close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi. Foto Pixabay.
Nasional
Selasa, 09 November 2021 11:43

Menimbang manfaat obat Covid-19 Molnupiravir

Molnupiravir dinilai tak bermanfaat untuk menekan pandemi. Pemerintah diminta tak tergoda taktik marketing pabrik obat.
swipe

Pemerintah diingatkan untuk tetap fokus pada upaya menekan Covid-19 yang sudah berjalan. Langkah menggenjot vaksinasi yang menjangkau semua penduduk rawan, termasuk memprioritaskan wilayah aglomerasi, terbukti mampu mengendalikan laju penularan virus SARS-Cov-2.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengingatkan agar pemerintah tidak tergoda pada bujuk rayu industri farmasi yang menjual obat Covid-19. Pemerintah diminta fokus pada vaksinasi yang ditunjang surveilans yang baik, dan protokol kesehatan dijalankan konsisten.

"Buat apa pemerintah beli obat Molnupiravir? Fokuskan pada ikhtiar kita yang sekarang agar berhasil tekan lonjakan kasus yang masif. Obat itu hanya bermanfaat pada kasus ringan dan sedang, dan hanya 5 hari pertama. Kecuali ada kepentingan tertentu yang tidak diketahui publik," tulis "juru wabah" itu di akun twitternya, Selasa (9/11).

Pandu merespons langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang memborong Molnupiravir, obat produksi Merck, yang diklaim manjur untuk Covid-19 gejala ringan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, pihaknya melakukan uji klinis pada segala jenis baru obat Covid-19. Termasuk yang menjadi perbincangan publik, Molnupiravir.

"Kemarin saya sudah ke Amerika deal dengan Merck. Rencananya kita akan beli dulu, sementara mungkin 600.000 sampai 1 juta tablet di bulan Desember," kata Budi Gunadi pada Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IX DPR RI yang ditayangkan secara virtual, Senin (8/11) kemarin.

Kebijakan tak rasional

Menurut Pandu Riono, yang paling kritis bagi Indonesia saat ini adalah semangat menjaga protokol kesehatan yang kendor dan godaan tidak lagi menjalanan kebijakan prevention, protection, and response. Ini karena Indonesia telah memasuki fase penularan Covid-19 yang rendah.

"Ditambah kekhawatiran yang berlebihan terhadap ancaman lonjakan kasus yang masif, kebijakan tidak lagi rasional," jelas Pandu.

Menurut Pandu, pelonjakan kasus Covid-19 tak ditentukan oleh obat. Saat ini tingkat kematian dan keparahan Covid-19 sudah rendah. Langkah saat ini sudah sesuai untuk mencegah penularan dan pelonjakan kasus. 

Molnupiravir, kata dia, belum tentu bermanfaat. Ia tahu pabrik obat melakukan lobi-lobi luar biasa kepada berbagai negara agar produknya laku. Termasuk mengundang pejabat dan menjanjikan produksi di Indonesia. "Supaya obat ini bisa dikonsumsi dan laku," jelas dia.

Ia meminta pemerintah tidak mendua. Vaksinasi yang sudah berjalan masif harus tetap menjadi langkah prioritas. Molnupiravir, kata dia, hanya bermanfaat pada kasus ringan dan efektif pada 5 hari pertama.

"Di Indonesia, sebagian besar kasus Covid-19 terlambat dikenali. Kita tak bisa temukan sejak awal. Sementara yang bergejala ringan tak perlu obat. Karena itu, ada yang tak masuk akal. Kita terbujuk rayu pabrik farmasi. Obat, saya akan lihat berdasar manfaat, safety," jelas dia.

Ia mencontohkan obat Tamiflu yang diborong dan ternyata tidak bermanfaat untuk Covid-19. Monlupiravir, kata Pandu, hanya bermanfaat bagi orang pada awal pengobatan atau awal inveksi dan gejala ringan. Jika imun bagus, tanpa obat pun sudah bisa mencegah kematian. 

Selama ini, jelas Pandu, kita tidak tahu berapa persen pasien Covid-19 bergejala ringan dan jatuh ke gejala berat. Pintu pengobatan Covid-19 itu amat pendek. Karena durasi pendek, pengobatan tak jadi prioritas. 

