Mencari ruang rawat pasien Covid-19 saat rumah sakit oleng dipukul pandemi
Pada Jumat (25/6) siang itu, perasaan Lisa Rahmadhini campur aduk, antara kesal, sedih, dan gelisah. Selama tiga jam, ia mengantre di lobi Rumah Sakit Sari Asih Ciputat, Tangerang Selatan yang sesak dengan pasien.
Ia berniat mendaftarkan perawatan adiknya yang terinfeksi Covid-19. Namun, ia harus menelan kecewa karena petugas memberikan informasi, ruang rawat pasien Covid-19 di rumah sakit itu sudah penuh.
Demi menyelamatkan adiknya yang bergejala batuk dan demam, perempuan berusia 25 tahun itu kemudian melaju menggunakan mobil, mencoba mencari ruang perawatan di RSUD Pamulang, berjarak sekitar dua kilometer dari RS Sari Asih Ciputat.
“Ternyata, kamar untuk pasien Covid-19 juga full,” ujar Lisa saat dihubungi Alinea.id, Rabu (30/6).
Tak menyerah, ia terus mencari kamar kosong di rumah sakit lainnya. Salah seorang rekan Lisa memberikan informasi untuk mengakses situs sistem informasi rawat inap (siranap) Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dari situs itu, ia beroleh informasi sebuah rumah sakit swasta di daerah Pamulang, yang tersedia tujuh kamar.
“Ketika datang, ternyata kamarnya full juga,” ucap Lisa.
“Karena cape mondar-mandir, khawatir juga takut tertular, jadi memutuskan isolasi mandiri saja.”
Situasi gawat
Lisa tak sendirian. Di saat kasus Covid-19 melonjak beberapa pekan terakhir, banyak warga kesulitan mencari ruang perawatan di rumah sakit rujukan Covid-19.
Akibat rumah sakit khusus Covid-19 yang penuh pun membuat koalisi warga Lapor Covid-19 menyerah. Di akun media sosial, mereka mengumumkan per 1 Juli 2021 tak lagi menerima permintaan bantuan pencarian rumah sakit.
Salah seorang relawan Lapor Covid-19, Hana Syakira, mengaku kerap tak mendapat ruang rawat yang kosong di rumah sakit, ketika membantu warga yang meminta bantuan.
“Di sisi lain, laporan permintaan rumah sakit terus berdatangan. Padahal kondisinya kami belum berhasil merujuk pasien sebelumnya,” kata Hana saat dihubungi, Jumat (2/7).
Dari 101 permohonan bantuan pencarian ruang rawat yang masuk ke media sosial Lapor Covid-19 sejak 14 hingga 30 Juni 2021, ada 11 pasien Covid-19 yang meninggal dunia karena tak cepat mendapat perawatan. Sebagian besar permohonan berasal dari warga Jabodetabek.
Hati Hana terenyuh ketika mendapat kabar pasien Covid-19 yang wafat, meski mereka sudah meminta permohonan bantuan ke Lapor Covid-19. Perasaan bersalah kerap menghantuinya.
Salah satu pengalaman yang membekas di benak Hana, ketika membantu seorang warga untuk mencarikan ruang rawat ke Lapor Covid-19 pada suatu malam. Para relawan pun bergegas menghubungi 95 sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT) rumah sakit se-Jabodetabek.
Awalnya, ia mengira RS Polri, Jakarta Timur bisa menerima pasien. Namun, ditunggu hingga dini hari tak ada kabar.
“Kemudian kami dikabarkan di grup sekitar pukul 05.58 WIB kalau tidak salah, ternyata pasien yang tadi malam kita carikan (ruang rawat) itu sudah meninggal dunia,” kata Hana.
Adanya pasien yang tidak tertangani lantaran kapasitas perawatan yang telah penuh, dinilai menjadi tanda sistem pelayanan kesehatan telah terguncang, buntut tak sebandingnya jumlah pasien Covid-19 dengan ruang rawat yang ada.
Sejak beberapa pekan lalu, kasus Covid-19 memang terus mengalami lonjakan. Hal ini menyebabkan rumah sakit rujukan Covid-19 kewalahan menampung pasien.
Merujuk data Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), per 28 Juni 2021 bed occupancy rate (BOR) atau tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit seluruh Indonesia sudah mencapai 73%.
Dari jumlah tersebut, terdapat lima provinsi dengan BOR sudah di atas 80%, yakni Banten 92%, DKI Jakarta 91%, Jawa Barat 90%, serta DI Yogyakarta dan Jawa Tengah masing-masing 88%.
Berselang sehari, BOR rumah sakit di seluruh Indonesia mengalami kenaikan. Berdasarkan data Kemenkes, per 29 Juni 2021 BOR di rumah sakit seluruh Indonesia mencapai 74%. BOR di atas 80% ada di DKI Jakarta dengan 92%, Banten 92%, Jawa Barat 90%, DI Yogyakarta 89%, dan Jawa Tengah 87%.
Situasi timpangnya jumlah pasien Covid-19 dan fasilitas pelayanan kesehatan membuat Sekjen PERSI, Lia G Pertakusuma sedih. Lia merasa, rumah sakit tak dapat berbuat banyak menangani pasien.
“Bagi kami, sulit sekali untuk menerima pasien baru, ditambah lagi sekarang banyak tenaga kesehatan yang positif,” ujarnya ketika dihubungi, Rabu (30/6).
“Sekarang kita mau apalagi? Masyarakat itu kan marah juga kalau enggak diterima. Kita repot.”
Direktur Penunjang RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita ini mengaku, rumah sakit sudah berusaha maksimal dalam menangani pasien Covid-19. Setidaknya, usaha itu bisa dilihat dengan didirikannya tenda darurat dan mengubah beberapa ruangan menjadi tempat perawatan pasien.
Tak hanya itu, kata Lia, sebagian besar rumah sakit juga sudah mengurangi porsi perawatan bagi pasien non-Covid-19. Bahkan, ada rumah sakit yang sudah meniadakan kegiatan operasi penyakit khusus karena tak ada ruangan.
“Jadi terpaksa merugikan juga untuk pasien non-Covid-19,” tutur Lia.
Menanggapi problem ini, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung sekaligus juru bicara vaksinasi Covid-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pihaknya tengah berupaya menambah kapasitas tempat tidur untuk pasien Covid-19.
“Dengan meningkatnya kasus, penuhnya fasilitas pelayanan kesehatan ini kita tahu, tidak akan mungkin bisa menangani kecepatan penambahan kasus, ya,” ujar Nadia saat dihubungi, Rabu (30/6).
“Seberapa pun juga kita tambah, pasti kan ada batasnya.”
Oleh karenanya, Nadia menuturkan, Kemenkes menyosialisasikan isolasi mandiri bagi pasien tanpa gejala atau bergejala ringan. “Yang gejala berat itu yang dirawat di rumah sakit.”
Selain itu, Kemenkes juga menginstruksikan pada pemerintah daerah yang punya rumah sakit dan rumah sakit swasta agar bisa mengonversikan 40% dari total ruang rawat untuk pasien Covid-19.
Menurut Nadia, upaya ini perlu sejalan dengan apa yang dilakukan Kemenkes, yakni mengubah 100% pelayanan di tiga rumah sakit, seperti RS Fatmawati, RS Persahabatan, dan RSPI Sulianti Saroso, menjadi sentra perawatan pasien Covid-19.
“Kalau memang sudah tidak memungkinkan, pemerintah daerah bisa mempertimbangkan untuk membuat rumah sakit lapangan,” tuturnya.
Solusi di tengah kegentingan
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia (ARSSI), Susi Setiawaty, menilai solusi yang ditawarkan Kemenkes justru akan menambah runyam sistem pelayanan kesehatan di dalam negeri. Menurut dia, akan ada potensi ketidakadilan akses pelayanan kesehatan.
“Enggak mungkin semua tempat tidur dikasih Covid-19 semua. Pasien non-Covid-19 mau ke mana?” ujar Susi saat dihubungi, Rabu (30/6).
Susi menerangkan, setidaknya sudah ada 803 rumah sakit swasta di seluruh Indonesia yang menyisihkan 40% total ruang rawat untuk pasien Covid-19 sejak awal pandemi. Dari jumlah itu, sebagian kecil bahkan mengonversi hingga 50% ruang rawat mereka. Maka, Susi menilai instruksi Kemenkes malah akan membebani rumah sakit swasta.
Sedangkan Lia memandang, kondisi pelayanan kesehatan memang sudah sangat mengkhawatirkan, seiring lonjakan kasus Covid-19. Peran mandiri dari warga, menurut Lia, dapat menjadi solusi alternatif untuk meringankan beban fasilitas pelayanan kesehatan. Salah satunya, melakukan isolasi mandiri bagi pasien bergejala ringan.
Namun, ia mengingatkan, isolasi mandiri juga perlu mendapat pengawasan dari tenaga kesehatan. Hal ini penting untuk mewanti-wanti bila pasien mengalami pemburukan kondisi.
Jika ada pasien bergejala sedang dan berat, Lia menilai, perlu ada tempat khusus di suatu lingkungan untuk dijadikan tempat isolasi. Dengan catatan, tempat khusus isolasi itu harus memiliki fasilitas yang memadai dan akses ke rumah sakit.
“Enggak usah panik. Situasi seperti ini, mau apalagi?” kata dia.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai, perlu upaya keras dan kebijakan yang baik untuk memperbaiki sistem pelayanan kesehatan yang makin mengkhawatirkan. Baginya, strategi yang kini dijalankan tak efektif menekan kasus Covid-19 dan menanggulangi masalah kapasitas rumah sakit yang makin sesak.
Ia menduga, kapasitas rumah sakit yang dipenuhi pasien Covid-19 hanya merepresentasikan 20% dari jumlah kasus yang sesungguhnya. Penemuan kasus Covid-19 yang minim, menurut Dicky, menjadi penyebab beban bagi fasilitas pelayanan kesehatan lantaran virus terus bertransmisi.
“Nah, inilah yang akan siap meledak dan terus menularkan. Makanya harus direspons cepat, dengan cara menghentikan aktivitas sosial, terutama di Jawa dan Bali,” kata Dicky ketika dihubungi, Kamis (1/7).
Lebih lanjut, Dicky mengatakan, penambahan ruang rawat darurat bisa menjadi solusi, tetapi tidak akan pernah menyelesaikan akar masalah. Sebab, penambahan tersebut tak bakal mengimbangi kecepatan transmisi virus.
“Yang harus kita lakukan ya lockdown dua minggu setidaknya, kemudian 3T (test, tracing, treatment), dan vaksinasi diperkuat,” ucap Dicky.