Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan tanggal pencoblosan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 pada 27 Juni 2018 mendatang. Rencananya, 171 daerah yang akan mengikuti hajatan tersebut. Bagaimana persiapannya?
Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo mengalokasikan anggaran untuk Pilkada di 171 wilayah mencapai Rp 15,2 triliun. Dana tersebut akan dibagi masing-masing untuk KPU sebagai penyelenggara, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan TNI-Polri. Mayoritas dana akan dianggarkan untuk KPU sekitar Rp 11,9 triliun, kemudian Rp 2,9 triliun untuk Bawaslu dan Rp 339 miliar untuk TNI-Polri guna menjamin keamanan penyelenggaraan Pilkada.
Pilkada 2018 akan lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi yang akan menentukan Gubernur dan Wakil Gubernur, sekitar 151 kabupaten akan mencari Bupati dan Wakil Bupati, serta 39 kota akan memilih Wali Kota sekaligus wakilnya.
Tjahyo menyebut sejumlah hal perlu diantisipasi dalam Pilkada tersebut. Diantaranya, masih adanya pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah Kabupaten/Kota dan pemetaan konflik yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dengan aparat.
“Budaya siap menang dan kalah perlu dikedepankan,” ujar Tjahyo dalam rapat pelaksaan Pilkada serentak 2018 di Hotel Kartika Chandra, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (23/10).
Kepala Bagian Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri, Komjen Lutfi Lubianto memetakan sejumlah daerah rawan dalam gelaran Pilkada serentak 2018. Daerah rawan yang menyelenggarakan Pilgub ialah Papua yang termasuk zona merah. Lalu, zona kuning ialah Sumut, Riau, Sumsel, Lampung, Jatim, Jabar, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kaltim, Sulsel, Sultra, Maluku Utara dan Maluku.
Selain itu, Jenderal Polisi Bintang itu menyebut sejumlah potensi kerawanan pelaksaan Pilkada serentak dan Pemilu 2019. Dari sisi regulasi misalnya, belum tersedianya perangkat aturan yang jelas tentang kerjasama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Lalu dari sisi penyelenggara, disebutkan adanya sumber daya manusia yang kurang memadai, terutama petugas yang berada di lapangan seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Adapun penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) mencatat, terdapat tiga insiden yang menonjol selama Pilkada serentak 2017 yang dilaksanakan di 101 daerah. Diantaranya, ditangani di Polda Metro Jaya sebanyak 32 kasus yang terdiri dari 30 perkara unjuk rasa dan dua kasus pembakaran atau pengrusakan. Selanjutnya Polda Aceh yang menangani 20 kasus yang terdiri dari 7 kasus pengrusakan, pembakaran 11 kasus, unjuk rasa 1 kasus dan persoalan pasangan calon 1 kasus. Terakhir, Polda Gorontalo sebanyak 13 kasus.
2.601 Aduan
Pada Pemilu 2017, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mendapat sekira 2.601 aduan pelanggaran etik penyelenggara pemilu. Dari jumlah tersebut, 889 perkara diantaranya disidang dan 883 sudah diputus. Selain itu, enam perkara lainnya hingga kini masih dalam proses.
Berdasarkan angka tersebut, 903 orang mendapatkan sanksi tertulis, 44 orang diberhentikan tidak hormat, 448 pemberhentian tetap. Lalu ada juga 14 yang diberhentikan dari jabatan ketua.
“Tercatat 1.942 orang direhabilitas,” ujar Ketua DKPP, Harjono.
Meski demikian, Harjono menilai adanya persoalan sebelum terbitnya UU Pemilu yang baru. Terlebih segala urusan administrasi DKPP harus melalui persetujuan Sekjen Bawaslu.
Sedangkan semua persidangan DKPP, seringkali menggunakan fasilitas milik Bawaslu yang berada di provinsi.
“Hal ini berpotensi memicu konflik kepentingan, kedepan apakah dimungkinkan semua persidangan DKPP di daerah diselenggarakan di gedung milik Polri di daerah,” tandasnya.
Sementara itu merujuk Pilkada serentak 2015 dan 2017, Kemendagri memberikan sejumlah catatan, diantaranya terjadi peningkatan partisipasi publik dari 65% pada 2015 menjadi 74% pada 2017. Surat keterangan penduduk (KTP), juga dirasa cukup signifikan menggerakkan partisipasi pemilih.