close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kekerasan di sekolah. Alinea.id/Dwi Setiawan.
icon caption
Ilustrasi kekerasan di sekolah. Alinea.id/Dwi Setiawan.
Nasional
Kamis, 20 Februari 2020 08:51

Memutus mata rantai kekerasan di sekolah

Pada 2019, merujuk data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 4.369 kasus pelanggaran hak anak.
swipe

Belakangan ini, kasus kekerasan di sekolah mengemuka. Pada 14 Januari 2020, seorang siswi SMPN 147 Jakarta Timur bunuh diri dengan cara melompat dari lantai empat. Sebelum melakukan aksi nekat itu, ia mengaku tasnya disita guru karena dituduh membolos saat jam belajar. Padahal, ia tengah sakit dan beristirahat di ruang usaha kesehatan sekolah (UKS).

Lalu, seorang guru di SMAN 12 Bekasi memukuli muridnya yang terlambat. Kemudian, seorang siswi SMP Muhammadiyah Purworejo dipukul dan ditendang tiga siswa.

Pada 2019, merujuk data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 4.369 kasus pelanggaran hak anak. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 5,5% dibandingkan dengan tahun 2018, yang berjumlah 4.885 kasus.

Dalam 10 bidang atau klaster kekerasan, kekerasan dalam pendidikan ada 321 kasus, turun dibandingkan 2018 sebesar 451 kasus.

Pada April-Juli 2018, KPAI mencatat, ada 13 kasus perundungan (bullying) di sekolah. Selama 2019, KPAI menerima laporan kekerasan fisik dan perundungan di sekolah mencapai 171 anak. Jenjang pendidikan sekolah dasar (SD)/madrasah ibtidaiyah (MI) dan sekolah menengah atas (SMA)/sekolah menengah kejuruan (SMK)/madrasah aliyah (MA) paling banyak jumlahnya, yakni 39%.

Deteksi dini dan survei karakter

Di sekolah, sebenarnya ada guru bimbingan konseling (BK), yang berfungsi untuk melayani konseling (konselor). Guru BK SMPN 43 Jakarta, Khoeriyatun mengatakan, setiap jam istirahat dan setelah pulang sekolah, ia membuka posko pengaduan dan keluhan murid.

“Dari masalah perundungan hingga persoalan remeh temeh. Di sini enggak ada kekerasan, mungkin keterlambatan atau kesulitan belajar,” katanya saat ditemui reporter Alinea.id di SMPN 43, Jakarta, Senin (17/2).

Khoeriyatun mengatakan, perundungan verbal lebih sering ditemukan daripada fisik. Misalnya, saling memaki sesama teman atau memanggil nama orang tuanya. Sebagai guru BK, Khoeriyatun biasanya memanggil anak tersebut dan menasihatinya.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ade Erlangga Masdiana berharap, setiap dinas pendidikan di daerah memastikan proses pendidikan yang ramah anak.

Menurutnya, satuan pendidikan daerah harus mematuhi mekanisme pencegahan dan penanggulangan kekerasan di sekolah, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Ia mengatakan, Kemendikbud juga akan mengadakan survei karakter untuk deteksi dini. Menurut Ade, pembenahan terhadap sistem telah tercermin dari beberapa kebijakan baru, seperti asesmen kompetensi minimum dan survei karakter sebagai pengganti ujian nasional (UN).

Murid-murid SMPN 43 Jakarta tengah berolah raga, Senin (17/2/2020). Alinea.id/Manda Firmansyah.

“Ini maksudnya, Kemendikbud mau memastikan atau memetakan kondisi pendidikan dan karakter di satuan pendidikan di seluruh Indonesia. Ini perlu untuk melakukan intervensi langkah-langkah perbaikan ke depan sebelum anak didik tersebut lulus,” ujar Ade saat dihubungi, Selasa (18/2).

Sementara itu, anggota komisi X DPR Ledia Hanifa mendesak Kemendikbud menetapkan standar sekolah ramah anak. Di sisi lain, diperlukan sosialisasi kepada guru terkait bagaimana menghukum siswa, tanpa melibatkan kekerasan.