"Jangan buang-buang uang. Itu taktik dalam marketing (obat). Jangan terbuai pabrik obat. Jangan merasa ini jadi game changer," pinta dia.

Pembelaan pemerintah

Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan memesan Molnupiravir adalah upaya untuk bersiap diri. Apabila obat ini terbukti aman dan memberikan kesembuhan, kata dia, ini perlu agar tidak terjadi keparahan pasien lebih lanjut. 

"Apalagi jika nanti Covid-19 jadi endemis. Agar kita tak kehilangan kesempatan, makanya memesan dulu. Situasi ini masih amat mungkin berubah," kata Siti Nadia. 

Langkah ini, jelas Siti, kurang lebih sama dengan pemberitan obat untuk pasien Covid-19 bergejala ringan dan mencegah pemburukan yang sudah berjalan. Terutama menggunakan Oseltamivir.

"Kita membayangkan banyak kasus gejala ringan, warga isolasi mandiri, dan banyak terjadi pemburukan. Angka kematian kita masih tinggi, masih 2,8. (Obat) Ini diharapkan mencegah pemburukan dan kematian. Agar angka kematian kita saat ini bisa turun," jelas Nadia.

Ilustrasi. Foto Pixabay.

Farmakolog Zullies Ikawati mengamini penjelasan Nadia. Guru Besar Farmasi Universitas Gajah Mada ini menjelaskan, Molnupiravir yang bisa diberikan secara oral ini cukup menggembirakan. Bisa menekan pasien dari gejala ringan ke berat hingga 50% adalah angka yang baik.

Bagi Zullies, Molnupiravir ini tepat diberikan pada pasien Covid-19 yang bergejala ringan dan sedang. "Kalau sudah badai sitokin, antivirus sudah tak akan ngefek," jelas Zullies.

Obat ini, kata Zullies, sebaiknya diberikan pada pasien yang dikenali sejak awal gejala. Mana yang prioritas, yang bergejala ringan atau sedang, kata dia, perlu dipilih terutama agar bisa mencegah pemburukan dan mengurangi tingkat kematian. 

"Kita belum tahu Covid-19 akan seperti apa. Apa seperti influenza yang tiap tahun ada. Karena itu, tak ada salahnya jika diadakan obat itu. Yang paling ideal, pengadaan obat harus ada bukti/eviden," kata dia.

Harga di bawah Rp1 juta

Menteri Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, pembelian Molnupiravir dimaksudkan untuk mempersiapkan diri dan mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19. "Mudah mudahan tidak terjadi, tapi kalau terjadi setidaknya kita punya stok obatnya dulu," beber Budi.

Sekarang, sambung Budi, pihaknya lagi apply licencing lewat Merck atau lewat United State. "Jadi, Merck sudah mengalihkan meminta tolong pada United Nations, badan yang namanya Medicine Patent Pool (MPP) untuk bisa diberikan grand patennya oleh dia," ungkapnya.

Pada tahap awal, pemerintah menempuh skema pembelian langsung kepada produsen. Baru kemudian ke MPP. "Molnupiravir ini sudah memberikan lisensinya ke delapan pabrik di India untuk diproduksi," kata Budi.

Budi menjelaskan, kisaran harga pil Covid-19 buatan perusahaan farmasi asal Amerika Serikat, Merck, di bawah Rp1 juta. "Hitung-hitungan kami antara 40 sampai 50 dolar," kata Budi.

Budi mengatakan, konsumsi Molnuvirapir oleh pasien dilakukan selama lima hari selama proses penyembuhan, masing-masing sebanyak delapan tablet. "Jadi kira-kira butuh 40 tablet," jelas dia.

Molnupiravir bisa dikonsumsi pasien terkonfirmasi Covid-19 bergejala ringan. "Kalau dia positif tapi saturasi masih di atas 94 atau 95, dikasih obat ini hasil uji klinis di luar negeri 50% bisa sembuh," tuturnya.

Pihaknya, jelas Budi, mengajak perusahaan BUMN dan swasta untuk bisa apply paten dari mereka, sehingga bisa membuat di Indonesia. "Mudah-mudahan tahun depan kita bisa bikin ini di sini, sehingga memperkuat sistem ketahanan kesehatan kita," jelas Budi.

img
Khudori
Reporter
img
Khudori
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan