Mengenang Sardjito, pembuat vaksin dan biskuit untuk pejuang
Pada 8 November 2019, Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional untuk enam tokoh. Nama Prof. Dr. Sardjito, perintis dan rektor pertama Universitas Gadjah Mada merupakan salah satu di antara enam tokoh itu.
7 tahun diusulkan
Menurut salah seorang tim pengusul pahlawan nasional untuk Sardjito, Baha Uddin, prosesnya mendapatkan pengakuan negara berlangsung tujuh tahun. Pengajuan dilakukan pertama kali pada 2012.
Saat itu, Fakultas Kedokteran UGM yang bertindak sebagai tim pengusul. Menurut Baha, prosesnya pun tak ada halangan administrasi. Kementerian Sosial menerima usulan yang diajukan. Meski begitu, gelar pahlawan nasional urung diterima Sardjito.
"Kemudian tahun 2017 digagas lagi, tapi yang mengajukan UGM sebagai lembaga pengusulnya. Dengan berbagai perbaikan naskah akademik dan syarat-syarat lampiran, itu juga sama lolos di Kemensos, lolos di Dewan Gelar, tapi kemarin Pak Jokowi juga tidak memilih Pak Sardjito," tutur Baha saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (9/11).
Tak patah arang, tim pengusul kembali bergerak pada 2018. Di pengajuan ketiganya ini, Baha mengatakan, tim tak memperbarui naskah dan segala persyaratan.
Kerja keras tim pengusul akhirnya membuahkan hasil. Negara memberikan Sardjito gelar pahlawan nasional pada rangkaian acara Hari Pahlawan 2019.
"Alhamdulillah 2019 ini dipilih. Prosesnya dari 2012, ya tujuh tahun," kata dia.
Proses panjang yang dilalui, diakui Baha, bukan tanpa kendala. Ia mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi adalah perkara riset.
Dosen Sejarah UGM ini mengatakan, untuk mengatasi kendala itu, ada perubahan yang signifikan dari naskah akademik 2012 ke pengajuan pada 2017 dan 2018. Perubahan itu terjadi karena pada 2012, fokus utamanya hanya sumbangsih dunia pendidikan. Sementara dari pengamatan yang dilakukan Baha, tokoh yang mendapatkan gelar pahlawan nasional mayoritas berjuang secara fisik.
"Naskah akademik tahun 2012 itu saya ubah. Perjuangan fisik Pak Sardjito itu saya dahulukan. Kemudian, baru yang lain dipendukungnya," ujar dia.
Membuat biskuit hingga mengenalkan Borobudur
Nama Sardjito diabadikan menjadi nama rumah sakit di Yogyakarta. Pria kelahiran Magetan pada 13 Agustus 1889 dan meninggal dunia pada 5 Mei 1970 itu dikenal pula sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM.
Herman Setyawan, dalam tulisannya “Peran Ketokohan Sardjito dalam Pendirian dan Penamaan RSUP Dr.Sardjito”, yang terbit di Jurnal Khazanah (2018) menyebut, ketika memperoleh kesempatan studi ke Belanda, Sardjito mengembangkan perhatiannya pada penyakit-penyakit tropis.
Disertasinya dituntaskan di Universitas Leiden pada 1923, mengenai penyakit disentri, dengan judul Immunisatie Tegen Bacillaire Dysenterie door Middel van de Bachteriophaag Anti-Dysentrie Shiga-Cruse.
Sardjito adalah perintis berdirinya UGM. Pada 1946, Sardjito ikut dalam proses pemindahan Institut Pasteur di Bandung ke Klaten. Ia jadi Rektor UGM pada 1949-1961.
Menurut Baha, pada 1946 Sardjito ditunjuk menjadi Kepala Institut Pasteur. Pengangkatan itu membuatnya menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin institut buatan Belanda.
Baha melanjutkan, pemilihan tanggal berdirinya UGM, yakni 19 Desember 1949 juga menarik. Menurutnya, tanggal itu dipilih untuk mengejek Belanda, yang setahun sebelumnya melakukan agresi militer II.
"Itu kan sebenarnya ngece (meledek) karena 19 Desember 1948 Belanda melakukan agresi militer. Jadi, sengaja dipilih untuk membuktikan bahwa setelah agresi militer, justru Indonesia berhasil mendirikan sebuah perguruan tinggi negeri," ujar Baha.
Ketika Sardjito memindahkan Institut Pasteur, ia membawa semua alat-alat kedokteran, termasuk vaksin cacar. Vaksin itu dikembangkan di Institut Pasteur. Sardjito mengamankan vaksin dari pasukan musuh.
Ia menorehkan vaksin itu ke dalam tubuh kerbau. Kerbau itu pun dibawa ke Klaten, kemudian disembelih untuk diambil bagian limpanya, demi memperoleh vaksin tadi.
“Jadi, semua tentara Indonesia yang berjuang pada masa revolusi itu, dibuatkan vaksin oleh Pak Sardjito,” kata Baha.
Saat revolusi fisik, menurut Baha, Sardjito juga pernah mengadakan pertemuan khusus dengan AH Nasution, yang saat itu menjadi Wakil Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal TNI.
Di dalam pertemuan itu, Nasution memberitahu Sardjito kalau akan ada operasi militer. Untuk mempersiapkan hal itu, Nasution meminta Sardjito menyiapkan logistik makanan untuk pasukan. Operasi tersebut adalah Serangan Umum 1 Maret 1949.
"Pak Sardjito membuat formula makanan, yang kemudian oleh tentara disebut sebagai ‘biskuit Sardjito’. Setiap tentara diberi kantong, isinya nasi aking yang dibuat khusus Pak Sardjito dan biskuit itu," tutur dia.
Menurut Arwan Tuti Artha dalam buku Menyingkap Pemikiran Prof. Dr. Sardjito (2006), Sardjito pernah menerima beberapa penghargaan. Pada 1958, ia mendapatkan Bintang Gerilya.
Penghargaan itu diberikan atas berbagai perjuangan gerilya saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada 1960, ia mendapatkan dua penghargaan, yakni Bintang Mahaputera tingkat III dari pemerintah dan Bintang Kehormatan Keilmuan dari Uni Soviet.
Dalam bidang kebudayaan, Sardjito punya peran sentral memperkenalkan Candi Borobudur ke dunia. Ia memperkenalkan candi umat Buddha terbesar itu saat presentasi di Manila, Filipina pada pertengahan 1950-an.
Berkat presentasinya itu, UNESCO menunjukkan ketertarikannya pada Candi Borobudur. Pada 1970-an, UNESCO membantu Indonesia melakukan perawatan dan pemugaran Candi Borobudur.
"Memang, nanti ada berbagai macam proses, termasuk peran Daud Jusuf dan sebagainya. Tapi, pada waktu itu Pak Sardjito orang pertama dari Indonesia yang mengenalkan Borobudur ke lembaga internasional," ucap dia.