close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi panik karena coronavirus. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi panik karena coronavirus. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Kamis, 12 Maret 2020 17:09

Mencegah panik massal karena coronavirus

Sejak pengumuman dua warga Indonesia tertular coronavirus, banyak warga menyerbu apotek dan minimarket untuk mencari masker.
swipe

Bersama seorang saudaranya, Nandan Sirajudin mengantre di depan Kantor Perumda Pasar Jaya yang ada di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Mereka tak hanya berdua. Siang itu, antrean mengular. Puluhan warga ikut dalam deretan antrean bersama Nandan.

Sejak pemerintah mengumumkan ada dua warga Indonesia yang positif tertular coronavirus jenis baru atau Covid-19 beberapa waktu lalu, Nandan merasa khawatir. Warga Kalideres, Jakarta Barat itu pun lebih menjaga kesehatan dirinya. Salah satunya mencari masker.

Sayangnya, ia mengaku sering kehabisan stok masker di apotek dan minimarket. Ia pun mengeluhkan habisnya stok cairan pencuci tangan. Nandan pun puas dengan layanan Perumda Pasar Jaya.

“Meringankan ketimbang harus membeli masker di tempat lain. Cukup mendaftarkan nama dan nomor KTP,” ujarnya saat berbincang dengan reporter Alinea.id di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Selasa (10/3).

Borong masker karena panik

Puluhan warga mengantre di depan kantor PD Pasar Jaya di Pasar Pramuka untuk membeli masker, Selasa (10/3/2020). Alinea.id/Robertus Rony Setiawan..

Sejak pekan lalu, Pasar Jaya menggelar operasi pasar masker di Pasar Pramuka. Hal itu dilakukan untuk menindaklanjuti arahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan agar Pasar Jaya mendistribusikan masker dengan harga yang wajar kepada warga.

Setidaknya, pihak Pasar Jaya menyiapkan satu juta masker untuk dijual. Satu masker dipatok harga Rp2.500. Satu boks yang berisi 50 masker dikenakan harga Rp50.000. Pembeliannya dibatasi, satu orang hanya bisa membeli satu boks. Tak hanya masker, Pasar Jaya pun menyiapkan cairan pencuci tangan.

Sejak coronavirus diumumkan sudah menjangkiti warga di Indonesia, Pasar Pramuka diserbu orang-orang yang membutuhkan alat-alat kesehatan, seperti masker. Di kios-kios yang terdapat di pasar ini, harga masker dijual beragam. Satu boks berisi 50 masker dijual dengan harga Rp180.000-Rp350.000.

Harga cairan pencuci tangan pun melonjak. Salah satu kios di pasar itu menjual cairan pencuci tangan bermerek terkenal dengan harga Rp55.000 per botol. Padahal, sebelum coronavirus menjadi pandemi, harganya hanya sekitar Rp15.000.Dengan harga semahal itu, warga tetap membelinya.

Akibatnya, terjadi kelangkaan masker dan cairan pembersih tangan. Salah satu kios di Pasar Pramuka, Toko Alkes, bahkan sudah kehabisan stok masker sejak sepekan lalu. Pelayan Toko Alkes, Vina Rizky mengatakan, masker yang dijual di tokonya sangat cepat diborong warga. Selain tingginya permintaan, pihaknya sengaja menghabiskan stok masker agar tak tertimbun.

“PD Pasar Jaya menentukan, setiap toko maksimal boleh menjual masker maksimal hanya lima boks per orang. Juga ada peraturan tidak boleh menimbun barang. Kami jadi takut,” kata Vina saat ditemui di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Selasa (10/3).

Menurut Vina, permintaan tinggi warga terhadap masker di kiosnya dimulai sejak pertama ditemukannya kasus coronavirus di Wuhan, China. Saat itu, pembelinya mayoritas warga keturunan China yang punya kerabat di Wuhan.

“Ada yang memborong 10 sampai 15 boks,” ucapnya.

Ketika ada pengumuman dari pemerintah soal ada dua warga Indonesia yang tertular coronavirus pada awal Februari, ia mengatakan, susana di Pasar Pramuka tak seperti biasanya, riuh dipadati warga Ibu Kota.

“Orang-orang antre belanja sembako, masker juga,” kata dia.

Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah berkoordinasi dengan lembaga pemerintah lainnya, memastikan ketersediaan stok masker.

“Penyediaan masker sudah cukup baik. BUMD dan BUMN sudah melakukan penyediaan stok masker,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat dihubungi, Selasa (10/3).

Pada Rabu (4/3), Menteri BUMN Erick Thohir meyakinkan bahwa pasokan masker dan cairan pencuci tangan aman, terutama di apotek Kimia Farma. Erick mengatakan, ada sekitar 215.000 lembar dalam 4.000 boks masker. Kimia Farma sendiri punya 600 klinik dan 1.300 apotek di seluruh Indonesia.

Akan tetapi, kenyatannya stok masker tak tersedia. Di apotek Kimia Farma di bilangan Slipi, Jakarta Barat misalnya, pembeli masker harus gigit jari. Salah seorang petugas apotek, Dewi Kurniawati mengatakan, stok masker di apotek itu sudah habis sejak seminggu lalu.

“Stoknya bergantung pasokan dari pabrik. Sampai hari ini belum datang lagi,” kata Dewi saat ditemui, Selasa (10/3).

Pemberitahuan habisnya stok masker terpampang di depan sebuah kios alat-alat kesehatan di Pasar Pramuka, Matraman, Jakarta Timur, Selasa (10/3/2020). Alinea.id/Robertus Rony Setiawan..

Kolaborasi antarlembaga

Banyaknya warga yang membeli masker dan cairan pencuci tangan, sehingga membuat stoknya langka merupakan wujud dari kepanikan menghadapi ancaman coronavirus.

Menurut peneliti senior dan Wakil Direktur Lembaga Biologi Mulekuler (LBM) Eijkman, Herawati Sudoyo, hal itu disebabkan pemahaman publik mengenai coronavirus yang tak tersedia dengan jelas dan lengkap.

Akibatnya, muncul banyak kesalahpahaman yang membuat ketakutan yang tak berdasar di masyarakat. Selain membuat panik, kata dia, kebingungan publik turut mendorong hoaks seputar coronavirus tersebar luas.

Herawati mengungkapkan, upaya pencegahan bagi masyarakat agar tak terinfeksi coronavirus pun semakin sulit. Sebab, penyebaran informasi mengenai risiko coronavirus tidak memadai.

“Mitigasi kita buruk sekali,” kata Herawati dalam diskusi “Mengenali Virus, Melawan Panik” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jakarta Pusat, Selasa (10/3).

Ia membandingkan kesiapan Singapura dalam membentengi warganya dari kemungkinan terpapar coronavirus. Singapura sudah menggunakan zat anti-Covid-19, yang bisa membaca kondisi seseorang pernah tertular coronavirus atau tidak.

Sedangkan di Indonesia, yang belum punya zat semacam itu, kata Herawati, cara yang bisa dilakukan adalah melakukan karantina terhadap pasien dalam pengawasan.

“Kami sedang mencoba untuk mendapatkan zat antinya sehingga kalau memang diperlukan, nanti kita bisa pakai,” ujar Herawati.

Warga di Singapura pun tak panik karena pemerintahnya bersikap aktif dalam menerapkan kebijakan pencegahan. Dibandingkan dengan Indonesia, ujar dia, Singapura jauh lebih responsif.

Dalam situasi gawat seperti ini, ia menyebut, upaya memperkuat kolaborasi antarlembaga penelitian dan pengambil kebijakan harus dilakukan, mencakup pencegahan, deteksi, dan penanganan.

“Kita sudah enggak bisa main-main lagi, kasusnya makin banyak. Kunci keberhasilan penanganan kasus wabah corona ialah kolaborasi,” kata dia.

Menurut Herawati, sejak Februari, Lembaga Eijkman sudah mengajukan surat penawaran untuk membantu menangani kasus coronavirus kepada Kemenkes. Namun, hingga kini, Herawati masih menanti sambutan Kemenkes.

Terkait kolaborasi, Achmad Yurianto mengatakan, Kemenkes selalu meminta pandangan dari para peneliti laboratorium kesehatan. Begitu pula dengan Lembaga Eijkman.

“Sudah ada MoU kerja sama kami dengan Eijkman. Itu sudah sejak lama,” katanya.

Ia pun menegaskan, tak perlu surat pengajuan kerja sama dengan Lembaga Eijkman. Ia bilang, Kemenkes juga sudah berkomunikasi dengan ahli virus dari seluruh dunia.

Salah seorang warga membaca imbauan tentang layanan penjualan masker oleh PD Pasar Jaya di Pasar Pramuka, Matraman, Selasa (10/3/2020). Alinea.id/Robertus Rony Setiawan..

Kurangnya informasi dan gagapnya pemerintah

Dihubungi terpisah, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto mengkritik sistem peringatan dini yang dijalankan pemerintah tak berfungsi dengan baik.

Ia mengatakan, karena kasus coronavirus yang sudah naik statusnya menjadi pandemi, semestinya pemerintah dapat menerapkan kondisi darurat. Namun, upaya pencegahan dari pemerintah yang lambat malah menimbulkan kepanikan warga.

“Kepanikan ini memiliki dimensi psikologis dan sosiologis,” kata Derajad saat dihubungi, Selasa (10/3).

“Publik menjadi panik untuk bertahan hidup dan menyelamatkan diri karena tidak punya kapasitas terhadap layanan kesehatan dengan cepat.”

Derajad menilai, sistem peringatan dini dan pencegahan cenderung terbatas hanya dijalankan pemerintah pusat. Selain itu, ia menilai, pemerintah ragu menentukan skala prioritas dalam menangani gangguan kesehatan lainnya.

Dalam waktu bersamaan, wabah demam berdarah juga menjadi masalah lain. Namun, pemerintah dinilai kurang sigap menanganinya.

“Masyarakat menjadi gagap. Bahkan ada kasus warga meninggal akibat demam berdarah. Tapi sistem peringatan pemerintah juga lemah dan tidak dikelola benar,” ujarnya.

Sementara itu, psikolog yang pernah mendampingi WNI dari Wuhan, China saat observasi di Pulau Natuna, Kepulauan Riau Annelia Sari Sani mengatakan, kepanikan warga muncul karena kurangnya sumber informasi yang positif dan tepercaya.

Ia berharap, pemerintah menyediakan informasi yang akurat dan memadai bagi publik terkait penanganan coronavirus.

“Ketakutan tak bisa dihindarkan, maka kita harus cari informasi berita yang benar. Sebaiknya kita membatasi sumber informasi,” ucap Annelia saat dihubungi, Rabu (11/3).

Di samping itu, ia menilai media massa juga harus mengedepankan sumber berita yang tepercaya dan benar, serta menyebarkan harapan dan semangat dalam menghadapi ancaman coronavirus.

Infografik coronavirus. Alinea.id/Oky Diaz.

Peran media massa, kata dia, juga harus membangun kepercayaan diri publik menghadapi ancaman coronavirus. Dengan begitu, menurutnya, rasa kebersamaan masyarakat bisa terbangun untuk lebih bersikap optimis.

“Kita harus aktif mengembalikan rasa percaya diri,” katanya.

Annelia pun menekankan kedisiplinan warga untuk memeriksa kesehatan, terutama mereka yang baru kembali dari negara yang terjangkit coronavirus. Annelia mencontohkan pemerintah China yang berhasil menekan bertambahnya warga yang tertular coronavirus karena tingkat kepatuhan yang tinggi.

“Dalam waktu satu setengah bulan, warga di Wuhan, China, sudah bisa mengendalikan diri dan mengikuti anjuran otoritas dinas kesehatan di sana,” ucapnya.

“Jadi di sini, semestinya perlu ajakan ke semua warga untuk patuh pada pemerintah.”

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan