Menteri Dalam Negeri (Mendagri) belum mengambil sikap perihal wacana merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), agar ekskoruptor tidak bisa mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah.
Menurut Mendagri Tito Karnivian, dirinya masih memberikan kesempatan kepada publik untuk merespons wacana tersebut. Kendati begitu dikatakannya, sudah ada pergeseran konsep di tengah masyarakat, dari pembalasan menjadi rehabilitasi.
Dijelaskan Tito, teori ilmu kriminolog pada saat ini fokus pada perbuatan yang dilakukan, bukan pada individu yang melakukan. Dengan begitu, prinsip yang dikedepankan adalah prinsip mengoreksi atau rehabilitasi. Makanya, di beberapa negara demokrasi, namanya bukan prison, tetapi correction.
"Sekarang kita mau mengambil prinsip mana? Kalau mengambil prinsip pembalasan, ya dibalas hak politiknya. Misalkan tidak boleh menjadi caleg," sambung dia.
Sementara itu, apabila menggunakan prinsip rehabilitasi, setiap orang yang pernah berbuat kesalahan bisa berubah menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya.
Dengan demikian, apabila sudah direhabilitasi, harus diberikan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri, termasuk mengabdikan diri kepada masyarakat.
"Saya sebagai Mendagri tidak mau mengambil sikap dulu. Saya lebih mengutamakan mendengar aspirasi publik. Publik mau mengambil prinsip pembalasan atau mau ngambil prinsip koreksi?" tutur dia.
Sementara Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini mengatakan mantan terpidana kasus korupsi perlu dilarang menjadi calon kepala daerah di 2020. Calon kepala daerah harus bersih secara integritas dan moral.
"Saya kira bagus kalau ada larangan itu, meskipun setelah dihukum itu istilahnya, tidak ada dosa melekat," kata Jazuli di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).
Komisi Pemilih Umum (KPU) sebelumnya meminta DPR merevisi UU Pilkada agar eks narapidana korupsi tidak diperbolehkan ikut Pilkada 2020.
Sejauh ini Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 hanya memuat larangan ikut pilkada bagi yang melakukan tindakan tercela, seperti pemakai atau pengedar narkoba, berzina, serta melanggar kesusilaan lain. Termasuk mantan terpidana kasus bandar narkoba serta kejahatan seksual terhadap anak.
KPU sempat melarang mantan napi korupsi ikut pilkada. Itu diatur dalam peraturan KPU (PKPU) Nomor 3/2017. Namun peraturan ini digugat calon ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
Menurut Jazuli, masyarakat menginginkan agar calon kepala daerah, bersih dari kasus korupsi. Karena itu, Fraksi PKS menyatakan dukungan agar calon kepala daerah yang pernah menjadi napi korupsi tidak diperkenankan ikut Pilkada 2020.
"Orang yang terbaik itu dapat kita lihat dari rekam jejak perjalanannya, kira-kira begitu," katanya.