Pengembang apartemen Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), dinilai keliru dalam mengajukan gugatan terhadap 18 konsumennya dengan dalih pencemaran nama baik. Pangkalnya, penggugat mestinya perseorangan bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.
"Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI mengenai Pedoman Implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjelaskan yang dimaksud dengan korban dalam kasus pencemaran nama baik haruslah orang perseorangan dengan identitas yang jelas," tulis LBH Jakarta dalam keterangannya, Jumat (3/2).
"Penjelasan yang komprehensif tersebut juga seharusnya diikuti dengan memaknai pasal-pasal serupa di luar dari KUHP dan UU ITE seperti yang diatur dalam Pasal 1.372 KUHPerdata. Pasal 1.372 tersebut memberikan batasan hakim harus memperhatikan berat-ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan," imbuhnya.
PT MSU menggugat 18 konsumennya ke PN Jakbar pada 26 Desember 2022 karena dinilai mencemarkan nama baik perusahaan. Para konsumen pun dituntut secara tanggung renteng mengganti kerugian Rp56,1 miliar, yang terdiri dari akibat perbuatan melawan hukum Rp44,1 miliar dan kerugian imateriel Rp12 miliar.
Anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk ini juga meminta para konsumennya menghentikan dan tidak mengulangi semua tindakan, aksi, dan pernyataan yang dituding memfitnah dan merusak reputasi dan nama baik PT MSU.
Selain itu, meminta hakim menyita jaminan dan menetapkan sita jaminan atas segala harta kekayaan para tergugat, baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Lalu, konsumen diminta menyampaikan permohonan maaf terbuka melalui tiga koran nasional sekaligus menuliskan surat resmi kepada Bank Nobu, DPR, dan pihak lain yang didatangi dengan menyatakan tuduhan tidak benar.
Di sisi lain, LBH Jakarta berpendapat, gugatan pengembangan Meikarta ini juga melanggar hak konsumen, terutama Pasal 4 angka 4 dan angka 5 Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen. Isinya, pendapat dan keluhan konsumen atas barang dan/atau jasa yang digunakan berhak didengar serta mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Langkah pengembang Meikarta itu juga dinilai melanggar Pasal 4 angka 8 UU Perlindungan Konsumen, di mana konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian jika barang/jasa tidak sesuai perjanjian. Pun dianggap bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tentang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian yang adil serta kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
LBH Jakarta melanjutkan, gugatan pengembang Meikarta merupakan praktik buruk gugatan strategis terhadap partisipasi publik (strategic litigation against public participation/SLAPP). Bahkan, menjadi ancaman serius atas kebebasan berekspresi (freedom of expression), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan hak memperoleh informasi untuk kepentingan publik (right to access public information).
"Praktik ini juga menimbulkan masalah bagi sistem peradilan dan supremasi hukum secara lebih umum karena pengadilan ditempati oleh gugatan perdata atau pidana bersifat menghambat atau merintangi yang diajukan oleh individu atau perusahaan yang memanfaatkan institusi demokrasi untuk merusak pilar demokrasi," ujarnya.
Oleh sebab itu, LBH Jakarta mendesak pemerintah tak berdiam diri dan segera menyelesaikan masalah ini. "Agar tidak berlarut dan menutup celah kerentanan yang berulang terhadap konsumen."