close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Alinea.id/Firgie Saputra
Nasional
Jumat, 21 Oktober 2022 06:01

Mengukur kerja Anies membahagiakan warga ibu kota

Anies dianggap belum berhasil menanggulangi persoalan-persoalan klasik yang dihadapi warga ibu kota.
swipe

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan resmi menanggalkan jabatannya sebagai penguasa ibu kota, Minggu (16/10) lalu. Terhitung sudah lima tahun Anies memimpin DKI Jakarta--mulanya bersama Sandiaga Uno sebelum akhirnya didampingi politikus Gerindra, Ahmad Riza Patria.

Saat meresmikan Masjid Jami Al Hidayah, Klender, Jakarta Timur, pertengahan September lalu, Anies sempat mengungkapkan niat untuk rehat sejenak usai purnatugas. 

"Insyaallah, nanti kita jumpa lagi. Takdir kan bisa kembali ke sini lagi walaupun nanti waktunya belum tahu kapan. Yang pasti, bulan depan saya istirahat," ucap Anies kepada jemaah di Masjid Jami Al Hidayah. 

Anies sepertinya tak akan beristirahat lama. Awal Oktober lalu, Partai NasDem telah mencalonkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu sebagai kandidat calon presiden dalam Pilpres 2024. Kerja-kerja politik untuk mendongkrak elektabilitas telah menanti Anies. 

Di papan survei sejumlah lembaga, tingkat keterpilihan Anies tergolong tinggi. Bersama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Anies selalu menempati posisi tiga besar tokoh dengan elektabilitas tertinggi. 

Pada hasil survei Indikator Politik yang dirilis September lalu, misalnya, Anies meraup elektabilitas sebesar 17,4%. Anies berada di posisi ketiga tokoh dengan elektabilitas tertinggi di bawah Ganjar (29%) dan Prabowo (19,6%).

Survei lembaga Litbang Kompas yang dirilis Juni lalu juga menempatkan Anies sebagai tokoh dengan elektabilitas tertinggi ketiga jelang Pilpres 2024. Anies meraup 12,6%. Bedanya, Litbang Kompas kala itu menempatkan Prabowo sebagai tokoh dengan elektabilitas tertinggi dengan 25,3%. Ganjar ada di posisi kedua dengan raupan 20%. 

Survei lainnya merekam kepuasan publik DKI di bawah kepemimpinan Anies. September lalu, hasil survei Nusantara Strategic Network (NSN) menemukan 58,8% warga DKI tidak puas dengan kinerja Anies. Sebanyak 10,9% responden tidak menjawab atau menjawab tidak tahu. 

Direktur Program NSN, Riandi mengatakan penurunan persepsi publik terhadap Anies disebabkan berbagai kebijakan kontroversial yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta saat dipimpin Anies. 

Menurut dia, Anies cenderung lebih sibuk mengurusi proyek-proyek mercusuar ketimbang memperhatikan kebutuhan utama warga DKI, semisal membangun sirkuit balap Formula E dan Jakarta International Stadium (JIS).

"Yang dilakukan Anies hanya mengubah nama-nama jalan dan mengganti istilah, tanpa ada hal-hal yang lebih substantif," kata Riandi kepada wartawan. 

Namun, hasil berbeda ditemukan Populi Center. Dalam survei yang dirilis Rabu (19/10) lalu, Populi menemukan sebanyak 85,3% warga DKI Jakarta mengaku puas dengan kepemimpinan Anies. Hanya 15,8% responden yang menyatakan tidak puas. 

Menurut peneliti Populi, Dimas Ramadhan mengatakan tingginya kepuasan publik terhadap Anies-Riza didorong kinerja ciamik Pemprov DKI dalam sejumlah program strategis, semisal pengelolaan sampah, pembangunan RPTRA, dan Kartu Jakarta Sehat (KJS) Plus. Dari 27 program, setidaknya ada 15 program Anies-Riza yang dianggap memuaskan. 

"Mengingat banyaknya penilaian positif, baik, atau puas pada program yang telah ada, hal ini berdampak pada tingginya tingkat kepuasan terhadap kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria," ujar Dimas dalam siaran pers yang diterima Alinea.id.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan disambut warga DKI di Balai Kota, Jakarta Pusat, Minggu (16/10). /Foto Instagram @aniesbaswedan

Tak spesial

Lantas seperti apa sebenarnya kinerja Anies saat menjadi Gubernur DKI Jakarta? Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai kinerja Anies tergolong biasa saja saat memimpin ibu kota. 

Pada aspek pertumbuhan ekonomi, misalnya, menurut Esther, Anies tertolong karena DKI Jakarta merupakan pusat industri jasa. Selama pandemi, sektor jasa masih tetap hidup dan tumbuh sehingga daya beli masyarakat relatif terjaga. 

"Tidak ada prestasi yang signifikan. Pendapatan per kapitanya pun banyak diperoleh dari sektor jasa," kata Esther kepada Alinea.id, Senin (17/10).

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta merekam pertumbuhan ekonomi DKI pada masa Anies cenderung fluktuatif. Pada 2017, perekonomian DKI tumbuh 6,22%. Pertumbuhan ekonomi turun tipis jika dibanding tahun sebelumnya menjadi 6,17% pada 2018 dan turun lagi menjadi 5,89% pada 2019. 

Pada tahun pertama pandemi, perekonomian DKI Jakarta tercatat minus hingga 2,36%. Pada 2021, perekonomian Jakarta kembali pulih. BPS DKI Jakarta mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 3,56%. Pada kuartal II 2022, pertumbuhan ekonomi menguat hingga 5,59% secara tahunan (yoy)

"Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta sebenarnya turun seperti daerah lain, karena mobilitas masyarakat pada saat pandemi berkurang. Tettapi, pendapatan masyarakat DKI Jakarta lebih tinggi dari daerah lain. Daya belinya pun juga lebih tinggi," jelas Esther.

Anies juga tergolong tak sukses menurunkan angka pengangguran di ibu kota. Pada 2017, BPS mencatat ada 346.945 orang menganggur dari 4.856.116 angkatan kerja di DKI Jakarta. Pada 2021, terekam ada 439.899 orang pengangguran dari total 5.177.314 angkatan kerja.

Pengangguran di DKI Jakarta sempat melonjak pada 2020 atau saat awal pandemi Covid-19. Ketika itu, dari 5.232.031 angkatan kerja ada sebanyak 572.780 penganggur. Penggangguran terbuka paling banyak tercatat di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur.

Fluktuasi juga terjadi pada tingkat kemiskinan. Dengan jumlah penduduk sebesar 10.374.235 orang, tercatat ada 389,69 ribu warga miskin di ibu kota pada Maret 2017. Setahun berselang, tepatnya pada Maret 2018, jumlah warga miskin di DKI turun hingga hanya 373,12 ribu orang. Penurunan kembali terjadi pada Maret 2019 menjadi 365,55 ribu warga miskin.

Namun, jumlah warga miskin melonjak pada Maret 2020. Ketika itu, BPS DKI mencatat ada sebanyak 480,86 ribu warga miskin di ibu kota atau sekitar 4,53% dari total jumlah penduduk di Jakarta. Pada Maret 2021, jumlah warga miskin kembali naik menjadi 501,92 ribu orang. 

"Jelas ada lonjakan kemiskinan. Tidak hanya di DKI Jakarta, tapi juga daerah lain selama 2020-2021 akibat pandemi. Apa yang terjadi di DKI Jakarta selaras dengan yang terjadi di Indonesia karena kebijakan pemda tidak bisa lepas dari intervensi kebijakan pemerintah pusat," ujar Esther.

BPS DKI Jakarta juga mencatat penurunan indeks kebahagiaan pada era Anies. Pada 2021, indeks kebahagiaan penduduk Jakarta mencapai 71,33%. Adapun pada 2017, indeksnya sebesar 70,68%. Artinya, terjadi penurunan indeks sebesar 0,65 poin.

Indeks kebahagiaan mengacu pada tingkat kepuasan hidup personal dan kepuasan hidup sosial. Parameternya mencakup aspek pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kesehatan fisik dan mental, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keadaan lingkungan, kondisi keamanan, kondisi rumah, dan fasilitas rumah. 

Menurut Esther, indeks kebahagiaan warga di DKI masih tergolong cukup baik. Pasalnya, angkanya masih di atas 50%. Namun, raihan DKI tak spesial lantaran indeks kebahagiaan nasional pada 2021 tercatat sebesar 71,49. Indeks nasional itu meningkat 0,8 poin jika dibanding tahun sebelumnya. 

"Kalau indeks kebahagiaan Jakarta bagus, itu juga terjadi pada indeks kebahagiaan di Indonesia secara umum," kata Esther.

Anies, kata Esther, bukannya tanpa capaian positif. Ia menyebut Anies tergolong cukup berhasil dalam merancang integrasi moda transportasi publik dan meredam kemacetan di Jakarta. Esther juga mengapresiasi upaya-upaya Anies mengatasi banjir musiman di ibu kota. 

"Meski hasilnya belum maksimal. Untuk mengatasi banjir, maka digunakan JAKI (aplikasi Jakarta Kini) dan untuk macet ada Jak Lingko. Ada juga pembangunan jalur sepeda," kata Esther.

Sistem Jak Lingko mengintegrasikan mulai bus besar, medium, Transjakarta, kereta MRT dan LRT. Diluncurkan pada 8 Oktober 2019 di Balai Kota, Jak Lingko merupakan rebranding dari program OK OTRIP yang digaungkan Anis-Sandi pada masa kampanye Pilgub 2017.

Ilustrasi kampung kumuh di DKI Jakarta. /Foto Antara

Jakarta tidak bahagia? 

Pada saat kampanye, Anies mengusung jargon "Maju Kotanya, Bahagia Warganya". Setidaknya ada 23 janji kampanye yang diutarakan Anies-Sandi bakal diwujudkan saat memimpin DKI. Namun, mayoritas janji itu dinilai tak terealisasi. 

"Seperti program (rumah) DP (down payment) Rp0 yang gagal sejak awal karena masalah lahan (tersandung korupsi pengadaan lahan), perubahan target dari kelompok MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) ke masyarakat menengah atas," kata pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga kepada Alinea.id, Senin (17/10). 

Proyek lainnya yang gagal ialah One Kecamatan One for Center Entrepreneurship atau OK OCE. Saat kampanye, Anies menargetkan pembentukan 200.000 wirausaha baru melalui program OK OCE. Namun, jumlah wirausaha baru yang lahir di DKI selama lima tahun hanya sekitar 6.000 orang atau 3% dari target. 

Menurut Nirwono, Anies juga gagal mengatasi persoalan klasik Jakarta, yakni banjir dan kemacetan. Khusus untuk banjir, Nirwono menyebut banyak proyek Pemprov DKI yang tak efektif, semisal pembangunan sumur resapan air dan grebek lumpur. 

"Grebek lumpur bahkan cenderung seremonial, sementara wujud naturalisasi sungai tidak ada. Pembenahan sungai berhenti total sehingga banjir kiriman karena air sungai meluap terus terjadi," kata Nirwono.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Menurut Nirwono, Anies juga punya rapor merah dalam pengendalian kemacetan dan polusi udara. Berdasarkan pengukuran IQAir, Jakarta menjadi rutin didapuk sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. 

"Beberapa program kebijakan cenderung melanggar aturan yang berlaku seperti pembiaran PKL berjualan di trotoar, pembangunan Kampung Akuarium yang tidak sesuai tata ruang, serta ketidakjelasan perkembangan pulau-pulau reklamasi akan diapakan ke depan," tutur Nirwono.

Nirwono tidak sependapat jika angka indeks kebahagiaan di DKI Jakarta disebut tergolong dalam ambang batas aman. Secara kualitatif, menurut dia, proyek-proyek pembangunan di DKI Jakarta masih belum menjawab persoalan-persoalan utama yang dihadapi warga, khususnya terkait hunian, kemacetan, dan banjir.

"Melihat hasil pembangunan di atas dan masih terjadinya banjir setiap tahun dan tingkat polusi udara yang semakin tinggi, mestinya banyak warganya yang tidak bahagia. Masyarakat mana yang bahagia kalau mereka tidak memiliki hunian yang layak? Seperti kelompok MBR yang dijanjikan kampanyenya, setiap hujan rumahnya terdampak banjir atau terpaksa menghirup udara kota yang sangat polutif," kata Nirwono.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan