Penyidik Polda Metro Jaya menggandeng Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) guna menyelidiki dugaan penghinaan dan ancaman seorang remaja S (16) terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui media sosial.
"Kami membutuhkan pertimbangan dari KPAI," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono di Jakarta, Kamis (24/5) lalu, dilansir Antara.
Argo mengatakan penyidik melibatkan KPAI karena pelaku berusia di bawah umur, sehingga membutuhkan penanganan khusus. Menurut UU Nomor 11 Tahun 2012 SPPA, selain mendapat pendampingan dari lembaga anak, ada sejumlah hal lain yang harus dipertimbangkan penyidik. Alinea merangkum butir-butir penting dari UU SPPA, sebagaimana dilansir dari hukumonline.
1. Definisi anak di bawah umur
UU SPPA mendefinisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Mereka dikategorikan dalam tiga kelompok, yakni pelaku, korban, dan saksi.
2. Penjatuhan sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yakni tindakan bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (20) dan pidana, bagi pelaku berumur 15 tahun ke atas.
Sanksi tindakan mencakup pengembalian pada orang tua/ wali, penyerahan pada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Anak (LPKS), pelatihan, pencabutan surat izin mengemudi, atau perbaikan akibat tindak pidana.
Namun karena pelaku penghina Jokowi sudah berusia 16 tahun, sanksi pidana termasuk pidana penjara bisa dijatuhkan. "Yang bersangkutan kami kenai Pasal 27 Ayat (4) jo Pasal 45 UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang UU ITE. Ancamannya enam tahun (penjara)," ujar Argo dalam keterangan persnya.
3. Hak-hak anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak:
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/ wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan, penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
5. Pemeriksaan terhadap anak sebagai saksi atau korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/ korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, dapat memberikan keterangan di luar sidang melalui perekaman elektronik yang dilakukan pembimbing kemasyarakatan setempat. Syaratnya harus dihadiri penyidik atau penuntut umum, advokat, dan pemberi bantuan hukum lainnya.
6. Hak mendapat bantuan hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana yang telah dilakukan.
7. Lembaga pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18 tahun, dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda.