Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, diminta tidak terburu-buru mengubah aturan pendirian rumah ibadah. Ia disarankan terlebih dahulu menyelenggarakan dialog intensif lintas pemuka agama dan pimpinan ormas keagamaan sebelum mengambil keputusan selain mempertimbangkan fakta sosial yang ada.
Anggota Komisi VIII DPR, Hidayat Nur Wahid, mengingatkan, dialog intensif itu diperlukan agar apa pun aturan yang dibuat menjadi solusi berkeadilan bagi seluruh umat beragama di Indonesia. Apalagi, sejumlah pihak sudah mengkritisi rencana Menteri Yaqut tersebut.
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, urusan beragama, apalagi terkait pendirian rumah ibadah, memang kompleks. Tidak hanya mayoritas dan minoritas yang berbeda-beda di banyak kasusnya, seperti di Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua yang mayoritasnya nonmuslim.
"Di situ ada unsur tokoh agama, forum umat beragama, masyarakat, ormas keagamaan, dan lain-lain, yang semuanya punya peran untuk harmoni kehidupan beragama melalui pendirian rumah ibadah. Fakta sosial ini mesti ditimbang," kata HNW, panggilan Hidayat, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (12/6).
Rencana Yaqut mengubah Peraturan Bersama Menag dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah menuai penolakan. Salah satunya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketua MUI, Utang Ranuwijaya, meminta aturan itu tak diganti dengan yang baru. Alasannya, aturan yang berlaku saat ini efektif menjaga kerukunan antarumat beragama.
Ia juga menilai, Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB), yang terbentuk di daerah seluruh Indonesia, berhasil menjalankan fungsinya menjalankan aturan pendirian rumah ibadah tersebut.
Menurut HNW, merujuk data resmi yang dikeluarkan Kementerian Agama (Kemenag), tampak bukti-bukti tidak ada diskriminasi dalam pendirian rumah ibadah. Diskriminasi menjadi hal yang sering diopinikan dan dijadikan alasan perubahan aturan pendirian rumah ibadah.
Jika latar belakang keinginan Menag mengubah aturan pendirian rumah ibadah adalah aspirasi dari gereja melalui Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), kata HNW, maka data Kemenag menunjukkan dibandingkan jumlah masjid, jumlah gereja meningkat paling tinggi selama 3 tahun terakhir.
Pada tahun 2021, jelas HNW, jumlah gereja Kristen di Indonesia mencapai 72.233 unit atau meningkat 23,46% dari tahun 2019 yang berjumlah 55.287 unit. Jumlah gereja Protestan pada 2021 berjumlah 13.749 unit atau meningkat 14,66% dibanding 2019 sebesar 11.734 unit. Adapun jumlah masjid pada 2021 sebanyak 285.631 unit dengan peningkatan hanya 1,97% dibanding 2019 sebesar 280.006 unit.
Jumlah pemeluk Islam pada 2021 mewakili 86.93% populasi, kata NHW, tetapi jumlah masjid yang didirikan tidak setara, jauh di bawah persentase yang hanya 74% dari total rumah ibadah di Indonesia. Sementara itu, umat Kristen di Indonesia 7,47% dan Protestan 3,08%, tetapi jumlah rumah ibadahnya jauh lebih besar, yakni 18,72% (Katolik) dan 3,56% (Protestan) dari jumlah total rumah ibadah.
"Ini menunjukkan toleransi sudah berjalan dan secara aturan tidak mendiskriminasi terhadap agama apa pun, termasuk dalam pendirian rumah ibadah. Bahkan, agama Konghucu yang mewakili 0,05% umat beragama di Indonesia juga memiliki jumlah Klenteng dengan persentase lebih banyak, yaitu 0,15% dari total rumah ibadah," sebut HNW.
Karena itu, kata HNW, sebelum mengubah aturan pendirian rumah ibadah, penting bagi Yaqut untuk melihat fakta-fakta resmi yang dikeluarkan Kemenag secara mendalam. "Agar dapat mendudukkan masalah lebih proporsional berkeadilan, dan tidak hanya berdasarkan kasus per kasus saja."