Menteri Pertahanan Amerika Serikat (Menhan AS), Lloyd Austin III, bertolak ke Indonesia dan menemui Menhan RI, Prabowo Subianto, di Kementerian Pertahanan (Kemhan), Jakarta, pada Senin (21/11). Padahal, Prabowo bertemu Menhan China, Jenderal Wei Feng He, beberapa hari sebelumnya.
Berdasarkan catatan, sua ini menjadi pertemuan keempat bagi keduanya dalam dua tahun terakhir. Lantas, ada apa di balik pertemuan tersebut?
Dalam sesi konferensi pers usai pertemuan, Prabowo mengungkapkan, kedatangan Austin ke Kemhan dalam rangka memperkuat kerja sama pertahanan kedua negara, khususnya di bidang pendidikan prajurit TNI, alat utama sistem senjata (alutsista), hingga pelatihan bersama.
"Saya menyampaikan kepuasan terhadap kerja sama kedua negara hingga saat ini. Hubungan kedua negara telah berlangsung berpuluh tahun dan berada dalam situasi yang sangat baik," kata Prabowo.
Austin menambahkan, persahabatan AS dan Indonesia di bidang pertahanan telah berlangsung dalam 70 tahun terakhir dan terus mengalami kemajuan. RI juga dinilainya menunjukkan kemampuan mempertahankan kedaulatan dan keamanan kawasan Indo-Pasifik.
"Amerika Serikat bangga bekerja sama dengan Anda untuk memastikan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," ucapnya.
Sementara itu, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, berpendapat, kedatangan Austin secara formal tergolong kunjungan balasan. Namun, dalam aspek geopolitik, bisa dinilai sebagai bentuk perimbangan pengaruh antara China dan AS di kawasan Asia Tenggara melalui peningkatan hubungan pertahanan bilateral.
"Kunjungan ini juga menunjukkan bahwa hubungan Indonesia-Amerika Serikat tidak terpengaruh oleh kunjungan Menhan Prabowo ke China beberapa hari lalu. Hal itu setidaknya tampak dari pernyataan Menhan Prabowo dan Austin yang menekankan bahwa kerja sama pertahanan antara kedua negara merupakan sebuah sejarah panjang yang akan terus berlanjut dan meningkat di masa depan," tuturnya kepada Alinea.id.
Fahmi menambahkan, kedatangan Austin juga menunjukkan Indonesia merupakan mitra strategis di Indo-Pasifik sehingga tidak boleh ditinggalkan demi stabilitas kawasan. Ini tecermin dari bantuan dan dukungan AS dalam pembangunan pertahanan RI.
Di sisi lain, dirinya menilai, AS juga enggan mengintervensi atau menghargai hubungan Indonesia-China di bidang pertahanan. Apalagi, RI menganut sikap nonblok dan bebas aktif.
"Bahwa AS tetap berupaya memengaruhi Indonesia agar cenderung berpihak pada kepentingan Amerika, saya kira, itu wajar saja," ujarnya.
Fahmi mengakui Indonesia belum sampai pada tahap mengimbangi kedua kekuatan utama di Indo-Pasifik. Dengan demikian, RI tidak bisa berbuat lebih ketika AS dan China bersikeras untuk berperang. "Kita juga enggak bisa menghalangi."
Meskipun demikian, dirinya mengapresiasi sikap Prabowo yang terus membangun hubungan diplomasi pertahanan dengan dua kekuatan dua negara adidaya tersebut. Pangkalnya, Indonesia memang harus selalu meningkatkan posisi tawar serta memperkuat diplomasi ekonomi dan pertahanannya, terutama dengan AS dan China.
"Yang bisa dilakukan Indonesia adalah memainkan peran dan memanfaatkan daya tawarnya sebagai salah satu aktor determinan di kawasan untuk mendorong stabilitas atau setidaknya mempertahankan status quo dan menekan eskalasi melalui ayunan politik luar negeri bebas aktif dan pragmatisme kepentingan nasional terhadap AS dan China," urainya.
Selain itu, upaya meningkatkan posisi tawar serta memperkuat diplomasi ekonomi dan pertahanan juga bertujuan meningkatkan kepercayaan. Kemudian, mengurangi kekhawatiran dan kesalahpahaman antara Indonesia dengan AS dan China.
"Indonesia harus menunjukkan bahwa hubungan Indonesia dan AS adalah hubungan berbasis kesepahaman kepentingan dan kemitraan, bukan hegemoni-proksi. Dalam konteks diplomasi pertahanan, itu disebut sebagai defence diplomacy for confidence building measures. Dan menurut saya, pesan itu sudah tersampaikan oleh Menhan Prabowo," tandas Fahmi.