close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi rapat paripurna DPR, yang menunjukkan sejumlah anggota fraksi Walk Out saat sidang pembahasan UU MD3/ Antara
icon caption
Ilustrasi rapat paripurna DPR, yang menunjukkan sejumlah anggota fraksi Walk Out saat sidang pembahasan UU MD3/ Antara
Nasional
Rabu, 14 Februari 2018 03:57

Menggugat pasal-pasal kontroversial RKUHP

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai pasal-pasal dalam RKUHP beraroma kolonialisme, sehingga perlu ditolak.
swipe

Rapat paripurna Komisi III DPR RI yang digelar hari ini, Rabu (14/2) membahas nasib draf RKUHP. Dalam rapat ini pula, pengesahan RKUHP tersebut akan terjawab. Banyaknya pasal-pasal kontroversial yang sarat nuansa kolonialisme dalam aturan ini, melahirkan suara sumbang dari pelbagai kalangan yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

“Presiden Joko Widodo harus berhati-hati karena apabila RKUHP saat ini disahkan oleh DPR, rezim Jokowi dapat dianggap sebagai rezim yang membangkang pada konstitusi, membungkam kebebasan berekspresi, dan memberangus demokrasi,” tulis mereka dalam rilis laman resminya.

Lebih lanjut, gabungan 36 organisasi ini menilai, jika Jokowi membiarkan RKUHP ini disahkan, maka ia justru mengingkari Nawacita yang sedianya memberi rasa aman pada warga negara, tidak terwujudnya reformasi penegakan hukum, tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat, dan tentu saja, tidak akan terjadi revolusi mental.

Ada tujuh alasan yang membuat RKUHP ini laik untuk ditolak bersama.

Pertama, RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial (over-criminalization). RKUHP menurut aliansi ini dinilai akan menghambat proses reformasi peradilan. Sebab, di dalamnya termaktub pasal-pasal yang rentan kriminalisasi baru dan ancaman pidana yang sangat tinggi.

Di dalam RKUHP terdapat 1251 perbuatan pidana, 1198 di antaranya diancam dengan sanksi pidana penjara. “Kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas (overcrowd),” ungkap mereka.

Contoh yang paling menonjol adalah masuknya ketentuan mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden, yang bisa diganjar sanksi bui, dari 4 tahun jadi 5 tahun. Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu memaparkan, ketentuan penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Pasal 237, 238 dan 239 RKUHP adalah ancaman nyata terhadap iklim demokrasi. “Ini sudah mulai mengerikan ya iklim demokrasi kita, semua bisa dipidana,” keluhnya kepada Alinea.

Dalam pasal tersebut, penghinaan pada pemimpin negara bisa diancam pidana hingga 5 tahun penjara. Padahal di negara asalnya, Belanda, aturan yang diadopsi dari British Penal Code di India ini sudah dicoret sejak 1918. Namun di Indonesia, pasal itu masih diberlakukan. Soeharto bahkan memanfaatkan pasal-pasal karet ini untuk mengebiri suara publik.

Kedua, RKUHP belum berpihak pada kelompok rentan, utamanya anak, perempuan, dan golongan LGBTIQ. Ada beberapa ketentuan yang dinilai menyusahkan 50 juta masyarakat adat dan pasangan miskin yang terganjal kepemilikan dokumen resmi. Dalam pasal 284 dimungkinkan terjadinya kriminalisasi hubungan privat di luar pernikahan yang terlembaga. “Hal ini berpotensi meningkatkan angka kawin yang sudah dialami 25% anak perempuan di Indonesia,” lanjut mereka dalam rilisnya.

RKUHP juga memidana mereka yang menggelandang, berpotensi memidana anak, masyarakat miskin tanpa dokumen resmi dan korban kekerasan seksual. Hal ini diterangkan dalam pasal 285 dan 292, yang uji materinya ditolak MK pada Desember 2017. Dalam pasal 292 bahkan negara dinilai akan melanggar hak asasi manusia golongan LGBTIQ, karena relasi suka sama suka pun bisa diancam pidana. Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno menyatakan, sepakat jika pasal 292 diberlakukan. “Kami bukan membenci pelaku LGBT, tapi tidak menyetujui perilaku yang menyimpang ini,” ungkapnya dalam konferensi pers, beberapa waktu lalu. Lalu dalam pasal 488 yang mengatur soal kumpul kebo yang dinilai tak relevan dan melanggar ranah privat.

 

Ketiga, RKUHP pasal 481, 483, dan 534 mengancam program pembangunan pemerintah, utamanya program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan masyarakat. “Larangan penyebaran informasi tentang kontrasepsi dalam RKUHP berpotensi menghambat program kesehatan dan akses terhadap layanan HIV karena layanan kesehatan reproduksi dan HIV akan semakin sulit menjangkau anak, remaja, dan populasi yang rentan yang takut diancam pidana. RKUHP juga menuntut pemidanaan bagi pecandu dan pengguna narkotika. Hal ini bertolak belakang dengan kewajiban negara yang harusnya melindungi dan menyelamatkan para pecandu narkotika,” tulis mereka.

Keempat, RKUHP secara terang mempersempit ruang kritik pada pemerintah. Pasal penghinaan presiden, yang didukung pidana penjara akan membuat orang kian gentar melontarkan kritik pada pemerintah. Dulunya pasal penghinaan presiden diatur dalam pasal 134. Penerapan Pasal 134 RKUHP ini pernah terjadi pada aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Monang Johannes Tambunan.

Pada Mei 2015, Monang diganjar hukuman enam bulan penjara, karena dinilai merendahkan nama baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu. Padahal faktnya, Monang hanya berorasi menyampaikan kekecewaannya atas pencapaian 100 hari kinerja SBY, yang tak berdampak signifikan.

Kelima, RKUHP memuat banyak pasal karet dan tak jelas yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat warga. Pasal 2 misalnya, yang memasukkan unsur living law atau peraturan yang hidup di masyarakat. Ke depannya, orang yang tidak tahu adat suatu daerah, bisa serta merta dihukum dengan jeratan pasal ini. Bahkan ke depannya, pengaplikasian pasal ini dalam bentuk perda misalnya, akan menimbulkan kondisi tumpang tindih hukum pidana.

Keenam, RKUHP mengancam eksistensi lembaga independen. “DPR dan Pemerintah sama sekali tidak mengindahkan masukan dari beberapa lembaga independen Negara seperti KPK, BNN, dan Komnas HAM yang telah menyatakan sikap untuk menolak masuknya beberapa tindak pidana ke dalam RKUHP seperti korupsi, narkotika dan pelanggaran berat HAM.

Indonesian Corruption Watch (ICW), dalam laman resminya menyatakan, delik pidana korupsi yang masuk dalam RKUHP justru akan melemahkan KPK. Dalam RKUHP diatur mengenai penyesuaian UU Pemberantasan Korupsi Nomor 28 Tahun 1999 dan UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, yang berpotensi menghilangkan beberapa pasal penindakan korupsi yang spesifik.

Ketujuh, dengan mempertimbangkan keenam alasan sebelumnya, aliansi ini menyimpulkan RKUHP dibuat dengan sepihak. Pembahasan tak melibatkan sektor sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya. Dengan tujuh alasan ini, maka mereka berjibaku menolak RKUHP yang hendak disahkan DPR hari ini.

img
Purnama Ayu Rizky
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan