close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Lokasi aksi bom bunuh diri di Surabaya/ (Foto: Ayu Mumpuni/Alinea.id)
icon caption
Lokasi aksi bom bunuh diri di Surabaya/ (Foto: Ayu Mumpuni/Alinea.id)
Nasional
Jumat, 27 Juli 2018 02:35

Menengok korban aksi teror bom Surabaya

Aksi bom bunuh diri di gereja Surabaya oleh keluarga Dita menelan korban jiwa & kerusakan sejumlah bangunan. Bagaimana kondisinya saat ini?
swipe

Aksi bom bunuh diri di gereja Surabaya oleh keluarga Dita menelan korban jiwa dan kerusakan sejumlah bangunan. 

Trauma Healing terus dilakukan kepada jamaat gereja sampai saat ini. Beberapa jemaat masih tidak berani melakukan ibadah di Gereja Santa Costa Pusat Surabaya Jemaat Sawahan.

Tiga orang anak bernama Khayla (9), Clarisa (6) dan Racuel (7) baru tiga minggu belakangan ini kembali mengikuti sekolah Minggu di Gereja Santa Costa Pusat Surabaya Jemaat Sawahan. Setelah 13 Mei 2018 lalu, mereka menjadi korban luka dari ledakan bom yang dilakukan keluarga Dita, traumatis menyelimuti hari-hari ketiga bocah tersebut.

Saat itu ketiganya sedang berada di area depan gereja untuk menunggu kebaktian kedua yang mulai pukul 08.30 WIB. Sampai pada akhirnya masuk sebuah mobil Avanza hitam menerobos dan meledak sehingga melukai mereka akibat bunyi ledakan serta serpihannya.

Dari kejadian itu, Khayla harus merasakan luka dan dijahit sebanyak 24 jahitan, kemudian Clarisa harus mendapatkan luka di sekitar perut, dan yang paling parah Racuel mendapat masalah dengan pendengarannya. Telinga sebelah kiri mengalami penurunan pendengaran dan telinga sebelah kanannya justru lebih peka dengan suara-suara, bahkan dari jarak yang jauh.

Akibat masalah pada pendengarannya, gadis kecil itu selalu berbicara dengan intonasi meninggi. Padahal, menurutnya ia berbicara dengan intonasi yang biasa-biasa saja. Kedua orang tuanya sampai saat ini masih terus melakukan pengobatan di salah satu rumah sakit.

Pihak gereja pun memberikan pelayanan trauma healing kepada setiap jemaatnya. Bahkan, psikolog dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta sengaja didatangkan untuk memberikan pelatihan terhadap tim konselor yang dibentuk pengurus gereja.

“Jadi konselor dikirim khsusus untuk besuk mereka dan kami bilang supaya istilah yang berkaitan dengan teror tidak dipakai, kaya korban diganti jadi penyintas,” ujar Pendeta Yonathan Biantoro Wahono, Kamis (26/7).

Dari satu rumah ke rumah lainnya, para konselor mencoba menyembuhkan traumatis yang tersisa. Permainan dan lantunan firman-firman diberikan, bahkan berbagai mainan dan boneka selalu dibawa sebagai hadiah pertemuan antara konselor dan ketiganya.

Tak hanya ketiganya yang menyimpan traumatis, tapi juga jemaat yang sudah nenek-nenek menyimpan traumatis. Meski mereka berada di dalam gereja kala itu, tapi kepanikan dan berhamburannya orang-orang, serta bunyi ledakan dan asap yang masuk, membekas dalam benak mereka.

Sampai saat ini, ada tiga jemaat nenek-nenek yang benar-benar mengalami trauma. Ketiganya masih enggan diajak untuk beribadah kembali. Bahkan, Yonathan mengatakan, ketiganya lebih sulit dihilangkan traumatisnya.

“Mereka selalu menjawab ‘takut ah, ada bom’ kalau diajak datang ibadah ke gereja,” paparnya.

Beda lagi dengan Feni Suryawati (34) yang menjadi korban dengan luka bakar 60% di wajah dan tubuhnya. Perempuan yang sudah melakukan operasi plastik sampai 16 kali itu justru tak memiliki traumatis.

Yonathan mengatakan Feni malah menyuruh anak-anaknya untuk selalu beribadah ke gereja tanpa rasa takut. Keikhlasan serta iman yang lebih kuat jadi alasan tak ada bekas trauma yang menyisa dalam dirinya meski sampai saat ini ia masih menghabiskan waktunya di rumah sakit.

Trauma healing lainnya juga dilakukan Gereja Diponegoro yang menjadi lokasi ledakan istri Dita dan kedua anaknya. Lima hari setelah kejadian, pihak gereja mengadakan doa bersama lintas agama yang dihadiri 1000 orang dengan berbagai macam latar belakang agama.

“Kami berdoa bersama-sama sekaligus membuktikan bahwa antar umat beragama rukun setelah kejadian itu,” ujar Rahmat, salah satu pengurus gereja yang juga jadi korban dari serpihan ledakan.

Setelah itu, kebaktian selalu diisi dengan konseling trauma healing yang menghadirkan empat psikolog dari berbagai daerah selama satu bulan. Para jemaat di gereja itu tak jarang menitikan air mata dalam konseling yang dilakukan.

Rahmat menceritakan, rata-rata jemaat perempuan yang menangis karena mengingat dengan jelas seorang anak yang tergeletak tak berdaya akibat perbuatan ibunya. Ia juga menceritakan saat kejadian Minggu pagi kala itu, para jemaat sempat ingin menolong sang anak yang beberapa saat masih merintih meminta tolong. Sayangnya tiga bom yang belum meledak di paha sang ibu membuat para jemaat mengurunkan niatnya untuk menolong.

Saat ini, kerukunan antar umat beragama di Surabaya justru semakin menguat. Tiap ibadah Minggu di setiap gereja Surabaya, pengamanan dilakukan oleh personel gabungan dari Koramil, Polsek, Persatuan silat, Bonek, organisasi Islam, volunteer, Banser, dan relawan-relawan lainnya.

“Kira-kira 10-15 orang ditambah pengamanan internal mereka (pihak gereja) juga,” kata Kapolsek Tegalsari, Kompol David Triyo Prasojo.

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan