Mengurai tabir prostitusi online di apartemen
Tak lama setelah polisi membongkar prostitusi anak di apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, yang “dijajakan” melalui aplikasi pesan MiChat, publik dihebohkan dengan aksi politikus Gerindra Andre Rosiade.
Andre disebut-sebut melakukan penjebakan—meski ia membantah hal itu—terhadap pekerja seks berinisial NN di sebuah hotel berbintang di Kota Padang. Anggota DPR ini muncul dengan sorotan kamera, bersama polisi.
NN dan muncikarinya AS kemudian ditahan. Andre tampil di media, berdalih melakukan penggerebekan karena ada laporan warga perkara maraknya prostitusi menggunakan aplikasi pesan MiChat. Menurut polisi, Andre hanya ingin membuktikan bahwa prostitusi online itu ada di Padang. Pada kenyataannya, praktik prostitusi online bukan hanya ada di Padang.
Mawar—bukan nama sebenarnya, mengaku sudah menjalani praktik prostitusi selama empat tahun. Perempuan kelahiran Subang, Jawa Barat ini menghabiskan masa kecilnya di rumah neneknya di Bandung.
Usai lulus SMA, ia merantau ke Ibu Kota. Perempuan 22 tahun tersebut pertama kali terjerumus lubang hitam bisnis berahi di sebuah spa.
“Waktu itu, aku bisa dapat penghasilan puluhan juta. Tamunya rata-rata punya uang banyak,” ujar Mawar saat ditemui reporter Alinea.id di sebuah apartemen di bilangan Jakarta Selatan, Kamis (6/2).
Di spa itu, ada seorang perantara yang tugasnya menangani pelanggan. Ia mengaku, selain orang Indonesia, tamunya dari beberapa negara, seperti China, Jepang, dan Korea.
Ia mengatakan, pernah dibayar Rp20 juta oleh seorang pengusaha tambang batu bara asal Palembang, untuk menemaninya kencan selama dua hari di Surabaya.
“Anggota DPR pernah. Sudah tahu semua jenis pelanggan. Enak ikut spa karena emang gede duitnya,” ucapnya.
Dengan penghasilan sebesar itu, anak ketiga dari empat bersaudara ini kerap membantu perekonomian keluarganya yang pas-pasan. Ayah Mawar sendiri hanya seorang pekerja serabutan.
Usai mengundurkan diri dari spa, Mawar sempat bekerja sebagai sales promotion girl (SPG). Namun, pekerjaan itu tak lama dijalaninya. Ia kebingungan membiayai kebiasaannya dugem di diskotek dan berwisata. Ia pun sudah terbiasa memegang uang puluhan juta. Akhirnya, ia kembali menjalani bisnis prostitusi.
“Aku mencoba gini lagi sejak dua minggu lalu karena butuh uang,” ujarnya.
Kini, ia melayani pria hidung belang di kamar apartemennya. Ia bisa meraup Rp6 juta sehari, dengan sekali kencan Rp800.000. Tamu Mawar berasal dari aplikasi pesan MiChat.
Mawar mengaku tak takut terjadi penggerebekan di apartemen tempatnya menemui tamu. Menurut dia, dirinya sudah kongkalikong dengan sekuriti apartemen. Ia mengatakan, petugas dipesan agar mengawasi dan melapor bila ada tamu yang sudah tiba di lobi apartemen.
Lindungi perempuan
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi menyebut, ada tiga hal yang menyebabkan seorang perempuan terjebak dalam lingkaran prostitusi, yakni korban kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan tidak pidana perdagangan orang (TPPO).
Ia menggunakan istilah pedila untuk perempuan yang terjebak dalam prostitusi. Di dalam masyarakat patriarkis, kata dia, pedila digolongkan sebagai bentuk perdagangan manusia untuk meraih kepuasan seksual.
“Tak seorang perempuan pun bersedia menjadi pedila kecuali karena tekanan ekonomi,” tutur Siti saat dihubungi, Jumat (7/2).
Para pedila juga menjadi korban dari struktur ekonomi yang tidak adil. Misalnya, kata dia, dalam kasus NN, ia menjadi pedila bukan menawarkan diri, tetapi karena faktor kemiskinan.
NN juga merupakan korban KDRT karena suaminya tak mampu menafkahi. Bahkan, Siti menyebut, NN menjadi korban kekerasan berbasis gender karena dijadikan sebagai istri kedua.
“Dan, ketika dijerat hukum, dia (NN) dikriminalisasi,” ucapnya.
Siti menilai, dalam kasus prostitusi, harus ditelusuri terlebih dahulu apakah termasuk TPPO lantaran melibatkan anak di bawah usia. Bila prostitusi hanya terkait perempuan dewasa tanpa muncikari, Siti memandang, hal itu urusan pribadi mereka. Lain cerita kalau prostitusi melibatkan muncikari dan pemilik apartemen.
“Maka, muncikari dan penyedia kamar, bisa dijerat hukum karena mengambil keuntungan,” ujarnya.
Perkara hukum untuk prostitusi diatur dalam Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait larangan mengambil keuntungan dari kegiatan cabul. Ancaman hukumannya, penjara maksimal satu tahun empat bulan.
Lalu, ada Pasal 506 KUHP yang menyebut, menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang perempuan dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, bisa diancam pidana kurungan paling lama satu tahun.
Lebih lanjut, Siti mengingatkan, media massa bisa mengawal isu prostitusi dengan tidak menyebut identitas atau menampilkan wajah perempuan. Media juga harus menghormati proses hukum yang berjalan. Hal ini penting karena isu kesusilaan, sebut Siti, sangat berdampak buruk terhadap perempuan korban.
“Ketika jejak digitalnya terungkap, korban akan kesulitan untuk memulihkan diri. Ia bisa kesulitan juga untuk mendapatkan pekerjaan,” tuturnya.
Tindakan penggerebekan, kata Siti, merupakan bentuk feminitas moral. NN, begitu pula pekerja seks yang bernasib serupa, digunakan sebagai tolak ukur moral masyarakat.
Menurut psikolog sosial dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro, polisi sesungguhnya tak boleh melakukan penggerebekan. Alasannya, pelacuran hanya bisa disamakan dengan perselingkuhan.
“Perselingkuhan itu deliknya, delik aduan. Kalau tidak ada yang mengadu, ya tidak masalah. Itu berlaku pada perempuan dewasa yang melacurkan diri. Namun, kalau dalam pelacuran anak-anak, itu bermasalah karena ada undang-undangnya,” ujar Koentjoro saat dihubungi, Rabu (5/2).
Penyebab apartemen subur prostitusi
Koentjoro menuturkan, tumbuh suburnya prostitusi di apartemen wilayah Jakarta karena lokalisasi sudah banyak ditutup. Ia mencontohkan Kramat Tunggak, yang ditutup Pemprov DKI pada Desember 1999. Di samping itu, praktik prostitusi di losmen, hotel melati, dan spa kerap menjadi sasaran razia.
“Para pekerja seks pun berpindah ke apartemen atas pertimbangan keamanan dan kenyamanan,” kata Koentjoro.
Dibandingkan dengan hotel, menurutnya, apartemen lebih menarik dari segi tarif dan perlindungan identitas. Prostitusi muncul di apartemen dengan sangat tidak kentara.
“Masuk ke apartemen tidak kelihatan. Kalau saya punya apartemen, saya sewakan, orang hanya bayar. Tidak perlu lapor ke penjaga,” ujar Koentjoro.
Ditambah lagi, lingkungan apartemen cenderung bebas dan permisif. Di sisi lain, aplikasi pesan online yang dimanfaatkan sebagai media untuk mencari pelanggan, kata Koentjoro, bertujuan memberikan perlindungan identitas.
“Sarana ini bukan hanya terkait mengikuti perkembangan zaman, melainkan pula untuk kamuflase, dari nama hingga foto,” tuturnya.
Motif pekerja seks di apartemen, ungkap Koentjoro, mengarah ke gaya hidup dan materialistis simbolik. Biasanya, mereka yang menawarkan jasa “kenikmatan sesaat” itu berasal dari kalangan menengah ke atas.
Dihubungi terpisah, sosiolog dari UGM Derajad S Widhyharto mencermati, banyaknya apartemen yang dibangun adalah fenomena baru karena desakan permintaan hunian di lahan perkotaan yang terbatas. Penghuninya punya hak istimewa berupa keamanan dan kenyamanan, yang ikut mendorong prostitusi berpindah ke apartemen.
“Sebagai bisnis asusila, prostitusi membutuhkan ruang privat dan apartemen dinilai sangat cocok. Sehingga, prostitusi di apartemen pun merajalela dan tak terkontrol,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (9/2).
Menurutnya, selain konteks kerja, pemintaan, penawaran, dan kebutuhan, terdapat kultur politik dalam prostitusi. Hal itu terlihat dari prostitusi yang dieksploitasi sebagai komoditas.
“Seperti kasus Andre Rosiade itu. Bagi politikus, itu penting. Andre bisa masuk tv,” ujarnya.
Koentjoro mengakui, prostitusi di apartemen sulit dibasmi. Sebab, terkait erat dengan masalah permintaan dan penawaran, serta kebutuhan pekerja seks dan pelanggannya.
“Ketika orang harus berpindah-pindah untuk bekerja, apakah mereka bawa istri? Tidak selalu. Berapa lama di situ? Seks itu addicted, kalau mereka sudah ‘kepengen’, mau ngapain lagi? Toh, mereka punya uang dan bisa panggil pelacur,” ucapnya.
Sedangkan Derajad menilai, prostitusi di apartemen sulit terdeteksi karena membaur dengan masyarakat perkotaan yang individualistik. Belum lagi, mereka mudah berpindah-pindah karena ada fasilitas aplikasi pesan online.
Secara sosiologis, Derajad mengakui, prostitusi mustahil lenyap. Larangan agama pun tak bisa membendung eksistensinya karena agama cuma menuntaskan hubungan manusia dengan Tuhan.
“Tanpa mampu menyelesaikan aneka problem pelik lainnya,” tuturnya.
Usaha meredam prostitusi
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) sekaligus kriminolog dari Universitas Borobudur Edi Hasibuan mengatakan, rendahnya pengawasan dalam penyewaan apartemen menjadi penyebab maraknya prostitusi. Hal itu, kata dia, bisa dibuktikan dengan kasus prostitusi di Kalibata City, yang terjadi berulang kali.
Edi menyarankan, sebaiknya pengembang apartemen lebih memperhatikan aspek pencegahan. Semisal, mengawasi proses sewa kamar atau memberlakukan persyaratan kamar hanya untuk keluarga.
“Kalau disewakannya harian, susah ngontrolnya. Tingkatkan pengawasan, itu paling penting,” ujar Edi saat dihubungi, Kamis (6/2).
Edi memandang, pihak pengembang terbilang melanggar hukum, jika mengetahui ada praktik prostitusi di apartemennya.
Terkait prostitusi online, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Ferdinandus Setu mengatakan, aplikasi MiChat sudah tiga kali ramai dilaporkan tersangkut kasus prostitusi.
Akan tetapi, pihaknya belum memblokir aplikasi itu karena hingga kini masih patuh terhadap regulasi. Ia berdalih, permintaan Kemenkominfo untuk menonaktifkan akun terduga pelaku prostitusi, sudah dilakukan pihak MiChat.
Selama ini, Ferdinandus mengatakan, Kemenkominfo aktif menyaring konten pornografi dan penyedia prostitusi online. Caranya, berkomunikasi dengan pihak media sosial.
“Kami telah memblokir lebih dari 600.000 konten pornografi dan prostitusi online di Twitter. Termasuk di dalamnya yang open BO (booking order),” ujarnya saat dihubungi, Jumat (7/2).
“Artinya, penyalahgunaan media sosial untuk kepentingan ilegal itu terjadi dihampir seluruh platform.”
Meski begitu, ia mengakui prostitusi online melalui MiChat termasuk kasus yang tak bisa dihindari. Akan tetapi, menurutnya, jika layanan media sosial tak merespons permintaan Kemenkominfo untuk menonaktifkan akun yang diduga penyedia prostitusi, pihaknya bisa melayangkan teguran.
Jika tiga kali ditegur tak merespons, kata dia, pihaknya akan memblokir layanan media sosial itu. Hal ini pernah dilakukan Kemenkominfo terhadap Telegram dalam kasus radikalisme dan Bigo Live karena pornografi.
“Artinya, peluang itu ada, tetapi selama ini kita melihat bahwa Michat masih mematuhi peraturan,” ucapnya.
Sementara itu, Derajad menyarankan pemerintah agar upaya pemberantasan bukan hanya berfokus terhadap prostitusinya, tetapi juga meminimalisir dengan mengontrol apartemen.
Ia juga menyayangkan, pemerinah selama ini menggunakan pendekatan keamanan untuk menyelesaikan masalah prostitusi yang rumit. Padahal, kata Derajad, pemerintah bisa meredam prostitusi dengan cara mengeluarkan kebijakan yang menekan angka pengangguran pada perempuan.
“Beda lho, pengangguran laki-laki dengan pengangguran perempuan itu. Pemerintah bisa berkontribusi dengan kebijakan perlindungan kerja perempuan. Tepatnya, pengangguran untuk kelompok rentan,” ucapnya.