Memenuhi hak anak yang ikut-ikutan demonstrasi
Sarah, orang tua Rian Setiawan mengaku melihat anaknya keluar rumah menggunakan sepeda motor, tanpa pamit pada 13 Oktober 2020. Saat itu, tengah terjadi aksi massa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di sekitar Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Dengan perasaan waswas, ia kemudian mencari informasi ke Polda Metro Jaya, setelah aksi massa tersebut berujung ricuh.
“Saya ke sini (Polda Metro Jaya). Ada anaknya, langsung ketemu. Akhirnya disuruh buat surat pernyataan efek jera,” kata Sarah saat ditemui reporter Alinea.id di kediamannya bilangan Jakarta Timur, Kamis (15/10).
Rian, yang berusia 15 tahun, mengaku ditangkap pada 13 Oktober 2020. Keesokan harinya, ia baru dijemput orang tuanya. Rian mengatakan, ia diamankan saat tengah merekam demonstrasi yang ricuh di sekitar Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat.
“Saya merekam, tidak demo. Memang posisi salah karena nongkrong bukan menghindari chaos juga,” tutur Rian.
Pemenuhan hak anak
Berdasarkan data dari Polda Metro Jaya, sebanyak 1.169 orang diamankan polisi setelah aksi massa yang ricuh pada 13 Oktober 2020. Dari total jumlah tersebut, 806 di antaranya berstatus pelajar atau anak di bawah umur.
Sedangkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, ada 3.565 anak yang terlibat dalam demonstrasi pada 7-8 Oktober 2020. Kasus anak-anak yang terlibat demonstrasi pun mengemuka tahun lalu. Misalnya, ketika penetapan hasil pemilihan presiden (pilpres) pada Mei 2019, serta aksi menolak RUU KUHP dan UU KPK pada September 2020.
Menurut Kepala bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, aparat kepolisian sudah memberikan hak-hak anak sejak mereka dibawa ke kantor polisi. Ketika penanganan, penempatannya pun dibedakan dengan orang dewasa.
“Semua kami berikan hak-haknya. Teknisnya, pendataan yang anak di bawah umur memang berbeda dari yang dewasa,” kata Yusri saat dihubungi, Jumat (16/10).
Yusri mengatakan, pencatatan terhadap anak-anak yang ikut demonstrasi bertujuan untuk pendataan, jika mereka kembali terbukti ditangkap karena terlibat aksi massa. Sesuai dengan aturan hukum, kata dia, anak-anak yang tertangkap diminta untuk membuat surat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya.
“Mereka didata hanya untuk dokumen kami apabila mereka terbukti terlibat lagi dalam demo, ya harus diproses hukum,” tutur Yusri.
Selain itu, Yusri menuturkan, orang-orang yang diamankan dites kesehatannya, untuk mengetahui apakah mereka terpapar Covid-19 atau tidak. Pihaknya menemukan 47 orang yang reaktif, setengahnya merupakan anak di bawah umur yang ikut-ikutan turun ke jalan karena ajakan melalui WhatsApp.
Mereka langsung dibawa ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat untuk diisolasi sembari menunggu hasil swab.
“Itu bentuk dari pemberian hak-hak kesehatan mereka, terutama anak di bawah umur,” ujar Yusri.
Sementara itu, Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Polri Kompol Ema Rahmawati mengatakan, pihaknya melakukan pencatatan identitas pelajar ikut dalam demonstrasi penolakan UU Ciptaker.
“Hal ini dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan pihak keluarga anak yang bersangkutan,” kata Ema, dalam konferensi pers secara daring bertajuk “Stop Pelibatan Anak dalam Demonstrasi UU Cipta Kerja”, Kamis (15/10).
Ema mengungkapkan, demi keperluan keamanan, identitas anak dirahasiakan. Lalu diserahkan secara resmi ke kepolisian. Akan tetapi, ia menyebut, mayoritas pelajar di bawah umur tak terbukti melakukan tindak pidana.
“Jika memang ada bukti (pidana), maka akan ditindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait kedudukan anak, bila ia menjadi pelaku, penindakannya berlaku menurut UU Sistem Peradilan Anak,” tuturnya.
Bagaimana anak diperlakukan?
Dalam kesempatan yang sama, komisioner KPAI bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak Jasra Putra mengatakan, ada tiga aspek yang harus diterapkan dalam kasus anak yang terlibat demonstrasi, yakni perlindungan, pencegahan, dan penanganan.
Ia menjelaskan, perlindungan harus memperhatikan penerapan protokol kesehatan saat anak diamankan, menjalani proses identifikasi, serta pendataan. Adapun, kata Jasra, terkait kasus anak berhadapan dengan hukum, penanganannya mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Ia mengatakan, dalam Pasal 15 UU 35/2014 memuat empat bentuk pelibatan anak yang harus mendapat perlindungan, yakni pelibatan anak dalam sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung kekerasan, dan peperangan.
Lalu, di aspek pencegahan, Jasra mengatakan, KPAI mendorong pemerintah untuk mengedepankan sosialisasi dan edukasi bagi anak. Hal ini penting diwujudkan dengan mendorong fungsi forum anak, organisasi pelajar, dan komunitas anak.
“Melalui ruang-ruang sosial itulah, anak dididik untuk dapat mengaktualisasi partisipasi dirinya dan memastikan agar tak terlibat dalam demo,” kata Jasra dalam konferensi pers daring, Kamis (15/10).
Menurut Jasra, ruang-ruang dialog yang jauh dari kekerasan, penting untuk mendorong beragam saluran penyampaian pendapat anak. Ia menyampaikan, komunikasi aktif orang yang lebih dewasa dan orang tua dibutuhkan untuk memberi umpan balik kepada anak.
Sementara itu, Deputi bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPA) Nahar mengingatkan peran aktif keluarga, lingkungan sosial, dan pemerintah daerah dalam membangun lingkungan yang lebih ramah anak.
“Jangan sampai anak tak tahu apa-apa, lalu digerakkan oleh orang dewasa untuk berdemo,” ucap Nahar dalam konferensi secara daring, Kamis (15/10).
Di sisi lain, Nahar mengatakan, Kemen PPA berkomitmen penuh mengupayakan penegakan prinsip-prinsip peradilan anak demi meminimalkan efek kekerasan. Hal ini diperlukan agar hak-hak anak dapat terpenuhi, termasuk dalam mengutarakan pendapat.
Selanjutnya, proses hukum yang dijalani anak harus dipastikan melalui koordinasi unit PPA Polri dengan Balai Pemasyarakatan, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), dan pekerja sosial. Menurut dia, koordinasi ini penting demi menjamin ketersediaan sarana memadai bagi anak, bila harus menjalani proses hukum.
Nahar juga mengingatkan, data identitas anak yang berpartisipasi dalam demonstrasi harus dirahasiakan dari publik. Pencatatan identitas ini, kata dia, bersifat rahasia hanya untuk kebutuhan proses penilaian.
“Jangan sampai pencatatan itu jadi stigma dan labelisasi yang menjadikan anak-anak menjadi susah atau tak punya kesempatan lagi untuk melanjutkan kehidupannya,” katanya.
Perihal pencatatan identitas anak yang terlibat unjuk rasa, komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti mengingatkan perlunya pembedaan perlakuan, sesuai tingkat partisipasinya.
Sebab, berdasarkan aduan yang diterima KPAI, ada beberapa anak yang diamankan polisi sebelum mereka tiba di lokasi unjuk rasa. Ia pun berharap, anak-anak yang tak terbukti melakukan tindak pidana, bisa dipulangkan dan diberi kesempatan memperbaiki diri.
“Mungkin anak itu salah langkah,” ucapnya dalam konferensi pers secara daring, Kamis (15/10).
Retno menambahkan, kepentingan terbaik bagi anak dalam kasus anak berhadapan dengan hukum harus semakin diutamakan. Ia mengimbau agar para kepala sekolah dan dinas-dinas pendidikan seluruh Indonesia secara aktif memulihkan stigma anak yang terlibat unjuk rasa.
Retno mengharapkan, anak yang terlibat dalam aksi massa tidak dijatuhi sanksi yang berat, seperti dikeluarkan ataupun dipindahkan ke sekolah lain.
“Di era pandemi ini sudah banyak anak putus sekolah, entah karena menikah atau memutuskan bekerja. Jangan sampai karena mereka ikut demo, anak dikeluarkan dari sekolah,” katanya.