Mematahkan dalih gangguan jiwa di balik aksi penyerangan
Minggu (13/9) sore, tak pernah terlintas dalam benak penceramah kondang Syekh Ali Jaber, dirinya bakal diserang seorang pria saat mengisi kajian dalam wisuda tahfidz Alquran di Masjid Falahuddin, Tanjung Karang Barat, Lampung. Kejadian berlangsung cepat. Ia mendapat luka tusukan di lengan kanan.
Pelakunya AA, seorang pemuda berusia 24 tahun. Menurut pihak keluarga, pelaku mengalami gangguan kejiwaan sejak 2016.
Setelah itu, pada 23 September 2020, terjadi pelemparan batu di Masjid Nurul Jami di Jalan Bukit Dago Selatan, Bandung. Saat ditangkap warga, pelaku DB memperlihatkan kondisi seperti orang yang mengalami masalah kejiwaan.
Berselang dua hari kemudian, Masjid Al-Muslihun di Jalan Kampung Bengkok, Bandung jadi sasaran pelemparan batu oleh orang tak dikenal. Pelakunya T, yang menurut informasi keluarga mengidap gangguan kejiwaan sejak 2010.
Terakhir, pada 29 September 2020, aksi vandal terjadi di Musala Darussalam, Tangerang. Pelakunya S, diduga melakukan aksi itu karena keyakinan yang dipelajari melalui YouTube.
Menyidik kasus
Meski sebagian besar peristiwa itu pelakunya diduga mengalami gangguan kejiwaan, tetapi penyidik dari kepolisian tak semata-mata berhenti pada kesimpulan tersebut. Misalnya, penyidik Polres Bandar Lampung tetap menahan tersangka AA, walaupun ia punya riwayat sebagai pasien rawat jalan sebuah rumah sakit jiwa.
Penyidik juga menggandeng Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror untuk menelusuri apakah ada motif lain, yang mendorong perbuatan tersangka.
Menurut Kabid Humas Polda Lampung Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad, penyidik memproses secara cepat agar bisa segera disidangkan.
“Berkas sudah dilimpahkan dan dikembalikan oleh JPU (jaksa penuntut umum). Petunjuk dari JPU akan dilengkapi penyidik,” ujar Pandra saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (1/10).
Perlakuan penyidik terhadap kasus aksi vandal di Musala Darussalam, Tangerang pun tak jauh berbeda. Menurut Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Edy Sumardi, pelaku S melakukan aksi corat-coret di dinding musala, menggunting sajadah, dan menyobek Alquran dengan sadar. Akan tetapi, diakui Edy, ketika menjalani pemeriksaan, pelaku S tidak menjelaskan secara konsisten berbagai pertanyaan penyidik.
“Sesuai aturan, dengan melihat situasi dan kondisi, sudah kita lakukan pemeriksaan dengan psikiatri karena jawabannya masih berubah-ubah,” katanya saat dihubungi, Kamis (1/10).
Edy mengakui, hingga kini penyidik belum mendapatkan titik terang alasan pelaku menjadikan musala sebagai sasaran aksi vandal. “Tetapi dia menyiapkan gunting dan Pylox (cat semprot),” katanya.
Menurut sumber Alinea.id di Densus 88, aksi penyerangan terhadap Ali Jaber dan perusakan rumah ibadah tidak tergolong ke dalam aksi teror. Peristiwa itu hanya tindak pidana umum.
Sumber Alinea.id di Densus 88 itu mengatakan, rentetan peristiwa tersebut juga belum dapat disimpulkan sebagai sebuah polarisasi terstruktur dengan tujuan tertentu. Tak pula bisa dikatakan sebagai sebuah aksi dengan mengambil momentum tertentu.
“Masing-masing kasus kemungkinan memiliki karateristik, latar belakang, dan motif yang berbeda. Belum ada ditemukan korelasi antara masing-masing kasus,” kata sumber Densus 88 saat dihubungi, Kamis (1/10).
Sumber Densus 88 tersebut tak membantah, di balik aksi penyerangan atau perusakan, motif yang kerap ditemukan terkait dengan politik, dendam pribadi, terpapar radikalisme, psikopat, bahkan pengaruh video game.
Motif kelainan kejiwaan pelaku, sebut sumber Densus 88, punya banyak penafsiran. Ia menyadari, kesalahpahaman persepsi atas kelainan kejiwaan menjadi salah satu senjata bagi sebuah kelompok untuk menyerang. Sayangnya, kata dia, penyidik tak bisa memungkiri fakta yang menunjukkan hasil kelainan kejiwaan tersangka.
“Ini memang makanan empuk dari para buzzer untuk digoreng, yang ujung-ujungnya untuk mendiskreditkan Polri dan pemerintah,” ucapnya.
Di sisi lain, Zahwani Pandra menuturkan, alasan kelainan kejiwaan tak serta merta meloloskan pelaku dari jerat hukum.
“Hakim menjadi satu-satunya pihak yang berwenang memutuskan apakah hukuman pidana dapat dieksekusi atau dibatalkan dari hasil pemeriksaan kejiwaan tersangka,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala mengungkapkan, aksi penyerangan terhadap ulama dan perusakan tempat ibadah sepanjang September 2020 punya keterkaitan.
Ia menyimpulkan, ada faktor kebencian luar biasa yang dikonstruksi untuk mendorong lahirnya aksi para pelaku. Dalam kasus-kasus tadi, Adrianus menilai, ada potensi memunculkan sentimen anti-Islam.
“Saya tidak melihat aksi-aksi ini sebagai gejala yang tunggal atau spontan, tetapi sebagai bagian aksi yang saling berhubungan atau terkoneksi,” kata Adrianus saat dihubungi, Jumat (2/10).
“Kenapa bisa ada sentimen itu? Karena ada pencetus yang memunculkan kondisi teror serupa di tempat lain.”
Komisioner Ombudsman itu menjelaskan tiga cara menangani aksi penyerangan dan perusakan agar tak terjadi lagi. Pertama, tidak menyebarluaskan informasi terkait peristiwa itu.
“Dengan menganggap ‘angin lalu’, implikasi dari teror ini dapat jauh berkurang,” ucapnya.
Kedua, penanggulangan secara politis harus dilakukan pemerintah lewat sikap tegas dan tak mudah dipengaruhi kelompok tertentu. Ketiga, kerukunan masyarakat perlu diaktifkan.
“Hal ini diperlukan untuk mencegah timbulnya rasa kebencian antarkelompok atau golongan di masyarakat. Terlebih, kondisi sosiologis masyarakat Indonesia belakangan sudah telanjur mudah terpecah-belah,” kata dia.
Tetap bisa dipidana
Dihubungi terpisah, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengemukakan, setiap gangguan kejiwaan bisa dicek tipenya melalui pemeriksaan psikologi. “Tidak bisa istilah tunggal diterapkan secara pukul rata,” kata Reza ketika dihubungi, Kamis (1/10).
Lebih jauh, Reza mengatakan, sebagai sebuah tindak kriminal, proses hukum seharusnya bisa terus berlanjut tanpa terburu-buru memberikan dispensasi hukum. Hanya kondisi tertentu yang menurut Reza memungkinkan seorang pelaku kriminal bisa memperoleh permakluman.
Hal itu diatur dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP yang menyebutkan, tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.
“Semisal pelaku menderita psikopatologi. Itu pun tidak lantas menghentikan proses hukumnya hanya sampai di tingkat penyelidikan atau penyidikan,” katanya.
Peradilan bagi terdakwa yang memiliki gangguan jiwa, kata Reza, tak mustahil dilakukan. Sebab, proses hukum dilakukan atas asas pembuktian, bukan pengakuan.
