Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri menginjak pedal gas dalam penegakkan hukum terorisme pekan ini, dengan tiga kasus dan dua tersangka yang diketahui berprofesi sebagai dokter dan Pegawai Negeri Sipil dan berasal dari Jaringan Islamiyah (JI). Penindakan itu juga menunjukkan 14 PNS telah ditindak dalam kasus tersebut.
Mantan anggota JI Arif Budi Setyawan mengaku, tidak kaget dengan hal tersebut. Pasalnya, JI membuat blueprint yang sangat rapi untuk mewujudkan cita-cita negara islam.
Menurut Arif, JI memandang mereka belum pada tahapan menegakkan syariat Islam dalam lingkup negara dan masih merintis jalan menuju ke sana. Itulah mengapa JI terkesan tidak konfrontatif dan malah terlihat sangat membaur dengan masyarakat.
Hal itu berbeda dengan JAD yang merasa telah memiliki negara, yaitu ISIS atau Islamic State (IS) yang belakangan dikalahkan oleh musuh-musuhnya. Lantaran, telah memiliki negara maka perjuangan mereka adalah untuk membalas dendam atas kekalahan negaranya dan menunjukkan eksistensi bahwa pendukung mereka masih banyak.
"JI itu rapi sejak awal, siapapun yang bergabung harus tunduk pada aturan jemaah. PNS yang tadinya hidupnya bebas, jadi terikat aturan jemaah. Sebagai bukti loyalitas, misalnya (dengan) setor infak rutin dan mengikuti program pembinaan kerohanian yang rutin," kata Arif kepada Alinea.id, Selasa (15/3).
Maka dari itu, sulit apabila pemerintah hanya mengandalkan tes wawasan kebangsaan untuk menjadi fungsi filter. Pemerintah perlu juga mengecek sampai melihat keseharian, kegiatan keagamaan, dan dengan siapa saja mereka beraktivitas.
"Itupun butuh keahlian khusus untuk membacanya," ucap Arif.
Mantan narapidana terorisme itu meminta masyarakat untuk mengabaikan profesi apabila polisi menangkap para tersangka terorisme itu. Menurutnya, fokus pada kasus menjadi hal yang terpenting, kalau mengaitkan dengan profesi hanya akan membingungkan.
Sebab, siapa pun bisa terekrut untuk terlibat dalam kelompok teroris. Kendati begitu, masyarakat tidak perlu terlalu takut yang berlebihan tetapi jangan pula tidak waspada.
"Tak perlu analisa berlarut-larut soal status dokter atau PNS atau ulama-nya," ujar Arif.
Sementara pengamat terorisme Rakyan Adibrata meyakini, penindakan terhadap profesi PNS terpapar terorisme lebih dari yang diungkapkan. Lantaran, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut setiap bulan 10 aparatur sipil negara dipecat karena hal tersebut.
Prinsipnya, kata Rakyan, paham radikal pasti masuk ke berbagai sektor termasuk pemerintahan. Radikal dalam hal ini adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang berbeda dengan prinsip dasar yang sudah disetujui oleh para founding fathers sebagai landasan negara.
"Saya yakin lebih dari angka 14," kata Rakyan kepada Alinea.id, Selasa (15/3).
Menurut Rakyan, proses panjang tes wawasan kebangsaaan di CPNS itu cukup sukses dalam rangka meminimalisir potensi tersusupi paham radikal dalam tubuh ASN. Namun, ketika sudah diangkat menjadi ASN pun, harus ada pengawasan internal yang kuat.
"Mekanisme pengawasan ini harus dilaksanakan secara internal, memastikan ASN masih berkerja sesuai kode etik yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan," ucap Rakyan.
Ia pun memaparkan kode etik ASN 2004 dan kode disiplin ASN 2010 sebagai panduan untuk hal tersebut. Aturan itu masih dapat digunakan sebagai kerangka utama dalam penanganan radikalisme, diskriminasi, dan intoleransi di ASN.
Sayangnya, aturan-aturan ini masih banyak yang belum jelas. Seperti, dalam PP 42/2004 pun tidak ada elaborasi lebih lanjut terkait pihak mana saja yang dapat melakukan penindakan bagi pelanggar kode etik.
Ia menyarankan, dua produk peraturan ini perlu dirinci untuk mencari mekanisme saksi dan pengawasannya diperketat termasuk kewenangan pengawasan yang selama ini sudah ada didalam inspektorat. Bila ini bisa diperkuat, maka potensi intoleransi yang mengarah pada radikalisme bisa ditekan
"Masalahnya, dalam peraturan ini tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang definisi, cakupan dan indikator pelanggaran terhadap larangan tersebut. Hal ini menimbulkan keraguan dan inkonsistensi pejabat penegak kode etik dalam menerapkan sanksi," ujar Rakyan.