DPRD Jawa Timur (Jatim) diminta mendorong Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan sanksi kepada Bupati nonaktif Jember, Faida, karena sampai kini belum ada hukuman yang diberikan.
DPRD Jember mendorong demikian lantaran Faida dianggap memberikan keterangan berbeda dengan Kemendagri, yang disampaikan melalui isi surat klarifikasi nomor 800/5072/OTDA. Dalam dokumen itu, pemerintah pusat tak pernah mengizinkan kepada daerah tentang mutasi 726 pejabat.
"Kami ingin sampaikan keluhan tersebut, bahwa harus ada sanksi tegas dari Mendagri. Bukan lagi ringan, namun harus tegas," ujar Ketua Komisi A DPRD Jember, Tabroni Adyuta, melansir situs web Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim.
"Kewenangan pemberian sanksi tak perlu diberikan kepada Gubernur, namun seharusnya langsung diberikan kepada Bupati oleh Mendagri. Ini harapan kami," sambungnya.
Hingga kini sanksi administratif baru diberikan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa, berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan selama enam bulan, seperti gaji pokok, tunjangan jabatan, honorarium, dan biaya penunjang operasional. Namun, hukuman dijatuhkan karena Faida terlambat membahas Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) 2020.
Pada prinsipnya, klaim Tabroni, DPRD Jember ingin mewujudkan pemerintahan yang harmonis. Pun mau birokrat di daerahnya memberikannya pelayanan prima kepada rakyat demi mengefektifkan pembangunan masyarakat.
"Bagaimana hal itu bisa dilakukan kalau prosedurnya saja sudah keliru sejak awal? Kami harap ada ketegasan soal ini," ucap politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut.
Untuk mewujudkan keinginannya, DPRD Jember telah mendatangi DPRD Jatim, Kamis (15/10). Mereka diterima Ketua Komisi D, Kuswanto serta Anggota Komisi E, Umi Zahrok dan Hari Putri Lestari.
Menurut Umi, ketegangan antara DPRD Jember dan bupati mulai mencair setelah Faida cuti karena kembali mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dan kampanye.
"Setelah adanya dialog, mulai terurai permasalahan di antara keduanya. Misalnya, mengenai masalah kemiskinan, kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur," jelasnya.
Putri menambahkan, polemik di Jember harus menjadi pelajaran bagi pemerintahan di masa depan. Pun oleh masyarakat luas.
"Kalau timbul masalah yang kemudian menjadi atensi pemerintah pusat, masyarakatlah yang menjadi korban. Jangan sampailah di periode berikutnya muncul polemik seperti ini lagi," tuturnya.