Seorang remaja berinisial J (16) menjadi tersangka kasus pembunuhan sekeluarga di Desa Babulu Laut, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur. Peristiwa keji ini diduga karena pelaku kecewa cintanya ditolak seorang korban, RJS (15).
Mulanya, Senin (5/2) malam, J pesta minuman keras (miras) bersama beberapa temannya. Sekitar pukul 12 malam, ia lantas diantar pulang oleh seorang temannya.
Setibanya di rumah, tiba-tiba muncul niatan pelaku, yang merupakan siswa kelas 3 sekolah menengah kejuruan (SMK), untuk melakukan pembunuhan. J kemudian mengambil parang 60 cm di rumahnya dan pergi ke rumah korban, yang berjarak sekitaar 20 m.
Sesampainya di tempat kejadian perkara (TKP), pelaku memadamkan aliran listrik rumah korban. TKP dihuni Waluyo (35), SW (34), RJS, VDS (11), dan ZAA (3). Saat kejadian, Wahyu sedang di luar.
Selanjutnya, J masuk ke dalam rumah lewat jendela. Tidak lama berselang, ayah RJS masuk rumah dan langsung diserang pelaku dengan parang yang dibawanya.
Begitu pula dengan istri Waluyo, SW, langsung diserang pelaku ketika terbangun karena mendengar keributan. Demikian juga dengan korban lainnya.
Tragisnya, setelah membunuh seluruh korban, J memperkosa RJS. Bahkan, sempat mencuri uang dan ponsel korban. Pelaku lalu kembali ke rumah dan membersihkan parang.
Kapolres PPU, AKBP Supriyanto, mengatakan, pihaknya berencana melakukan tes kejiwaan pelaku. "Iya, rencana kita periksa kejiwaanya," katanya kepada wartawan, Kamis (8/2).
Menggali pemicu
Sementara itu, psikolog anak dan remaja, Arijani Lasmawati, menyoroti pola pengasuhan yang diberikan kepada J. Menurutnya, lingkungan menjadi faktor dominan pelaku hingga tega berbuat keji.
Ia menerangkan, mungkin saja J terlahir sehat jasmani dan rohani. Namun, dampak pengasuhan orang tua yang buruk (abusive) menjadi pengalaman masa kecil yang merugikan adverse childhood experience (ACEs) sehingga memunculkan trauma.
"Ini kita mesti punya kewaspadaan ada apa dengan pola pengasuhan dia selama ini, seperti apa tempat lingkungan dia dibesarkan. Itu harus menjadi perhatian sekali," tuturnya kepada Alinea.id, Sabtu (10/2).
Masalah asmara dan paparan teknologi, lanjut Arijani, juga berpengaruh. Pangkalnya, mudahnya informasi yang diperoleh membuat seseorang tidak tahan dalam menjalani proses lantaran semua serba instan selain teknologi turut mengganggu perkembangan emosi.
"Bukan masalah putus cinta saja, bahkan ejek-ejekan bisa berujung sampai seperti ini," jelasnya.
Arijani melanjutkan, ada tiga lingkup untuk mendeteksi dini dan penyelesaian kasus seperti ini, yakni mikro (keluarga dan kerabat), mezzo (sekolah hingga komunitas), dan makro (hukum). Ketiganya harus dijalankan aktor dewasa selaku penyuluh generasi muda.
"Harus dilakukan oleh orang dewasa di lingkungannya bahwa putus cinta ini bukan kiamat," ucapnya.