Dibandingkan mendatangkan psikolog khusus, kata dia, sebaiknya pencegahan dan pendampingan terhadap anak korban perundungan dapat diatasi dengan mengoptimalkan peran guru BK.

Ledia mengingatkan agar wali kelas dan guru BK bisa mendeteksi dini gejala perundungan. Ia berharap survei asesmen yang bakalan diterapkan Mendikbud Nadiem Makarim dapat mencegah perundungan di sekolah.

“Biasanya anak yang mengalami perundungan tidak terbuka, justru menyembunyikan. Atau dipanggil BK berarti bermasalah. Jadi, dengan survei, kita bisa melihat gejala dan harus ada yang berhentiin," ujar Ledia di Jakarta, Sabtu (15/2).

Ia mendorong pengawas sekolah bukan hanya mengevaluasi tataran administrasi belaka, tetapi juga terkait perundungan.

“Nanti diawasi, kalau ditemukan pidana ya berarti ada sanksi hukum dan itu sudah di atur dalam undang-undang perlindungan anak,” ucapnya.

Dampak dan cara mengatasi

Komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan, kasus perundungan sesungguhnya dapat dicegah dengan menghentikan budaya kekerasan terhadap anak. Perilaku anak merundung teman sebayanya merupakan hasil pola asuh orang tua dan model pendisiplinan guru yang masih menggunakan pendekatan kekerasan.

“Jadi, pendekatannya dengan kekerasan, enggak pakai gesper dipukul, terlambat datang dijemur,” ujar Retno saat dihubungi, Senin (17/2).

Ia mengatakan, seharusnya keluarga dan sekolah menanamkan pendidikan karakter tanpa kekerasan. Jika keluarganya hangat, orang tuanya mendengarkan keluhan anak tanpa menghakimi, tentunya anak tak akan tertular menjadi pelaku perundungan. Sebaliknya, jika anak hanya menerima kekerasan di rumah, maka anak bisa menilai bahwa orang tuanya yang salah dalam mengasuh.

“Ada proses yang mana anak tahu, kalau di luar rumah keras dan di dalam rumah keras, itu berarti kekerasan benar,” ucapnya.

Retno mengatakan, murid korban perundungan harus bisa melapor sekaligus merasa terlindungi. Sehingga, perlu dibangun sistem perlindungan. Oleh karena itu, guru harus menghukum pelaku perundungan tanpa menggunakan cara membalas dendam.

Lebih lanjut, Retno menjelaskan, para guru biasanya tidak percaya bisa mendisiplinkan muridnya tanpa kekerasan.

Sebaiknya, orang tua harus mengerti bagaimana mendidik anak agar bisa memutus mata rantai kekerasan terhadap anak. Anak harus diberi materi terkait dampak bagi pelaku dan korban perundungan agar bisa berpikir kritis dalam bertindak. Anak korban dan pelaku perundungan juga harus direhabilitasi.

Siswa SDN 145 Inpres Pampangan melakukan senam kreasi saat mencanangkan program Sekolah Ramah Anak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (5/2/2020). Foto Antara/Abriawan Abhe..

Menurut Psikolog Liza Marielly Djaprie, dampak perundungan terhadap anak sangat tergantung dengan tingkat keparahan, karakter anak, dan komunikasi dengan orang tua. Umumnya, dampak perundungan verbal dan psikis jauh lebih buruk daripada perundungan fisik. Perundungan verbal beririsan dengan kekerasan psikologis, sehingga pemulihan membutuhkan waktu yang cenderung lebih lama.

“(Tapi) ada karakter anak yang tidak bisa main fisik. Makanya, lebih kena kalau dirundung secara fisik daripada verbal,” ujar Liza saat dihubungi, Selasa (18/2).

Perundungan fisik biasanya mengakibatkan luka, seperti memar. Orang tua bisa menaruh perhatian karena luka akibat perundungan terlihat. Sementara perundungan verbal menghasilkan luka psikologis yang abstrak. Anak biasanya tidak berani membicarakannya. Akibatnya, luka psikologis anak dipendam dan menumpuk.

Perundungan verbal berdampak buruk karena kemampuan analisa anak belum baik. Namun, dampak perundungan terhadap anak bisa diminimalisir bila anak telah terlatih sejak kecil mengkomunikasikan keluhannya kepada orang tua.

“Kalau perundungan verbal dan psikis dilakukan terus menerus, itu bisa menganggu kondisi kejiwaan anak. Ia bisa rendah diri, bisa jadi depresi,” ucapnya.

Liza mengatakan, guru perlu dibekali pengetahuan untuk menghadapi kondisi anak korban perundungan dengan pelatihan manajemen konflik. Sayangnya, kata dia, pendidikan di Indonesia masih menekankan kecerdasan intelektual dan mengabaikan kecerdasan emosional. Padahal, kecerdasan emosional penting karena menyangkut empati kepada orang lain dan manajemen emosi.

Dihubungi terpisah, pengamat pendidikan Ina Liem mengatakan, penyelesaian perundungan harus dimulai dari pengakuan terkait adanya kasus itu agar pihak sekolah serius melakukan tindakan pencegahan. Potensi perundungan telah muncul sejak awal tahun ajaran. Sebab, alasan perundungan biasanya terkait penampilan.

Menurut Ina, perundungan oleh murid laki-laki biasanya karena iseng, sedangkan murid perempuan lebih pada alasan rasa iri, terutama masalah kecantikan. Target perundungan biasanya telah ditetapkan ketika awal perkenalan seiring dengan proses penilaian.

“Anak yang di-bully biasanya yang beda. Misalnya, yang kutu buku,” ujar Ina saat dihubungi, Senin (17/2).

Perundungan akibat perbedaan juga terjadi karena sekolah-sekolah tersegmentasi. Menurutnya, sistem zonasi bagus untuk meleburkan perbedaan karena murid terdekat biasanya beragam dari segi kelas sosial-ekonomi hingga suku.

Untuk mengantisipasi perundungan, Ina menyarankan, sekolah mengadakan lokakarya di awal tahun ajaran dengan menghadirkan psikolog. Sesi diskusi pun perlu dibedakan antara laki-laki dan perempuan agar potensi perundungan dapat diminimalisir.

Infografik kekerasan di sekolah. Alinea.id/Dwi Setiawan.

“Ini sebenarnya penting. Selama ini dianggap tidak penting karena sekolah terlalu sibuk mengajar materi pembelajaran untuk ujian. Pendidikan dasar dan menengah itu perlu dingatkan sekali lagi kalau fokus utamanya pendidikan karakter,” ucapnya.

Ina menjelaskan, peran guru BK sangat penting terkait masalah psikologis anak. Namun, kepastian keamanan lingkungan sekolah dari perundungan merupakan tanggung jawab semua guru. Kendalanya, guru masih terbebani penuntasan materi pelajaran dan pekerjaan administratif, sehingga deteksi dini potensi perundungan kerap dikesampingkan.

“Karena guru BK itu menangani ratusan siswa, sehingga tidak ketahuan siapa yang kena bully,” tutur Ina.

Kasus perundungan terhadap anak atau guru, kata dia, seharusnya diselesaikan bukan hanya dengan saling memaafkan. Sebab, prinsip dalam pendidikan terdiri dari hukuman dan penghargaan. Saat ini, tren penghargaan mudah ditemukan daripada hukuman karena guru takut dirisak orang tua murid.

Menurut Ina, pendidikan karakter untuk generasi milineal sebaiknya harus menumbuhkan kepekaan sosial dan tanggung jawab atas kepentingan bersama.

“Di Amerika pendidikan ala militer itu, kalau satu anak telat bangun pagi, satu tim dihukum. Seminggu ke depan, dihukum bangun pagi satu jam lebih awal. Bukan dipukul,” ujar Ina.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan