Melarang pergi haji di masa perang
Pada awal Juni 2020, Menteri Agama Fachrul Razi mengumumkan bahwa pemerintah secara resmi membatalkan keberangkatan jemaah haji Indonesia. Meski Pemerintah Arab Saudi belum mengumumkan meniadakan ibadah haji, faktor keselamatan jemaah di tengah ancaman pandemi SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease 2019 (Covid-19) menjadi pemantik Kementerian Agama (Kemenag) bereaksi cepat.
Indonesia sendiri merupakan negara paling besar mengirim jemaah haji. Berdasarkan data Statista.com, pada 2017 jumlah jemaah haji Indonesia yang mengunjungi Ka’bah sebanyak 203.070 orang. Lantas, naik menjadi 203.350 orang di tahun berikutnya. Pada 2019, jumlah tersebut kembali naik menjadi 212.730 orang.
Jika Arab Saudi benar-benar menutup akses jemaah dari berbagai negara ke Makkah, maka hal itu menambah panjang catatan sejarah. Setidaknya, menurut King Abdulaziz Foundation for Research and Archives selama 14 abad sudah 40 kali pelaksanaan ibadah haji ditunda karena perang, konflik politik, dan wabah.
Dien Madjid dalam bukunya Berhaji di Masa Kolonial (2008), mengutip riset Jan Hendrik Ziesel (1929), menyebut jenis penyakit menular yang pernah ada di Makkah, antara lain kolera, baksil disentri, cacar, dan pes. Selain itu, penyakit tuberkolosis, lepra, trahom, sakit kepala, dan kelamin banyak diderita jemaah.
Kolera menjadi penyakit menular yang paling sering membuat kegiatan berhaji mesti ditunda. Menurut Dien, wabah kolera di Makkah sepanjang 1860-1902 terjadi 13 kali.
"Penyakit epidemi itu hanya terjadi di Hijaz (Makkah) sehingga negara lain di Laut Tengah tidak memberi perhatian kepada tindakan pencegahan, meskipun pada akhirnya epidemi kolera merebak ke dunia Eropa," tulis Dien.
Pada 1909, jemaah haji asal Batavia pernah tertular penyakit flu, yang menjangkiti 1.000 jemaah. Lantas, pada 1927, sebanyak 30 jemaah asal Batavia tertular kolera, dua di antaranya terjangkit kolera vibrion.
Larangan haji dan rayuan Belanda
Pada 1947, Indonesia pernah pula membatalkan keberangkatan jemaah haji. Saat itu, Indonesia berada dalam pusaran perang mempertahankan kemerdekaan atau revolusi fisik. Menteri Agama Fathurrahman Kafrawi menerbitkan Maklumat Kementerian Agama Nomor 4 Tahun 1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang.
Sebelum maklumat itu terbit, pada 20 April 1946 pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Mohammad Hasjim Asy’ari mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam Indonesia meninggalkan tanah air dalam keadaan perang.
Dosen Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Johan Wahyudi mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan munculnya fatwa haram berangkat haji.
“Pertama, menimbang kondisi sosial karena (kemerdekaan) Indonesia masih seumur jagung, sementara pada saat yang sama mendapatkan tekanan hebat dari Belanda,” kata Johan saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (8/6).
Menurutnya, pada 1945-1946, sebagian ulama di Jawa, terutama yang bernaung di bawah NU pimpinan Hasyim, memutuskan melarang kegiatan haji.
“Jadi, bukan lagi meniadakan atau mem-pending, tapi bahasanya sudah melarang. Haji dianggap sebagai sesuatu yang terlarang,” katanya.
Alasan pelarangan tersebut, kata Johan, karena kondisi politik dalam dan luar negeri yang sedang tak menentu. Sistem administrasi yang kacau dan kekhawatiran jemaah akan terkatung-katung di luar negeri, menjadi pertimbangan berangkat haji dilarang.
“Karena bagaimanapun juga calon haji ini beberapa santri-santrinya (Hasyim Asy’ari). Jadi, mereka berpikir ke depan, bukan hanya masalah kewajiban,” ucapnya.
Faktor kedua, saat itu kemelut sedang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, misalnya pertempuran Surabaya 10 November 1945. Belum termasuk perang-perang kecil di sejumlah wilayah.
“Jadi, kacau sekali suasana saat itu dan sampai berimbas ke satu tahun berikutnya, yakni 1946,” ujarnya.
Awal kemerdekaan, revolusi sosial di beberapa daerah pun sangat riuh. Indonesianis Anton E. Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah (1989) mencatat gegap gempita revolusi sosial di Kabupaten Brebes, Tegal, dan Pemalang, yang merupakan wilayah Keresidenan Pekalongan, Jawa Tengah.
Peristiwa yang berlangsung pada Oktober-Desember 1945 itu membuat seluruh elite birokrat, pangreh praja, dan sebagian besar kepala desa diganti dengan aparat pemerintahan baru.
“Yang terdiri dari aliran-aliran Islam, sosialis, dan komunis,” tulis Lucas.
Di samping itu, Johan menjelaskan, ketika akan mengurus keberangkatan, calon jemaah haji secara tak langsung harus berkontak dengan administrasi yang masih diurus Belanda.
“Penolakan atas administrasi kolonial yang akan diterapkan kembali, haji akhirnya dilarang,” katanya.
Meski sudah ada fatwa melarang pemberangkatan haji, pihak Belanda masih mencoba merayu umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam kelima.
Di dalam tesisnya di UIN Sunan Ampel Surabaya berjudul Kebijakan Penyelenggaraan Perjalanan Haji Indonesia Tahun 1945-2000 M (2018), Rina Farihatul Jannah mengungkapkan, upaya pemberangkatan jemaah haji dilakukan Belanda untuk meraih simpati umat Islam. Menurutnya, Belanda berhasil memberangkatkan jemaah dari wilayah-wilayah yang dikuasai.
“Pada 1946, ada 70 orang berangkat haji yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara,” tulis Rina.
Sementara itu, Johan menuturkan, meski ada yang berangkat haji atas upaya Belanda, namun tidak mewakili kepentingan umat yang besar. Sifatnya hanya perorangan.
“Gairah sentimen bahwa ‘kami adalah pejuang dan Belanda musuh’ masih sangat besar sekali. Apalagi tokoh-tokoh agama memutuskan untuk berseberangan dengan Belanda,” katanya.
Namun, dalam tesis Rina disebutkan, pada 1947-1949 terjadi lonjakan jemaah haji yang diberangkatkan Belanda. Ia menulis, pada 1947 ada 3.956 jemaah yang diberangkatkan. Setahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi 8.818 jemaah.
“Tahun 1949 jumlah orang yang pergi haji mencapai 8.770 orang,” tulisnya.
“Jemaah haji yang berhasil berangkat pada 1946-1949 dari wilayah yang dikuasai oleh Belanda dijuluki sebagai haji NICA (Netherlands Indies Civil Administration).”
Saling klaim haji
Di dalam bukunya, Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 Jilid II (1900-1950) (2013) Henri Chambert-Loir menyinggung perjalanan haji KH. Abdussamad pada 1948, yang ditulis dalam mukadimah bertajuk Melawat ke Mekah.
Abdussamad berangkat pada 13 Agustus 1948 dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta menggunakan Kapal Prometheus milik Ocean. Kapal itu, sebut Abdussamad, bisa menampung 1.000 lebih jemaah.
Henri sedikit meragukan laporan itu, mengingat jumlah jemaah terbilang kecil karena revolusi fisik yang masih berlangsung dan fatwa KH. Hasyim Asy’ari.
“Pengarang tidak menyinggung fatwa tersebut,” tulis Henri.
Menurut Henri, Indonesia mulai serius membenahi administrasi dan “kedaulatan” dalam bidang haji pada 1948. Pemerintah mengirim K.R.H. Mohd. Adnan yang beranggotakan Ismain Banda, Moh. Saleh Su’aidy, dan Sjamsir St. R. Ameh dalam misi ke Makkah. Mereka lalu mengibarkan bendera Merah-Putih di Arafah.
Belanda tak mau ketinggalan. Rina menulis, mereka mengirim misi kehormatan dari Negara Indonesia Timur—yang saat itu menjadi negara boneka Belanda. Menurut Rina, Pemerintah Arab Saudi bersikap netral. Mereka menerima wakil dari Indonesia dan Negara Indonesia Timur.
“Misi haji Indonesia yang diterima Pemerintah Arab Saudi, menandakan dimulainya titik terang pelaksanaan penyelenggaraan haji oleh Pemerintah Indonesia,” tulis Rina.
Indonesia mengirim misi kedua pada 1949, menjelang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Henri menulis, misi itu diketuai Syekh H. Abdulhamid, beranggotakan S.R.H. Ameh Sjamsir, Moehammad Noer El Ibrahimy, Abdulkahar Muzakkir, Ali Hasjmy, dan Syekh Awab Sjahbal.
Misi kedua memanfaatkan musim haji. Tujuannya, bertemu dengan pemimpin dunia Islam yang berkunjung ke Makkah. Selain itu, mereka memperkenalkan Pemerintahan Indonesia yang baru merdeka.
“Mereka juga menghadap Raja Abdul Aziz Ibn Sa’ud di Istana Mina dan Makkah. Mereka menyebarkan berita mengenai perjuangan Indonesia melalui radio dan surat kabar,” tulis Henri.
Melalui KMB, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Penyerahan kedaulatan itu terjadi pada 27 Desember 1949. Saat itu, Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan pengakuan tersebut, Belanda menyerahkan konsulat yang ada di Jeddah kepada Indonesia.
“Dengan demikian, dimulailah babak baru penyelenggaraan perjalanan haji yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia,” tulis Rina.
Benahi sistem dan gagal haji 1951
Untuk menangani urusan haji, Kementerian Agama RIS dibantu Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (PPPHI/PHI), yang dibentuk pada 21 Januari 1950. Tingginya minat beribadah ke tanah suci, sebut Rina, membuat pemerintah menerapkan sistem kuota haji.
“Jumlah kuota yang ditetapkan oleh pemerintah sebanyak 10.000 orang, sedangkan jumlah pendaftar haji ada 20.000 orang,” tulisnya.
Pada tahun pertama penyelenggaraan haji yang “berdaulat” itu, menurut Rina, pemerintah memberangkatkan 9.892 jemaah, ditambah 27 pendamping haji dan 14 orang tenaga kesehatan. Pembatasan ini menyebabkan banyak calon jemaah yang mesti menunggu berangkat di tahun berikutnya, dan tak sedikit pula yang pergi haji secara mandiri.
“Jumlah jemaah haji yang berangkat namun tidak sesuai prosedur (mandiri) sebanyak 1.843 orang. Mereka yang berangkat haji secara mandiri umumnya menggunakan visa umrah maupun visa ziarah,” tulis Rina.
Sementara itu, Johan mengatakan, penyelenggaraan haji yang dilakukan Pemerintah Indonesia administrasinya stabil selepas tahun 1950. Saat itu, Indonesia juga sudah mendidik petugas haji.
“Mereka memandu jalannya perhajian,” ujarnya.
Namun, pemberangkatan jemaah haji bukannya tanpa masalah. Pada 1951, menurut Rina, setidaknya 8.000 calon jemaah gagal pergi karena dua alasan.
"Orang batal pergi haji akibat wabah penyakit pes di dekat Arab Saudi dan kurangnya akomodasi," tulis Rina.
Menurut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2012), KH. Abdul Wahid Hasyim yang menjabat Menteri Agama menjadi orang yang bertanggung jawab dalam mengorganisir pemberangkatan jemaah haji pada 1951.
Sayangnya, tulis Greg, terdapat banyak kesalahan dalam pengaturan perjalanan jemaah. Akibatnya, ribuan calon jemaah haji batal pergi ke tanah suci.
"Situasi ini menimbulkan mosi tidak percaya DPR terhadap Wahid Hasyim. Oleh karena itu, Wahid Hasyim pun dengan senang hati melepaskan jabatan menterinya," tulis Greg.
Sementara menurut Martin van Bruinessen dalam bukunya NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) berpendapat, masalah transportasi jemaah haji membuat Wahid Hasyim dituduh tidak mengurusnya dengan baik.
Tidak hanya dari kalangan oposisi, tulis Martin, bahkan anggota dari partainya sendiri, yaitu Masyumi, meminta Wahid Hasyim agar mengundurkan diri sebagai menteri.
"Wahid Hasyim yang tidak ingin menjadi sumber konflik dalam Masyumi, menyatakan dirinya tidak ingin menjadi menteri lagi," tulis Martin.