Mencari keadilan bagi korban kekerasan seksual
Agni, bukan nama sebenarnya, mengisahkan pengalaman pahitnya kala dia menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, Juni tahun lalu di dalam artikel “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan.” Tulisan itu terbit di situs Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Universitas Gadjah Mada Balairungpress.com, 5 November 2018.
Kasus Agni bukan saja ramai di dunia maya, tapi media massa berlomba-lomba mengangkatnya. Namun, kisah pahit kekerasan seksual terhadap perempuan bukanlah cerita baru.
Data kekerasan seksual
Merujuk data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), setidaknya ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama 2018.
Sebanyak 348.446 kasus tadi, terdiri dari 335.062 kasus bersumber dari data perkara yang ditangani pengadilan agama, serta 13.384 kasus yang ditangani 237 lembaga mitra pengada layanan, tersebar di 34 provinsi.
Sedangkan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mencatat, ada 648 laporan korban kasus kekerasan seksual selama 2017.
Berdasarkan jenis kasusnya, terdapat 105 kasus pelanggaran hak dasar, 77 perdata keluarga, 37 kekerasan seksual, 35 kasus pidana umum, 30 kekerasan dalam pacaran, 10 perdata umum, 2 kekerasan ketenagakerjaan, 2 perdagangan manusia, dan 43 kasus di luar kriteria yang ditangani LBH APIK.
Dari 308 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang diusut LBH APIK pada 2017, hanya 17 kasus yang berhasil diputus di pengadilan. Bila dilihat secara mendalam, angka ini juga diperoleh berdasarkan delik aduan hukum yang diajukan para korban.
Bukan tidak mungkin, masih banyak kekerasan seksual yang tak dilaporkan korban, karena aneka alasan. Dampaknya, banyak kasus kekerasan seksual yang tak ditangani secara hukum, hanya dituntaskan secara “kekeluargaan.”
Kekerasan dalam lingkungan privat
Mahasiswa menandatangani petisi penolakan terhadap kekerasan seksual saat aksi damai Universitas Gadjah Mada (UGM) Darurat Kekerasan Seksual di Kampus Fisipol UGM, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (8/11). (Antara Foto).
Komisioner Komnas Perempuan Masruchah mengatakan, banyak kasus kekerasan seksual yang diselesaikan di luar hukum berujung kawin paksa. Perempuan korban akan dinikahkan dengan pelaku pelecehan. Ironisnya, kata Masruchah, pemaksaan ini datang dari penegak hukum, tokoh agama atau adat, serta keluarga korban sendiri.
“Dengan alasan tidak mau menanggung malu, maka mereka menikahkan korban dengan pelaku. Padahal perempuan sebagai korban yang memiliki risiko tinggi ketika terjadi kawin paksa. Sisi psikologis, psikis, dan fisiknya bisa rusak,” kata Masruchah saat dihubungi, Selasa (13/11).
Lebih lanjut, Masruchah mengatakan, perempuan korban kekerasan seksual yang dipaksa menikah akan kehilangan masa depannya. Sebab, biasanya mereka dikawinkan saat usia masih teramat muda. Akibatnya, mereka kehilangan kesempatan untuk sekolah atau bekerja secara mandiri.
Di sisi lain, aktivis perempuan Jakarta Feminist Group Discussion dan Hollaback Jakarta Anindya Restuviani mengatakan, banyak laporan kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan privat. Salah satunya, kekerasan yang terjadi dalam hubungan berpacaran.
“Dalam kasus ini, perempuan menjadi pihak yang lemah dan tidak bisa menolak perlakuan dari pasangannya yang punya kekuasaan lebih,” kata Anindya, saat dihubungi, Selasa (13/11).
Selain itu, kekerasan seksual di lingkungan privat juga banyak terjadi dalam rumah tangga. Pemaksaan hubungan seksual hingga pengguguran kandungan menjadi persoalan yang terus terjadi.
“Selain ada relasi kuasa, kekerasan seksual di ruang ini semakin sering terjadi karena perempuan dimanipulasi misalnya oleh hubungan kasih sayang,” kata dia.
Menurutnya, saat ini kekerasan seksual marak pula di dunia digital. Semakin berkembangnya teknologi, membuat media sosial jadi ruang paling rawan untuk berbuat asusila terhadap perempuan.
“Pelecehan di media sosial berupa teks yang merendahkan atau mengancam perempuan. Ini juga tidak terlepas dari ketimpangan yang terjadi, saat media digital dikuasai oleh laki-laki dalam sistem patriarki,” ujarnya.
Ada masalah klasik yang diungkap Anindya. Para korban yang mengalami kekerasan seksual, kata dia, takut melaporkan kepada pihak berwenang. Mereka kerap diliputi rasa bingung, malu, hingga benci diri sendiri.
Menurut Anindya, proses hukum yang ada di Indonesia seringkali tak memihak para korban. Pembuktian kasus perkosaan, lanjut Anindya, harus dengan visum.
“Jika syarat perkosaan tidak terpenuhi, misalnya dia tidak memasukkan penis ke vagina, maka tuduhannya batal,” katanya.
Usaha pemulihan korban
Poster dukungan dan simpati terhadap kasus pelecehan seksual yang dialami Agni. (Twitter).
Tak bisa disangkal, ruang bagi pelaku kekerasan seksual masih menganga, saat instrumen hukum di Indonesia belum lengkap. Saat ini, hanya ada KUHAP yang bisa menjerat para pelaku kekerasan seksual. Itupun cuma ada dua kategori yang disebut di dalamnya, yakni perkosaan dan pencabulan. Padahal, kekerasan seksual bukan hanya itu.
Menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual merujuk pada tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan seseorang menderita psikis, fisik, atau seksual. Termasuk pelecehan seksual secara verbal maupun perkosaan.
Masruchah mengatakan, sebetulnya sudah ada beberapa regulasi yang berlaku untuk mengganjar hukum para pelaku dalam beberapa kategori. Misalnya, ada penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, ada pula undang-undang antipenjualan manusia.
Meski begitu, Masruchah menuturkan, peraturan tersebut belum cukup untuk melindungi para korban. Pihaknya pun masih menunggu RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan Komisi XIII DPR.
“Kami mendorong agar RUU tersebut segera disahkan, karena sudah masuk prolegnas (program legislasi nasional) sehingga harusnya menjadi prioritas,” kata Masruchah.
Di dalam draf akhir RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut, dirumuskan sembilan jenis perlakuan yang akan mendapatkan sanksi pidana, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Lebih lanjut, Masruchah mengatakan, selain hukuman bagi pelaku, sebenarnya ada hal penting yang mesti diperhatikan dalam menegakkan keadilan, yaitu pemulihan korban. Seringkali yang terjadi, para korban kehilangan kepercayaan diri, bahkan ingin mengakhiri hidup, ketika melewati proses hukum yang melelahkan.
Dalam undang-undang itu, nantinya akan diatur tentang bagaimana memulihkan kondisi korban, setidaknya proses mental. Menurut Masruchah, perlu ada pendampingan terhadap korban dan para saksi yang melaporkan kasus kekerasan seksual. Pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan, kata dia, mesti menjamin keadilan bagi para korban.
Bagaimanapun, penyelesaian kasus kekerasan seksual yang paling baik adalah dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku. Cara-cara tradisional yang mengedepankan “kekeluargaan” tidak bisa dipaksakan terhadap perempuan.
“Aparat hukum dan berbagai lembaga advokasi harus menjamin keadilan hingga pemulihan korban. Kawin paksa bukan penyelesaian bagi kasus kekerasan seksual,” kata Masruchah.