Melongok perayaan Imlek di sudut Jakarta
Bau hio tercium sejak 300 meter sebelum memasuki komplek Wihara Dharma Bakti, Glodok, Jakarta Barat. Ribuan pengunjung bercampur dengan jemaat wihara yang sedang melakukan prosesi sembahyang. Batang-batang hio menguarkan bau khasnya. Berbotol-botol minyak ditumpahkan dalam satu wajan, di samping altar sesembahan tempat di mana batang-batang hio tertancap, dan para jamaat menghadap.
Tak ada barongsai, tak ada cap gomeh seperti yang sering kita temukan ketika menyaksikan perayaan Imlek di kota Singkawang, Kalimantan Barat. Hanya ada pengunjung yang ingin berfoto sembari mengabadikan prosesi Imlek di wihara itu, dan rombongan jemaat yang datang untuk memanjatkan doa pada leluhur, mengharap berkah, kemudahan rezeki, kelancaran usaha, dan kelancaran asmara, di tahun Babi Tanah ini.
“Tak ada prosesi khusus, hanya sembahyang saja seperti biasa,” kata Awe, salah seorang pengurus Wihara Dharma Bakti, ketika ditemui Alinea.id di tengah prosesi, Selasa (5/2).
Semua sesajian yang terkumpul di meja persembahan, menurut Awe, adalah bentuk rasa syukur atas apa yang telah dilalui oleh tiap orang dalam satu tahun belakangan ini. “Nanti itu juga akan dibawa pulang lagi, terus dimakan,” katanya sambil terkekeh.
Macam-macam makanan tersaji di sana; jeruk bali, nanas, jeruk peras, kue keranjang, kelengkeng dan beberapa makanan kaleng.
Awe tengah duduk di satu ruang kecil seukuran loket tiket busway ketika saya ajak mengobrol soal rangkaian prosesi perayaan imlek. Di hadapan wadah berisi uang sumbangan pengunjung, Awe bilang bahwa setiap Imlek, wihara ini pasti ramai didatangi pengunjung.
Dia katakan, pihak wihara sudah melakukan persiapan menyambut Imlek sejak seminggu sebelumnya. Membersihkan halaman dan merapikan semua barang-barang yang terdapat di situ.
Awe jelas tidak sendirian, beberapa orang dengan baju kaos merah sibuk lalu lalang di antara pengunjung, menenteng berbotol-botol minyak dan puluhan hio berbagai ukuran. Mereka adalah orang-orang yang bertugas untuk melayani jemaat yang hendak sembahyang.
Bagi Awe, kedatangan pengunjung untuk sekedar mengambil foto di wihara tersebut tidak mengganggu prosesi sembahyang para jamaat yang ada di sana. “Biasa saja, enggak ada apa-apa, semua lancar aman,” katanya.
Bau hio tercium sejak 300 meter sebelum memasuki komplek Wihara Dharma Bakti, Glodok, Jakarta Barat. Ribuan pengunjung bercampur dengan jemaat wihara yang sedang melakukan prosesi sembahyang. Batang-batang hio menguarkan bau khasnya. Berbotol-botol minyak ditumpahkan dalam satu wajan, di samping altar sesembahan tempat di mana batang-batang hio tertancap, dan para jamaat menghadap.
Tak ada barongsai, tak ada cap gomeh seperti yang sering kita temukan ketika menyaksikan perayaan Imlek di kota Singkawang, Kalimantan Barat. Hanya ada pengunjung yang ingin berfoto sembari mengabadikan prosesi Imlek di wihara itu, dan rombongan jemaat yang datang untuk memanjatkan doa pada leluhur, mengharap berkah, kemudahan rezeki, kelancaran usaha, dan kelancaran asmara, di tahun Babi Tanah ini.
“Tak ada prosesi khusus, hanya sembahyang saja seperti biasa,” kata Awe, salah seorang pengurus Wihara Dharma Bakti, ketika ditemui Alinea.id di tengah prosesi, Selasa (5/2).
Semua sesajian yang terkumpul di meja persembahan, menurut Awe, adalah bentuk rasa syukur atas apa yang telah dilalui oleh tiap orang dalam satu tahun belakangan ini. “Nanti itu juga akan dibawa pulang lagi, terus dimakan,” katanya sambil terkekeh.
Macam-macam makanan tersaji di sana; jeruk bali, nanas, jeruk peras, kue keranjang, kelengkeng dan beberapa makanan kaleng.
Awe tengah duduk di satu ruang kecil seukuran loket tiket busway ketika saya ajak mengobrol soal rangkaian prosesi perayaan imlek. Di hadapan wadah berisi uang sumbangan pengunjung, Awe bilang bahwa setiap Imlek, wihara ini pasti ramai didatangi pengunjung.
