Munculnya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, khususnya penculikan belasan aktivis '98, pada setiap momentum "pesta demokrasi", termasuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, membuat kandidat Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto, geram. Ini seperti jawabannya dalam debat perdana, Selasa (12/12) lalu.
"Tiap 5 tahun kalau polling saya naik, ditanya lagi soal itu," ucap Prabowo saat menjawab pertanyaan pesaingnya, Ganjar Pranowo, tentang komitmennya membentuk pengadilan HAM ad hoc dan membantu keluarga korban penculikan menemukan makam kerabatnya yang masih hilang agar bisa berziarah.
Ketua Umum Partai Gerindra ini pun menganggap pertanyaan Ganjar tersebut berpihak. "Itu tendensius, Pak!"
Terpisah, aktivis '98 Surabaya, Dandik, menilai, munculnya kasus penculikan aktivis dalam Pilpres 2024 adalah hal wajar. Pangkalnya, pelanggaran HAM berat adalah masalah serius, tetapi pelakunya masih bebas.
"Isu HAM tidak akan pernah hilang dalam proses politik di Indonesia selama pelakunya masih berkeliaran dan dipelihara oleh negara," tegasnya dalam bedah buku Buku Hitam Prabowo Subianto di Surabaya, Jawa Timur (Jatim), pada Sabtu (16/12).
"Jika Prabowo tidak bisa dihukum secara pengadilan HAM, setidaknya bisa dihukum secara politik," sambungnya. Alasannya, Menteri Pertahanan (Menhan) itu dikhawatirkan mengancam masa depan demokrasi jika memenangi pilpres.
Kendati demikian, Dandik mengingatkan, kembali munculnya kasus penculikan aktivis '98 bukanlah harapan para keluarga korban. Sebab, tidak memberikan keadilan seutuhnya bagi mereka.
Pemerintah tak serius
Di sisi lain, ia mengapresiasi terbitnya Buku Hitam Prabowo Subianto. Menurutnya, ini sebagai bentuk protes para aktivis kepada pemerintah lantaran tidak berkomitmen penuh untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
Pegiat pemilu dan demokrasi, Hasnu Ibrahim, menambahkan, Buku Hitam Prabowo Subianto bakal mengangkat memori publik atas tragedi kemanusiaan sebagai catatan kelam demokrasi. Apalagi, disinyalir melibatkan aktor-aktor penting di lingkaran kekuasaan.
Oleh sebab itu, ia berharap, kehadiran karya tulis tersebut dapat memunculkan daya kritis masyarakat. Utamanya menimbang-nimbang nasib demokrasi Indonesia ke depan ketika Prabowo berkuasa.
Apalagi, calon wakil presidennya (cawapres) yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, bisa maju pada Pilpres 2024 melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sarat pelanggaran kode etik berat.
"Mulai sekarang, kita harus menghidupkan alarm demokrasi sebagai pengingat bahwa tolak dinasti politik dan menghukum pelaku pelanggar HAM secara politik jelang Pemilu 2024," serunya.
Adapun pengamat politik Moh. Khoirul Umam mengingatkan, sebuah negara yang menjunjung nilai-nilai demokrasi bakal menghargai HAM. "Pelaku pelanggar HAM berat masa lalu tidak pantas dan layak memimpin dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi!"
Ia pun mengajak masyarakat agar tidak asal dalam memilih calon pemimpin. Soalnya, Pilpres 2024 menjadi salah satu fase penting bagi rakyat sehingga demokrasi dapat tetap hidup.