Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polisi Republik Indonesia Komjen Agus Andrianto meminta Polda NTB menghentikan kasus Amaq Santi, pria Lombok yang dijadikan tersangka karena membunuh dua pelaku begal. Polda Nusa Tenggara Barat juga menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terkait perkara itu.
Sikap ini sesuai dengan desakan masyarakat, namun sebaiknya Polri memberi langkah khusus agar masyarakat tidak salah paham.
"Penting bagi Polri untuk memastikan masyarakat tidak menangkap pesan secara keliru. Bahwa, seolah, 'silakan bawa sajam dan habisi para begal di tempat'!" kata pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel.
Amaq Santi sempat ditetapkan tersangka karena membunuh dua pelaku begal yang coba merampok motornya di Jalan Raya Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, NTB pada 10 April 2022.
Polres Loteng, Polda NTB pun mengganjar Amaq dengan pasal mengenai penghilangan nyawa dan penganiayaan dengan Pasal 338 sub 351 ayat (3) jo pasal 49 ayat (1) KUHP. Namun, dengan SP3, Amaq dibebaskan dari jeratan dua pasal itu.
"Mengerikan sekali kalau mindset vigilantisme (main hakim sendiri) semacam itu merajalela. Lagi pula, bukankah penyidik harus dijaga independensinya?" ujarnya.
Reza bukan tidak sepakat dengan SP3 untuk Amaq. Menurutnya pembebasan Amaq dari hukuman memiliki subtansi positif. Hanya dia mengingatkan bahwa penyampaian secara terbuka oleh Kabareskrim di media menurutnya "bukan cara kerja yang benar-benar positif".
"Sepatutnya menjadi instruksi langsung dan tertutup saja. Toh jajaran Polda NTB tetap perlu dijaga marwahnya. Masyarakat NTB pun harus teryakinkan bahwa persoalan yang muncul di Polres Lombok Tengah bisa diatasi dengan sebaik-baiknya oleh Polres atau Polda sendiri," jelas dia.
Reza menyoroti fakta bahwa Amaq Santi membawa senjata tajam, tanpa keperluan yang sesuai. Saat peristiwa terjadi, Amaq bukan sedang ingin pergi berkebun, bertani atau semacamnya, tetapi mengantar nasi untuk ibunya yang sedang sakit. Hal ini menurutnya menimbulkan pertanyaan.
"Sekarang tersisa satu persoalan: mengapa warga yang ingin mengantar nasi ternyata membawa-bawa senjata tajam? Awas, jangan-jangan itu merupakan indikasi bahwa warga sudah bersiap untuk menghadapi situasi buruk dengan cara mereka sendiri. Termasuk cara yang bertentangan dengan hukum sekali pun," paparnya.
Dalam sebuah wawancara dengan MetroTV terkait kasus penetapan tersangka terhadap Amaq Sinta, Kapolres Lombok Tengah AKB Hery Indra Cahyono mengatakan bahwa membawa senjata tajam merupakan kebiasaan masyarakat di Lombok Tengah.
"Kalau di Lombok Tengah memang adat istiadat masyarakat di sini ketika berpergian bawa senjata untuk membela atau jaga-jaga. Itu memang adat masyarakat di sini khususnya di daerah perkampungan, pedalaman," ujarnya.
"Mengapa warga sampai punya mindset vigilantisme semacam itu? Apalagi kalau bukan persepsi bahwa kerja aparat penegakan hukum masih belum efektif menjamin keamanan dan keselamatan warga," Kata Reza.