Dia katakan, pihak wihara sudah melakukan persiapan menyambut Imlek sejak seminggu sebelumnya. Membersihkan halaman dan merapikan semua barang-barang yang terdapat di situ.
Awe jelas tidak sendirian, beberapa orang dengan baju kaos merah sibuk lalu lalang di antara pengunjung, menenteng berbotol-botol minyak dan puluhan hio berbagai ukuran. Mereka adalah orang-orang yang bertugas untuk melayani jemaat yang hendak sembahyang.
Bagi Awe, kedatangan pengunjung untuk sekedar mengambil foto di wihara tersebut tidak mengganggu prosesi sembahyang para jamaat yang ada di sana. “Biasa saja, enggak ada apa-apa, semua lancar aman,” katanya.
Wihara itu dipenuhi dengan ornamen gabungan warna merah dan emas, mulai dari lampion, lilin-lilin, hio, taplak meja, hingga pernik altar persembahan. Tong-tong besar wadah pembakaran kertas doa terdapat di beberapa titik wihara.
Kevin dan teman wanitanya baru saja melepaskan dua pasang burung dara dari dalam keranjang, persis di depan sebuah meja tempat semua sesembahan diletakkan, ketika saya mendatanginya.
“Pelepasan ini sebagai simbol agar semua keburukan kita terbawa oleh burung ini ke langit, dan mendatangkan kebaikan di tahun baru ini,” kata jemaat wihara ini, di lokasi yang sama.
Dia berharap dengan melepaskan burung-burung itu, Tie Kong (dewa) akan membalas mereka dengan bermacam kebaikan dan kemudahan hidup. Baginya ini adalah prosesi tahunan yang harus dia lakukan, untuk membuang semua karma buruk yang melekat di dirinya.
Dalam tradisi perayaan Imlek, melepas hewan peliharaan, tak hanya burung, adalah bentuk dari usaha untuk menjaga keseimbangan alam. Terciptanya kesinambungan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya diharapkan mampu mendatangkan karma baik bagi siapa pun yang melakukannya.
Burung yang ia lepas, didapatkan dari penjual burung di depan gerbang wihara. Tak hanya burung dara, ratusan burung pipit juga tersedia di dalam sangkar itu.
Sebelumnya, Gubernur Anies Baswedan, juga sempat melepaskan beberapa ekor burung pipit di wihara itu, di sela kunjungannya memantau jalannya prosesi imlek tahun ini.
Sejarah Imlek di Indonesia
“Tradisi Imlek merupakan sebuah momen yang menyatukan kerabat dan sanak famili,” kata Ravando Lie, kandidat doktor sejarah di Melbourne University, ketika dihubungi Selasa (5/4).
Menurutnya,orang Tionghoa yang tidak lagi pergi ke kelenteng, biasanya tetap merayakan Imlek untuk sekedar berkumpul dan makan bersama dengan keluarga mereka. Dia mengatakan, tradisi Imlek ini hampir sama dengan tradisi Lebaran di Indonesia, yang mana para perantauan kembali lagi ke kampung halamannya untuk bertemu sanak-famili mereka.
Jika dilihat dari tinjauan sejarah, kata Ravando, tidak ada catatan pasti kapan keturunan etnis Tionghoa mulai merayakan tradisi Imlek di Indonesia. Dia menduga, munculnya tradisi ini di tanah air terjadi di abad 17 dan 18 seiring dengan tumbuhnya pemukiman-pemukiman kecil Tionghoa.
Namun yang pasti, masuknya Imlek dalam kalender nasional sebagai salah satu hari besar yang diperingati oleh etnis Tionghoa di Indonesia, tidak terlepas dari peran Gus Dur. Setelah sempat dilarang untuk diperingati selama kekuasaan Soeharto lewat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, Gus Dur mencabut Inpres tersebut, sesaat setelah dia memimpin.
Sejak dicabutnya Inpres tersebut pada tahun 2000, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia dapat kembali merayakan tahun baru Imlek.
Lebih jauh menurut Ravando, “Selain angpao, perayaan Imlek biasanya juga tak lengkap tanpa adanya kembang api, barongsai, kue keranjang, dan ornamen berwarna merah yang dipercaya sebagai warna pembawa keberuntungan.”
Bersih-bersih juga harus dilakukan sebelum perayaan Imlek, katanya, yang dipercaya dapat mengusir seluruh hal buruk selama setahun sebelumnya. Tapi jangan melakukan bersih-bersih di saat Imlek, karena dapat 'membersihkan' keberuntungan, tambahnya.
Dia berharap, warisan Gus Dur ini dapat terus berlangsung hingga seterusnya. “Semoga perayaan Imlek dapat berlangsung dengan damai, dan semoga di tahun babi ini dapat membawa kebahagiaan bagi kita semua,” tutupnya.