Hijrah kini menjadi fenomena viral di kalangan generasi milenial. Di berbagai daerah, gelombang hijrah melanda. Meskipun secara etimologi bermakna positif, gelombang hijrah juga potensial ditunggangi kelompok ideologi garis keras.
"Berbagai studi kasus, WNI sukarela meninggalkan Indonesia dan memilih membaiatkan diri kepada organisasi radikal seperti ISIS," ujar Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani dalam diskusi bertajuk 'Tren Gaya Hidup Hijrah: Peluang atau Ancaman Bagi NKRI' di Hotel IBI Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (25/7).
Menurut Jaleswari, saat ini pertarungan gagasan untuk memaknai hijrah masih terus terjadi di ruang publik. Sebagian memandang hijrah sebagai konsep 'lompatan' memperbaiki diri dengan mempraktikkan agama secara eksplisit. Lainnya memandang hijrah sebagai 'bibit' intoleransi dan mengancam pluralisme Indonesia.
Kelompok hijrah kerap dianggap mengganggu lantaran kelewat vulgar dalam mengekspresikan keyakinan agama mereka. Bahkan, tak jarang mereka 'memaksa' orang lain yang tak sejalan untuk mengikuti jejak mereka berhijrah.
Karena itu, Jaleswari mengatakan, kelompok hijrah tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa pengawasan. Pasalnya, komunitas hijrah rentan dikuasai oleh kelompok-kelompok radikal demi tujuan-tujuan politik yang bisa mengancam NKRI.
"Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memberikan pemahaman yang lebih baik dan mendorong mereka untuk tidak bersikap diskriminatif, judgemental, berprasangka dan seterusnya terhadap kelompok lain yang tidak beragama secara ekspresif," imbuhnya.
Untuk memperkuat argumentasinya, Jaleswari memaparkan sejumlah data. Salah satunya ialah survei PPIM UIN Jakarta 2018. Dalam survei tersebut, tercatat ada 56% guru tidak setuju non-Muslim mendirikan sekolah berbasis agama.
Riset Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) pada 2017 menunjukkan 14,5% responden merasa NKRI melemah dan sedang terancam. Selain itu, riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2017 menunjukkan lebih dari 50% generasi muda 19-29 tahun tidak bisa menerima pemimpin beda agama.
"Hasil (riset) tersebut perlu disikapi secara bijak dan ini harus menjadi peluang perbaikan bangsa. Saat ini Pancasila adalah jawabannya. Semangat dan nilai nilai Pancasila perlu untuk lebih dalam disebarkan dan dipraktikkan seluruh lapisan masyarakat," kata dia.
Lebih jauh, Jaleswari berharap, masyarakat dapat memaknai hijrah sebagai suatu gerakan kolektif kebangsaan. Selain membenahi diri secara internal, masyarakat juga harus menjadikan hijrah sebagai semangat untuk turut berkontribusi memajukan negara tanpa meninggalkan toleransi.
"Selama outcome hijrah itu menuju arah penggalangan semangat kolaboratif dan kolektif untuk membuat bangsa ini lebih baik, maka hijrah seperti itulah yang harus diprovokasikan ke seluruh lapisan elemen anak bangsa," tuturnya.
Pengamat terorisme Ridwan Habib memandang tren hijrah di Indonesia sebenarnya merupakan sebuah fenomena positif. Pasalnya, mayoritas pengikut hijrah tidak mengkotak-kotakan diri pada satu paham tertentu atau berafiliasi dengan organisasi masyarakat yang khusus.
"Namun, di sisi lain ada potensi mengkhawatirkan, yaitu bagaimana masyarakat menjustifikasi mereka sebagai ormas tertentu, membawa ideologi tertentu," jelas dia.
Butuh dirangkul
Karena itu, Ridwan meminta agar pemerintah merangkul komunitas-komunitas hijrah. Ia khawatir gerakan tersebut menjadi gerakan ekslusif dan disusupi ide-ide radikal. Alhasil, gerakan yang harusnya dipandang positif itu malah potensial memunculkan turbulensi sosial.
"Sekarang kita lihat dari analisa media sosial dan lapangan (yang) kami lakukan, sudah ada beberapa kelompok sekarang yang eksklusif. Ini harus segera diredam," ujar dia.
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPI) Ahmad Khoirul Anam peran sebagai pengayom gerakan hijrah sejatinya bisa dipegang Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia.
Menurut Khoirul, Muhammadiyah dan NU harus melakukan reorientasi strategi kebangsan guna mencegah gerakan hijrah menimbulkan ekses negatif di masyarakat. "Hendaknya keduanya harus mengkaji ulang keberpihakan mereka dalam konteks politik praktis," kata Khoirul.
NU dan Muhammadiyah, lanjut Khoirul, harus mulai gencar melakukan transformasi syiar ke dunia digital. Pasalnya, gerakan hijrah kerap diinisiasi dan digaungkan di jagat maya. "Perlu juga mengenalkan figur-figur pembawa pesan baru yang lebih modern," imbuhnya.