Menakar nasionalisme PNS dari apel pagi dan penataran P4
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjahjo Kumolo menginstruksikan kepada semua aparatur sipil negara (ASN)—termasuk di dalamnya pegawai negeri sipil (PNS)—melaksanakan apel pagi di lingkungan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
Kegiatan yang dilakukan adalah upacara pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Apel pagi itu dilakukan setiap Senin pukul 08.00 WIB.
Selain pengibaran bendera dan menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, ASN juga diwajibkan hormat kepada bendera Merah Putih, pembacaan teks Pancasila, dan pembacaan ikrar Korpri, pengarahan pembina upacara, dan pembacaan doa.
Setiap Selasa dan Kamis mulai pukul 10.00 WIB, ASN juga wajib memperdengarkan atau menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Tjahjo terinspirasi dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, yang mulai 20 Mei 2021 meminta mengumandangkan lagu "Indonesia Raya" di ruang publik, instansi pemerintah daerah, dan swasta. Kemudian pada Rabu dan Jumat pukul 10.00 WIB, ada pembacaan teks Pancasila.
Seluruh kegiatan ini dimulai di lingkungan KemenPAN-RB pada Juni 2021. Awal Juli 2021, Tjahjo menginginkan diterapkan di semua kementerian, lembaga, pemda, dan instansi sekolah. Menurut Tjahjo, kegiatan ini dilakukan guna meningkatkan rasa kebangsaan dan kecintaan ASN terhadap NKRI.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut, apel pagi bukanlah hal baru. Seremoni itu sudah dilakukan pada masa Orde Baru.
“Tapi kemudian dihapuskan saat reformasi karena dianggap indoktrinasi,” ujar Trubus saat dihubungi Alinea.id, Rabu (16/6).
Akan tetapi, menurut Trubus, tak ada korelasi antara rasa cinta ASN terhadap NKRI dengan upacara. Ia menuturkan, yang terpenting adalah ASN memberikan layanan publik.
Belum lagi, menurut dia selama pandemi, ada 1,6 juta ASN yang kinerjanya tak diketahui. Lalu, ada pula ASN yang kategorinya masih fiktif. Di samping itu, ASN pun ikut bertanggung jawab atas perizinan investasi, sebagai wujud dari terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Kalau apel pagi itu menurut saya, lebih saja ditempatkan sebagai tanggung jawab ASN untuk berikan keteladanan kepada masyarakat, pentingnya menghormati bendera dan kebersamaan,” ujar dia.
Nasionalisme dari penataran P4
Dahulu, pemerintah Orde Baru pun berusaha membangun rasa nasionalisme kepada PNS melalui sejumlah peraturan. Bukan cuma apel pagi yang wajib setiap Senin, tetapi juga lewat sebuah penataran secara terstruktur dan masif.
Sebelumnya, Orde Baru berusaha menata PNS, usai Sukarno tumbang dari kekuasaan. Melalui Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 lahir Kabinet Ampera. Menurut Agus Dwiyanto, dkk dalam buku Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia (2002), ada banyak program perbaikan kondisi birokrasi pemerintah, di antaranya rasionalisasi birokrasi.
Pemerintah Orde Baru juga melakukan penataan kembali struktur organisasi pemerintahan dan peningkatan profesionalisme pegawai lewat aneka pelatihan.
“Pembersihan birokrasi dari pengaruh politik partai dilakukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1969, yang meletakkan biroktasi sipil di bawah kontrol pemerintah pusat,” tulis Agus.
Pada 1966, PNS dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) disatukan dalam sebuah lembaga tunggal: Korps Karyawan Kemendagri (Kokar Mendagri). Lembaga ini, yang disebut Agus, didesain untuk pemenangan Golongan Karya (Golkar) dalam Pemilu 1971.
Kesuksesan Kokar Mendagri dalam memenangkan Golkar pada Pemilu 1971 mendorong pemerintah membentuk sebuah lembaga yang lebih luas keanggotannya, meliputi semua aparat birokrasi dari berbagai departemen di pusat dan daerah, yang dinamakan Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) pada 29 November 1971.
Pada 1978, melalui Ketetapan MPR Nomor II Tahun 1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa, dimulai kegiatan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Menurut Soeharto, dalam buku autobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, sebelum penataran P4 dilaksanakan, dibentuk badan-badan yang ditugaskan memikirkan bahan penataran, memberikan arahan, dan melaksanakannya.
Penataran P4 disiapkan secara terorganisir. Soeharto kemudian membentuk Badan Pembinaan Pendidikan dan Pelaksanaan P4 (BP-7) sebagai eksekutor kegiatan ini. Tim ini dibentuk dari tingkat pusat hingga daerah.
“Materi penatarannya di samping P4, diperluas dan diperlengkap dengan UUD 45 dan GBHN,” kata Soeharto dalam buku autobiografinya.
PNS dan anggota ABRI menjadi yang pertama mendapat penataran. Sebab, ujar Soeharto, mereka merupakan aparat pelaksana penyelenggaraan pemerintahan negara.
“Hanya pegawai negeri dan anggota ABRI yang memahami Pancasila, UUD 45, dan GBHN-lah yang akan dapat mengemban tugas sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang baik,” ujar Soeharto.
David Bouchier dalam Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (2014) menulis, pada 1 Oktober 1978 Presiden Soeharto membuka penataran P4 tingkat nasional pertama untuk pejabat senior. Penataran ini menyasar pula PNS eselon 2, pegawai tingkat rendah, duta besar, dan rektor.
Lulusan penataran ini oleh kantor pusat dan daerah BP-7 diberikan gelar Manggala (Panglima), yang memungkinkan mereka melakukan penataran untuk pejabat berpangkat lebih rendah dan bertindak sebagai penutur pesan ideologis pemerintah.
“Seperti sesi indoktrinasi di bawah Demokrasi Terpimpin, prinsipnya adalah penataran P4 akan dimulai dari pusat dan menyebar melalui jajaran birokrasi, kemudian ke masyarakat secara keseluruhan,” tulis Bouchier.
Menurut Soeharto, hingga Maret 1983 tak kurang dari 1,8 juta PNS telah ikut penataran ini. Penataran kemudian menjangkau masyarakat luas, mulai dari anggota partai politik, ulama, rohaniwan, mahasiswa, karyawan swasta, pengusaha, wartawan, artis, dan sebagainya.
Penataran P4 memaksa PNS untuk disiplin. Bouchier menulis, PNS harus tiba tepat waktu di aula seminar pada pukul 08.00 WIB dan tetap di sana hingga pukul 18.00 WIB. Kehadiran di semua sesi penataran P4, sebut Bouchier adalah wajib. Mereka yang datang terlambat di salah satu sesi akan ditandai sebagai peserta yang tak patuh etika.
“Penataran P4 merupakan bagian yang penting dari pembangunan bidang ideologi, terutama pemantapan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup berbangsa kita,” kata Soeharto.
“Pemasyarakatan P4 yang berhasil akan merupakan kekuatan untuk menambah kokohnya persatuan bangsa dan melancarkan kelanjutan pembangunan nasional.”
P4 masih relevan?
Ketika masa awal pelaksanaannya, penataran P4 ternyata menyimpan problem bagi pemerintah daerah. Keluhan utamanya terkait anggaran yang banyak tersedot untuk kegiatan itu.
Dalam artikel “Penataran P4, Biaya dari Mana?” terbit di TEMPO edisi 24 November 1979, di Madiun, Jawa Timur pembangunan daerah terganggu karena ada dana APBD yang disedot untuk penataran P4. Menurut Wakil Ketua DPRD Kotamadya Madiun, Kaprawi, seperti dilansir dari TEMPO, pemda memiliki tanggung jawab menatar 600 PNS golongan III dan IV dalam lima angkatan, yang menghabiskan biaya Rp30 juta. Padahal, APBD hanya disediakan Rp1,5 juta.
“Pemda Madiun terpaksa menambal sulam. Selain meminjam dari Bank Pembangunan Daerah, juga minta bantuan provinsi. Sama halnya dengan kotamadya, di Kabupaten Madiun pun biaya penataran cukup besar,” tulis TEMPO.
Biaya terbesar untuk mengadakan penataran P4 bagi PNS berasal dari konsumsi, diktat, dan penginapan. Keluhan juga datang dari Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. APBD Ngawi hanya ada Rp3 juta dan harus melaksanakan penataran P4 dengan biaya Rp24 juta.
Setelah berjalan beberapa tahun, di dalam buku autobiografinya, Soeharto pun mengakui tak tahu tolok ukur yang objektif untuk menilai dampak penataran P4. Bagi Bouchier, penataran P4 bukanlah penafsiran Pancasila.
“Itu lebih tepatnya kode praktik, petunjuk, dan aturan perilaku untuk kehidupan sosial dan politik setiap warga, penyelenggara, dan lembaga negara di seluruh Indonesia,” tulis Bouchier.
Setelah Soeharto tumbang karena gelombang aksi massa yang menginginkan reformasi pada 1998, penataran P4 ditiadakan lantaran dianggap hanya wujud indoktrinasi rezim Orde Baru. Meski begitu, Trubus memandang, P4 masih relevan dijalankan saat ini.
“Sebenarnya, itu ada kelebihannya. Ada transformasi mengenai pemahaman nilai-nilai Pancasila,” tutur Trubus.
“Sekarang era demokratis. Jadi, menurut saya, lebih ditempatkan dalam konteks demokrasi.”
Ia menyarankan kegiatan P4 dengan bentuk layaknya diskusi atau dialog publik, yang bersifat rutin diadakan kementerian atau lembaga dari pusat hingga daerah. Diskusi itu bisa membahas masalah kebijakan publik, yang selama ini keputusannya oleh pemerintah cenderung tertutup.
“Jadi, publik tahu. Itu contoh konkret dari penerapan nilai-nilai Pancasila,” kata dia.