Mengurai benang kusut perparkiran di Jakarta
Pagi itu, wajah Sandra Dewi, 24 tahun, tampak kebingungan. Matanya menyisir segala penjuru Stasiun Kalideres, Jakarta Barat, mencari tempat parkir sepeda motornya. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.45 WIB. Ia harus bergegas naik kereta menuju kantornya di Sawah Besar, Jakarta Barat untuk mempersiapkan rapat dengan klien pada pukul 09.00 WIB.
“Sudah jam segini, masih bingung cari parkir,” ujar Sandra kepada Alinea.id, Senin (13/3).
Untuk menuju Stasiun Kalideres dari rumahnya di Pondok Bahar, Tangerang, Banten yang berjarak sekitar enam kilometer, Sandra memang sudah terbiasa menggunakan sepeda motor. Biasanya, Sandra menitipkan sepeda motor di tempat parkir yang disewakan warga sekitar stasiun dengan tarif Rp5.000.
“Tapi, hari ini penuh. Saya jadi bingung,” katanya.
“Harus pagi banget (sampai stasiun) karena kadang jam tujuh (pagi) aja parkir yang dijaga warga penuh.”
Pegawai di sebuah bank swasta itu berpendapat, kantong parkir resmi di Stasiun Kalideres mesti disediakan. Sebab, sangat dibutuhkan warga yang harus menitipkan sepeda motornya ketika hendak menggunakan kereta ke kantor.
Parkir di stasiun dan pinggir jalan
Pada pagi hari di Stasiun Poris, Tangerang, Banten juga terlihat kesibukan warga yang hendak bekerja ke Jakarta berebut tempat parkir resmi, menghindari menitipkan kendaraannya di parkir liar. Salah seorang pengguna kereta, Tifani, 31 tahun, mengatakan kantong parkir di Stasiun Poris kerap kali tak cukup menampung banyaknya sepeda motor.
“Apalagi saat hujan. Banyak orang lebih milih naik kereta, biar enggak kejebak hujan dan banjir,” ujar Tifani, Senin (13/3).
Menurut pria yang bekerja sebagai sales kendaraan proyek ini, pengguna kereta yang semakin banyak berdampak pada ketersediaan lahan parkir. “Semenjak saya pakai kereta tujuh tahun lalu, saat pindah rumah ke Poris, rata-rata mereka ke stasiun pakai motor,” ucapnya.
Beruntung, Tifani sudah sering menggunakan tempat parkir yang disediakan warga. Ia jadi tak kebingungan lantaran sudah langganan.
"Orang sini sudah nyediain tempat buat saya. Datang langsung masuk aja, taruh motor di pojok," ujar Tifani.
Di sepanjang Jalan Tebet Raya menuju Stasiun Tebet, Jakarta Selatan, bertebaran lahan parkir liar yang dikuasai kelompok ormas. Tempat parkir liar yang ada di tepi jalan itu, tak jarang memicu kemacetan ketika mendekati waktu pulang kerja. Apalagi di lokasi tersebut banyak sekali rumah makan yang tak punya tempat parkir luas, sehingga memenuhi badan jalan.
Seorang warga Cawang, Jakarta Timur, Rusdi Hafiz, 25 tahun, mengaku kerepotan melintasi Jalan Tebet Raya selepas magrib karena macet akibat banyaknya kendaraan yang diparkir sembarangan.
“Penuh sepanjang jalan. Kadang mobil parkir,” kata dia, Selasa (14/3).
Sementara Ibnu Hisyam mengaku agak malas berhadapan dengan tukang parkir liar, ketika makan atau ngopi di daerah Tebet. Tukang parkir, kata Ibnu, terkadang tak ada saat pengunjung rumah makan atau kafe datang. Namun, tiba-tiba muncul meniupkan peluit saat pengunjung hendak pergi.
“Sebenarnya, ada beberapa tempat makan itu nyediain parkir gratis. Mereka ini bukan tukang parkir kafe,” ucapnya, Selasa (14/3).
Selepas maghrib, menurut Ibnu, tukang parkir di Jalan Tebet Raya semakin banyak. Sebab, banyak orang mendatangi restoran atau kafe untuk makan dan beristirahat sejenak usai bekerja.
Seorang tukang parkir di Jalan Tebet Raya mengaku bisa mendapat uang Rp400.000-Rp600.000 dalam setengah hari kerja. Akan tetapi, ia harus menyetor kepada salah seorang “ketua” parkir yang juga aktif di salah satu ormas kedaerahan.
“Kadang 25% dari yang kita dapat,” ujar pria yang tak mau disebut namanya itu, Selasa (14/3).
Ia menarik tarif sebesar Rp5.000-Rp10.000 untuk sekali parkir di tepi Jalan Tebet Raya. “Ngasih duit Rp5.000-Rp10.000 enggak bikin mereka miskin, kok,” ucapnya.
Solusi parkir yang semrawut
Di lokasi keramaian dan dekat tempat transportasi publik, lahan parkir di Jakarta memang kerap padat kendaraan, terutama sepeda motor. Sebab, dari tahun ke tahun kendaraan semakin banyak, tetapi lahan parkir terbatas.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Korlantas Polri menyebut, terjadi kenaikan sebanyak 400.592 unit mobil dari 2020 hingga 2022 di wilayah DKI Jakarta. Sedangkan sepeda motor, bertambah sebanyak 1.163.067 unit dari 2020 hingga 2022.
<div class="flourish-embed flourish-chart" data-src="visualisation/13081502"><script src="https://public.flourish.studio/resources/embed.js"></script></div>
Alinea.id sudah berupaya menginformasi Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi DKI Jakarta, Syafrin Liputo terkait masalah perparkiran di Jakarta. Namun, Syafrin tak merespons hingga artikel ini ditayangkan.
Dishub DKI Jakarta awal Februari lalu, mengakali masalah ini dengan menambah enam tempat parkir bertarif tertinggi bagi kendaraan yang tak lulus uji emisi. Kini, total ada 11 titik lokasi parkir dengan kriteria itu.
Di 11 lokasi parkir yang dikelola Unit Pengelola (UP) Perparkiran Dishub DKI Jakarta itu, diterapkan sistem disinsentif tarif parkir (penerapan tarif parkir tinggi) terhadap kendaraan yang belum dan/atau tidak lulus uji emisi.
Sebelas lokasi parkir itu, antara lain di pelataran parkir IRTI Monas (Jakarta Pusat), lingkungan parkir Blok M (Jakarta Selatan), pelataran parkir Samsat (Jakarta Barat), lingkungan Pasar Mayestik (Jakarta Selatan), Plaza Interkon (Jakarta Barat).
Lalu Park and Ride Kalideres (Jakarta Barat), gedung parkir Istana Pasar Baru (Jakarta Pusat), gedung parkir Taman Menteng (Jakarta Pusat), Park and Ride Lebak Bulus (Jakarta Selatan), pelataran parkir Taman Ismail Marzuki (Jakarta Pusat), dan Park and Ride Terminal Kampung Rambutan (Jakarta Timur). Hanya saja, kantong parkir tadi khusus untuk mobil.
Menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, persoalan perparkiran di Jakarta tak lepas dari angkutan umum yang belum menjadi andalan warga. Penyebabnya, pemerintah luput menyediakan angkutan umum saat perumahan dibangun. Hal itu tak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan.
“Tidak menyebut angkot itu harus ada,” ujar Djoko, Senin (13/2).
Tata kelola parkir di Jakarta yang amburadul, kata Djoko, disebabkan adanya penguasaan lahan parkir oleh oknum anggota ormas atau preman. Ia menduga, mereka sengaja dibiarkan karena ada “perjanjian politik” saat pemilu.
“Parkir yang dikelola oleh ormas itu (pemasukannya) sehari bisa jutaan,” kata Djoko.
Dari pengamatan Djoko, kantong-kantong parkir di Jakarta mulai dikuasai ormas dan preman sejak 2017. Maka, wajar banyak titik parkir di tepi jalan yang tak ditertibkan Pemprov DKI Jakarta.
“Parkir di tepi jalan itu jangan dibiarkan ada karena susah dikendalikan. Upayakan semua off street. Bikin berupa gedung atau lapangan,” tuturnya.
Sebelumnya, pada saat Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, ujar Djoko, masalah parkir bisa dikendalikan karena juru parkirnya digaji Pemprov DKI Jakarta. Djoko sempat melakukan survei pendapatan parkir di Jakarta pada masa Ahok. Hasilnya, parkir resmi dalam sehari bisa menggaji para juru parkir selama sebulan.
Pada 2012, ketika DKI Jakarta masih di bawah Joko Widodo, Djoko pernah menghitung, Pemprov DKI Jakarta bisa mendapatkan Rp1 triliun per tahun dari tarif parkir, jika dikelola resmi, bukan parkir liar.
Sewaktu Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, menurut Djoko, pernah dibuat mesin-mesin parkir elektronik. Sayangnya, mesin parkir elektronik itu lambat laun tak berjalan karena kantong-kantong parkir dikuasai oknum anggota ormas atau preman. Hal ini, lanjut Djoko membuat sistem perparkiran sulit dibuat teratur dan modern.
"Sebaiknya ada larangan parkir tepi jalan dan membentuk lahan parkir yang dikelola pemprov, minimal dikuasai kelurahan," ucap Djoko.
“Semestinya Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono bisa benahi karena dia enggak ada kepentingan.”
Di sisi lain, melihat jumlah angkutan pribadi—terutama sepeda motor—yang semakin tak terkendali, Djoko menyarankan di stasiun daerah penyangga Ibu Kota perlu diperluas lahan parkirnya. Tujuannya, agar warga tak menggunakan kendaraan pribadi ke Jakarta yang sudah sangat macet di jam sibuk. Kemudian, pada stasiun di tengah kota dan terminal, ujar Djoko, perlu dibuat sistem parkir bertingkat untuk menyiasati ketersediaan lahan yang minim.
"Dan yang tidak kalah penting adalah perlu diberlakukan parkir yang lebih mahal. Tapi pada intinya, parkir di tepi jalan harus dihilangkan karena sulit mengendalikannya," kata Djoko.