Memburu para pelaku pinjol ilegal
Dua pekan lalu, Bareskrim Polri membekuk pelaku pinjaman online (pinjol) ilegal, Rp Cepat. Para pelaku memanfaatkan teknologi buatan China untuk mendaftar orang dan mengambil data secara ilegal. Mereka pun meneror nasabahnya saat melakukan penagihan utang, dengan cara menyebarkan foto vulgar.
Polisi sudah menetapkan lima tersangka, berinisial MRK, SS, ACJ, BT, dan EDP. Dua tersangka lainnya, warga negara China berinisial GK dan XW masuk dalam daftar pencarian orang.
Kasus itu hanya satu dari banyak perkara pinjol ilegal yang meresahkan warga. Terjebak dengan kebutuhan sehari-hari, tak sedikit orang yang mengambil jalan pintas, meminjam yang lewat pinjol.
Di tengah kebutuhan sehari-hari yang makin mencekik, apalagi di masa pandemi Covid-19, banyak orang yang terjebak dalam kubangan utang lewat jalur cepat pinjol. Namun, yang jadi masalah, mereka meminjam uang dari perusahaan pinjol ilegal.
Jumlah pinjol ilegal pun tak sedikit. Beberapa waktu lalu, Satuan Tugas Waspada Investasi (SWI)—yang terdiri dari 13 kementerian lembaga, termasuk Polri—melaporkan, sejak Juni 2018 hingga Juni 2021, telah menghentikan aktivitas 3.193 pinjol ilegal. Dengan banyaknya kasus penipuan pinjol ilegal, SWI menyarankan masyarakat hanya meminjam pada 125 pinjol yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Mengungkap kasus pinjol ilegal
Polisi pun terus bergerak untuk memberantas pinjol ilegal yang meresahkan masyarakat. Misalnya, Polres Jakarta Utara yang sudah beberapa kali melakukan penindakan terhadap pinjol ilegal.
Menurut Wakapolres Metro Jakarta Utara AKBP Nasriadi, korban mayoritas perempuan. Mereka melaporkan kasus pinjol ilegal karena ada ancaman yang meresahkan.
“Mereka menceritakan alasan peminjaman yang mayoritas uangnya digunakan untuk lifestyle,” ucap Nasriadi saat dihubungi Alinea.id, Kamis (1/7).
Terakhir, ujar Nasriadi, jajarannya membekuk pelaku pinjol ilegal di Sunter, Jakarta Utara. Berkat laporan warga, polisi berhasil meringkus para pelaku di rumah yang disulap menjadi kantor.
“Butuh satu minggu sampai kita berhasil menemukan kantornya dan menangkap para pelaku,” ujarnya.
Dibeberkan Nasriadi, sejak awal hingga pertengahan 2021 ada lima hingga 10 kasus pinjol ilegal yang dilaporkan masyarakat. Pelapornya bukan hanya korban yang meminjam uang, tetapi juga beberapa orang dekat korban yang juga mendapatkan ancaman.
Nasriadi menjelaskan, dalam mengungkap kasus pinjol ilegal, tantangannya adalah mencari pelaku dan kantor yang digunakan untuk operasional. Ketika melakukan pelacakan melalui nomor telepon yang dipakai pelaku, Nasriadi mengatakan, nomor itu kerap berubah atau tak aktif lagi.
Proses penyelidikan dan penyidikan, kata dia, selalu dibantu Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri. Selain itu, informasi dari masyarakat pun sangat penting.
Sementara itu, Kasubdit V Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Kombes Pol Ma’mun menuturkan, pinjol ilegal biasanya melakukan pengancaman saat menagih utang nasabah. Ancaman tersebut berupa menyebarkan video porno, foto vulgar, teror kepada orang dekat, hingga mempermalukan korban.
“Selain itu, mereka memberikan bunga yang selalu berubah setiap hari dan tidak sesuai ketentuan OJK. Jadi, pinjam misal Rp1 juta, ditagihnya puluhan juta,” ucap Ma’mun ketika berbincang di kantornya di Jakarta, Senin (28/6).
Menurut dia, dalam melakukan penindakan, polisi tidak melihat berapa jumlah kerugian dan banyaknya korban. Namun, dampak dari pembiaran jika tak ada proses hukum.
Ma’mun menyebut, modus para pelaku pinjol ilegal semakin berkembang. Mereka bisa mengubah alamat domain untuk mengelabui penyidik.
“Kami bekerja sama dengan Ditsiber (Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri) untuk melacak. Jadi, siber yang patroli, mengidentifikasi lokasi, hingga alatnya,” tutur Ma’mun.
Selain modus, menurut Ma’mun, tantangan lainnya ialah penyidik berusaha mengumpulkan para korban, yang diduga mencapai ribuan orang. Untuk usaha ini, posko pengaduan pun dibuka guna menangani kasus pinjol ilegal.
Dalam menggali keterangan korban, Ma’mun mengatakan, kerap ditemui nasabah pinjol ilegal yang enggan bercerita. Alasannya, mereka malu.
“Karena kan mereka harus cerita alasan peminjaman uangnya dan cara penagihan pelaku yang mengancam dengan mengambil data korban,” katanya.
Pentingnya edukasi
Dihubungi terpisah, Ketua Harian Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) Benny Mamoto mengatakan, selain penegakan hukum terhadap pelaku, persoalan pinjol ilegal harus ditangani dengan memberikan edukasi kepada masyarakat.
Benny menuturkan, edukasi tak hanya sebatas bahaya pinjol ilegal, tetapi juga terhadap proses hukum. Tak bisa disangkal, kata dia, keengganan korban saat dimintai keterangan oleh penyidik lantaran kurangnya edukasi. Menurut Benny, keterangan dari korban sangat dibutuhkan dalam mengungkap kasus pinjol ilegal.
“Tanpa itu, maka pelaku akan bebas mencari mangsa. Kemudian, identitas saksi tidak diekspos ke media supaya tidak malu, sehingga berani melapor,” katanya saat dihubungi, Kamis (1/7).
Lebih lanjut, Benny menyarankan, penanganan pinjol ilegal juga harus berkoordinasi dengan instansi terkait, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dan lembaga lain di luar negeri. Pasalnya, pelaku pinjol ilegal banyak memanfaatkan alat buatan luar negeri untuk melakukan aksinya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengungkapkan, kebutuhan masyarakat akan kredit, baik untuk personal maupun usaha, membuat pinjol jadi sangat dibutuhkan.
“Supply kurang, padahal demand tinggi,” kata Kuseryansah ketika dihubungi, Jumat (2/7).
Akan tetapi, pemanfaatan yang mengakibatkan efek negatif pun tumbuh bersamaan. Kuseryansyah menjelaskan, aplikasi yang mudah dibuat berimbas pada menjamurkan pinjol ilegal. Sedangkan dari sisi regulasi, katanya, belum ada undang-undang yang bisa mengatur hukuman pidana aplikasi pinjol ilegal.
“Makanya kami dari asosiasi sedang mengusulkan adanya pasal di undang-undang manapun, yang menyatakan hanya fintech berizin OJK yang boleh beroperasi,” tuturnya.
Menurutnya, jika sudah ada undang-undang yang mengatur hal itu, polisi akan bisa langsung menindak para pelaku. Sebab, ia menerangkan, selama ini penindakan terhadap pelaku pinjol ilegal hanya dengan pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal pengancaman, dan akses ilegal saja.
Kuseryansyah melanjutkan, jauh sebelum pandemi, pinjol ilegal sudah marak. Ia sependapat dengan Benny, terkait pentingnya upaya edukasi kepada masyarakat.
“Literasinya yang memang harus ditingkatkan,” tuturnya.
Menurut dia, masyarakat harus benar-benar melek mana pinjol yang resmi terdaftar di OJK dan mana yang tidak berizin. Ia menerangkan, jika mendaftar di pinjol resmi, masyarakat memang harus melewati proses administrasi yang ketat. Ia menyebut, kurang dari 50% pendaftar yang bisa lolos proses verifikasi.
Lalu, kata dia, peminjaman uang di pinjol resmi harus melalui proses administrasi dan pertimbangan kesanggupan pembayaran oleh nasabah. Namun, data yang diambil sesuai syarat administrasi saja, tanpa pengambilan kontak maupun isi galeri telepon nasabah.
“Kalau di fintech ilegal memang lebih mudah, tapi data yang diambil sampai ke nomor kontak, galeri foto, dan data pribadi lainnya,” ucapnya.