harta yang keabsahan perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan," ucapnya.

img
Eka Setiyaningsih
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan