Meksi, Pablo, dan kisah para penyelamat anjing jalanan
Gerimis rinai membasahi permukiman warga Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, hingga Kamis (23/2) petang itu. Usai seharian penuh diguyur hujan, tanah di kelurahan padat penduduk itu terasa lecah. Genangan air merendam sejumlah ruas jalan menuju rumah warga.
Suara gonggongan seekor anjing terdengar dari salah satu gang. Sejurus kemudian, gerombolan anak berpeci dan bersarung berlarian ke arah sumber suara itu.
Di gang kecil itu, anak-anak lainnya sudah berkumpul mengelilingi seekor anjing yang basah karena hujan. "Anjingnya kedinginan," kata seorang bocah.
"Udah biarin. Jangan dideketin. Ntar kena najis lagi dijilat anjing," ujar seorang ibu. Ia langsung mengajak anaknya pulang karena khawatir anaknya bersentuhan dengan anjing tersebut.
Untuk sesaat, kehadiran anjing itu bikin heboh warga setempat. Pasalnya, warga Muara Kamal mayoritas beragama Islam dan tak memelihara anjing. "Makanya ini anjing siapa ini? Kok bisa ada di sini?" kata Mulyanti, salah satu warga.
Marwan, 32 tahun, warga Muara Kamal lainnya, berinisiatif mengevakuasi anjing itu ke posko keamanan. Ia takut anjing itu jadi "bulan-bulanan" warga.
"Kalau enggak ada yang mau (adopsi), ya udah biarin aja dipelihara di sini (pos keamanan). Buat jaga kampung aja," kata Marwan kepada Alinea.id.
Peristiwa anjing tersesat atau telantar ternyata tak sedikit. Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta Satriadi Gunawan mengatakan laporan mengenai peristiwa serupa rutin diterima instansinya selama musim penghujan.
"Ada peningkatan (jumlah kasus) hewan telantar di beberapa titik. Tetapi, jumlahnya tidak signifikan. Mungkin belum," kata Satriadi kepada Alinea.id, Jumat (3/3).
Selain anjing telantar, ragam laporan warga yang paling sering diterima ialah munculnya ular dan biawak di permukiman. Ada pula yang melaporkan kucing peliharaan yang butuh dievakuasi.
"Seperti, misalnya, kucing kelilit kabel listrik. Kucing yang dia posisinya tidak berdaya. Misalnya, (kucing) nyangkut di atas pohon atau nyangkut di atas tol. Itu kita evakuasi dan dilepas lagi. Enggak apa-apa," kata Satriadi.
Untuk penanganan hewan liar, Gulkarmat DKI bekerja sama dengan Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam. Adapun untuk hewan peliharaan yang ditelantarkan, Gulkarmat DKI menggandeng komunitas pecinta hewan dan pusat-pusat penyelamatan satwa di Jakarta.
"Kami ada kerja sama dengan animal rescue yang pecinta kucing dan pecinta anjing. Kita sudah koordinasi dengan mereka. Kalau memang liar, ya, dirawat dan dilepas lagi," kata Satriadi.
Pendiri rumah singgah Clow, Wahyu Winono, membenarkan banyak hewan telantar dan sakit saat musim penghujan. Clow, misalnya, menerima sekitar dua puluh hingga tiga puluh ekor kucing setiap hari saat musim hujan.
"Itu (kucing) paling banyak yang masuk ke shelter. Hal ini terjadi karena banyak kucing sakit saat musim hujan," ucap pria yang akrab disapa Bimbim itu kepada Alinea.id, Sabtu (3/3).
Clow berlokasi di Parung, Bogor, Jawa Barat. Tempat penampungan kucing dan anjing itu telah beroperasi sejak 9 Oktober 2016. "Fokus kita memang untuk kucing jalanan. Kucing dalam kondisi darurat dan kita tidak menerima hewan peliharaan," kata Bimbim.
Saat ini, menurut Bimbim, Clow tengah menampung 1.500 ekor kucing dan 120 anjing jalanan. Ia membutuhkan duit sekitar Rp2,4 juta per hari untuk merawat ribuan kucing dan anjing itu.
Biaya operasional sebesar itu biasanya didapat dari donasi masyarakat. Selain itu, Clow juga bekerja sama dengan klinik hewan dan sejumlah mitra bisnis. "Itu yang mempermudah kita. Sehingga biaya yang besar bisa kita pangkas," kata Bimbim.
Luka-luka dan sakit
Roman Mango, 25 tahun, petugas Pejaten Animal Shelter, menuturkan kebanyakan anjing yang tiba di penampungan dalam keadaan sakit dan kekurangan gizi. Anjing-anjing itu terancam nyawanya lantaran tak punya pemilik lagi dan tak diterima hidup di lingkungan warga setempat.
"Ketika tiba, anjing-anjing itu sudah luka-luka dan sebagainya dan perlu penanganan. Saat musim hujan, terutama banyak yang sakit sehingga kadang ada masyarakat yang melaporkan agar anjing-anjing ini perlu dievakuasi," kata Roman kepada Alinea.id di Pejaten Shelter, Pejaten, Jakarta Selatan, Selasa (28/3).
Saat berbincang dengan Alinea.id, Roman menunjukkan seekor anjing yang dinamai Meksi. Si anjing kampung itu yang sudah lima bulan jadi penghuni penampungan. Roman bercerita Meksi kini ditugasi jadi "satpam" Pejaten Shelter.
Sebelumnya, menurut Roman, Meksi terlunta-lunta di jalanan dalam keadaan sakit-sakitan di sebuah kawasan di Jakarta Timur. "Meksi ini sekarang sudah mulai sehat dan bisa beraktivitas," ucap pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu.
Nasib serupa dialami Pablo, seekor anjing ras Rottweiler. Rifan Imanunel, sejawat Roman di Pejaten Shelter, bercerita Pablo dievakuasi dari daerah Dadap, Kabupaten Tangerang, Banten. Sebelum dievakuasi, Pablo hampir diamuk massa.
"Warga tidak senang dengan keberadaan anjing di lingkungan mereka. Setelah itu, ada warga lapor ke kami. Buru-buru kami ambil Pablo," ucap pemuda asal Timika, Papua itu.
Saat dievakuasi, Pablo dalam keadaan stres lantaran sudah berhari-berhari di-bully oleh warga. Irfan menduga Pablo kabur dari rumah pemilik dan tersesat ke permukiman warga. Hingga kini belum ada orang yang mengaku sebagai pemilik Pablo. "Padahal, anjing jenis ini jarang yang punya," kata Irfan.
Irfan prihatin melihat kondisi Pablo dan rekan-rekannya saat dievakusi. Menurut dia, buruknya kondisi anjing-anjing itu menunjukkan bahwa kebanyakan pemilik tak punya komitmen untuk merawat hewan peliharaan mereka.
"Padahal, anjing itu kalau kita perlakukan baik, dia bakal menjaga kita dan rela mempertaruhkan nyawanya," ucap pemuda berusia 24 tahun itu.
Bimbim sepakat kesadaran masyarakat untuk menyelamatkan hewan telantar masih minim. Itu terlihat dari banyaknya kucing dan anjing yang tiba di Clow dalam keadaan kritis.
"Dalam kondisi sakit. Dalam kondisi kurus. Dia (kucing) enggak bisa dirawat di rumah sehingga harus dibawa ke rumah singgah Clow," kata Bimbim.
Tak mudah
Susan Somali, pengasuh Pejaten Shelter, menyebut kasus penelantaran anjing dan binatang peliharan lainnya tak kenal musim. Hampir setiap hari, Pejaten Shelter menerima kiriman anjing, kucing, atau binatang peliharaan lainnya yang butuh pertolongan.
"Rumah (singgah) di Jakarta itu kecil-kecil. Ada sekitar 1.000-an anjing yang ada di sini karena banyak sekali yang datang. Jadi, yang punya masalah, datang ke sini untuk penampungan," kata Susan saat berbincang dengan Alinea.id.
Selain anjing, Pejaten Shelter menampung kucing dan monyet telantar yang sakit dan kurang gizi. Binatang-binatang itu biasanya dikirimkan oleh komunitas pecinta hewan dan petugas pemadam kebakaran dari DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
"Kalau dulu, saya sendiri yang rescue (selamatkan). Sekarang, saya hanya menampung dan yang lain yang rescue," ujar perempuan yang telah jadi "aktivis" penyelamatan hewan sejak 2009 itu.
Menyelamatkan dan merawat hewan telantar, kata Susan, bukan perkara mudah. Kendala utama ada pada biaya operasional. Pejaten Shelter butuh banyak biaya untuk membeli pakan, vaksin, serta membayar gaji karyawan. Selama ini, Susan mengaku bergantung pada donasi masyarakat.
"Oleh karena itu, kami harus bekerja terus (mengajak masyarakat peduli). Supaya (anggaran operasional) terpenuhi. Kalau ada yang mau taruh makanan, boleh. Kalau cash, itu dibutuhkan dalam (berbagai hal). Misalnya, saya belum bisa beli obat bius sampai sekarang," kata Susan.
Selain menampung, menurut Susan, petugas Pejaten Shelter juga rajin menjemput bola. Biasanya, mereka mendatangi rumah-rumah warga pemilik anjing untuk menggelar vaksinasi dan sterilisasi. Tujuannya supaya perkembangbiakan binatang peliharaan bisa dikendalikan.
"Mereka akan kita data, kemudian di steril dari rumah ke rumah. Supaya enggak banyak ke sini (Shelter Pajaten). Hulunya kami tangani. Lebih cepat itu ketimbang nampung sebetulnya," ucap dokter patologi klinik itu.
Jika dibanding dulu, menurut Susan, kesadaran masyarakat akan pentingnya merawat dan menyelamatkan anjing serta kucing telantar sudah jauh lebih baik. Itu terlihat dari banyaknya komunitas penyelamatan hewan dan rumah singgah hewan telantar. "Kalau dulu, dibiarin mati," ujarnya.
Meski begitu, upaya-upaya dari masyarakat itu belum cukup. Ia berharap pemerintah juga proaktif untuk menyelamatkan hewan-hewan telantar. Susan mengusulkan pembangunan pusat penampungan hewan terpadu di perbatasan antara Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
"Ada satu lahan yang bisa dikatakan pusat penampungan dan pusat edukasi. Di situ, pemerintah nunjuk, kami yang bangun sehingga saya bisa bekerja sama dengan pemerintah. Harapan saya, itu dibangun," kata dia.