“Jadi, sepanjang perbuatan pidana terdakwa bisa dibuktikan secara sah dan meyakinkan, maka ia layak divonis bersalah,” tuturnya.
Maka, terhadap kasus penyerangan dan perusakan orang tak dikenal yang belakangan terjadi, Reza berharap agar asumsi pelaku menderita gangguan kejiwaan bisa dipatahkan. Hal ini perlu diupayakan kepolisian dengan menerapkan aturan hukum yang berlaku.
Melalui mekanisme peradilan, ujar Reza, seorang hakim bisa memutuskan status bagi pelaku. Misalnya, perlu dirujuk ke rumah sakit jiwa untuk menjalani pemeriksaan.
“Betapapun seorang kriminal disebut mengidap gangguan jiwa, termasuk oleh polisi sekalipun, tetap ia harus dihadapkan ke majelis hakim,” ujarnya.
Selain itu, kata Reza, selama ini ketentuan dalam Pasal 44 ayat 2 KUHP belum dijalankan dengan tegas atas pengusutan kasus-kasus serupa terdahulu.
Pasal 44 ayat 2 KUHP sendiri berbunyi, jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.
Di samping itu, ia mengingatkan, aturan dalam Pasal 491 KUHP berkekuatan hukum untuk menyasar pihak-pihak yang bertanggung jawab menjaga pelaku dengan gangguan jiwa.
Pasal 491 KUHP berbunyi, barangsiapa yang diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain, membiarkan orang itu berjalan ke mana-mana dengan tidak terjaga, maka diancam dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp750.
“Bila pihak yang bertanggung jawab menjaga pengidap gangguan jiwa itu melakukan kelalaian, dia dapat dikenakan sanksi pidana juga,” ucapnya.
Sementara itu, Adrianus mengatakan, setiap kondisi kejiwaan bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, gangguan kejiwaan yang membuat pelaku tak bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya secara pidana. Kedua, pelaku mengalami gangguan kejiwaan, tetapi tidak menghalanginya untuk bertanggung jawab.
Adrianus menyebut, selain tes psikologi, untuk membuktikan seseorang mengidap gangguan kejiwaan adalah dengan rekam otak atau tes gelombang otak. Kewajiban pelaksanaan tes ini, menurutnya, juga dipengaruhi potensi penyakit psikosis yang diidap pelaku.
Ia menjelaskan, di dalam diri seorang dengan psikosis, potensi ketidakmampuan untuk bertanggung jawab berada pada periode tertentu. Hal ini untuk memastikan apakah gangguan jiwa seorang pelaku berlangsung setiap waktu secara permanen atau tidak.
Pengujian dengan rekam otak, kata Adrianus, perlu dilakukan terhadap tersangka AA, yang menyerang Ali Jaber di Lampung.
“Dari tes rekam otaknya itu, akan dapat diketahui apakah saat menyerang, dia sedang dalam kondisi sadar atau tidak,” katanya.
“Dengan tes itu, pelaku dapat diketahui, apakah dia mengidap penyakit jiwa yang membuatnya tidak tahu sehingga tidak mampu bertanggung jawab.”
Menurut Adrianus, kepolisian bisa bekerja sama dengan jaringan rumah sakit yang menyediakan fasilitas rekam otak dan ahli psikiatri. Namun, ia memaklumi, ada kelemahan dalam pelaksanaan rekam otak sebagai bagian pengecekan kesehatan kejiwaan pelaku.
Kata dia, pada pemeriksaan untuk kasus-kasus kriminal biasa, terutama di perdesaan, pemeriksaan dengan rekam otak pun amat jarang dilakukan. Umumnya, terkendala karena keterbatasan alat medis. Akan tetapi, ia mengingatkan, rekam otak penting sebagai tahapan untuk memastikan kejujuran dan motif pelaku.
“Apakah dia memang betul-betul gangguan jiwa atau ada kemungkinan pura-pura (sakit jiwa) saja,” ujarnya.