Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah lalai, lantaran tak memeriksa mantan Ketua Fraksi Golkar DPR Melchias Markus Mekeng, terkait kasus suap proyek PLTU MT Riau-1 hingga masa cekalnya berakhir
"Jika seorang saksi dicekal tetapi tidak pernah diperiksa sampai masa cekalnya berakhir, maka ini merupakan bentuk kelalaian KPK," kata Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman saat dihubungi Alinea.id, Senin (23/3).
KPK memang pernah mencekal Mekeng dengan mengirimkan surat pencegahan ke luar negeri yang dilayangkan ke Imigrasi. Mekeng dicekal selama enam bulan terhitung sejak 10 September 2019, dan usai pada 10 Maret 2020.
Mekeng juga tidak pernah mengindahkan panggilan pemeriksaan KPK sebanyak lima kali, yakni 11, 16, dan 19 September 2019 dan pada 8 Oktober 2019, dan 12 Desember 2019.
Berbagai dalih disampaikan Mekeng untuk menghindari pemeriksaan. Mulai dari tengah berdinas ke luar negeri, hingga alasan sakit.
Zaenur menilai, Mekeng sebenarnya dapat dijerat hukuman merintangi penyidikan atau obstruction of justice yang tercantum dalam pasal 21 undang-undang tindak pidana korupsi. Lantaran Mekeng abai terhadap panggilan pemeriksaan KPK tanpa memberikan alasan yang dibenarkan secara hukum.
"Tindakan mangkir tersebut merupakan salah satu bentuk menghalangi penyidikan. Jikapun KPK tidak menjerat dengan pasal 21, KPK juga masih memiliki kewenangan untuk menjemput paksa. Apalagi jika kasus yang membutuhkan keterangan saksi tersebut masih berjalan dalam proses penyidikan," ujar Zaenur.
Oleh karena itu, KPK di bawah naungan Firli Bahuri perlu mengambil tindakan tegas terhadap Mekeng. Sebab jika tidak, akan mencederai karisma KPk sebagai penegak hukum
"Jika KPK tidak mengambil tindakan tegas, maka membuat preseden buruk, dan ke depan bisa diikuti oleh saksi-saksi lain. KPK akan kehilangan kewibawaan sebagai lembaga penegak hukum. Hal ini dapat mempersulit penyelesaian sebuah perkara," papar Zaenur.
Nama Mekeng santer disebut turut berperan dalam kasus yang menyeret mantan Menteri Sosial Idrus Marham sebagai terpidana. Saat bersaksi di pengadilan, terpidana lain dalam kasus ini, Eni Maulani Saragih, menyebut Mekeng sebagai pihak yang memperkenalkan dirinya dengan pengusaha Samin Tan.
Mekeng juga disebut sebagai orang yang menginstruksikan Eni untuk membantu Samin Tan, dalam mengurus terminasi kontrak Perjanjian Karya PKP2B PT AKT di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM.
Atas instruksi tersebut, Eni membantu perusahaan Samin Tan. Salah satu caranya dengan memengaruhi Kementerian ESDM, termasuk melalui forum Rapat Dengar Pendapat di DPR.
Atas bantuan tersebut, Samin Tan memberikan uang kepada Eni senilai Rp5 miliar. Eni juga meminta uang tambahan pada Samin Tan, untuk keperluan pilkada suaminya di Kabupaten Temanggung.
Penyerahan uang dari pihak Samin Tan terjadi pada Juni 2018. Uang tersebut diberikan staf Samin Tan kepada tenaga ahli Eni di DPR, sebanyak dua kali hingga totalnya Rp5 miliar. Penyerahan pada 1 Juni 2018 sebesar Rp4 miliar, sementara pada 22 Juni 2018 sebanyak Rp1 miliar.
Sebagai pihak pemberi suap, Samin Tan disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberanatasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.