Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, mengingatkan pentingnya intervensi spesifik sebelum kehamilan guna mencegah kerdil (stunting) pada anak. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan remaja terhindar anemia.
Anemia merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan penderitanya mengalami kelelahan, letih, dan lesu. Hal ini akan berdampak pada kreativitas dan produktivitasnya.
Tak hanya itu, anemia juga meningkatkan kerentanan penyakit pada saat dewasa serta melahirkan generasi yang bermasalah gizi. Sementara itu, angka kejadian anemia di Indonesia terbilang tinggi.
Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32%. Artinya, 3-4 dari 10 remaja menderita anemia. Hal tersebut dipengaruhi asupan gizi yang tidak optimal dan kurangnya aktifitas fisik.
"Remaja putri ini jangan sampai anemia karena kalau anemia berisiko tinggi melahirkan bayi stunting," kata Budi dalam keterangannya, dikutip Kamis (15/12).
Terkait hal ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan sejumlah intervensi spesifik. Di antaranya, menyelenggarakan Aksi Bergizi Nasional dengan menggencarkan pemberian tablet tambah darah (TTD) bagi remaja putri di sekolah maupun puskesmas.
"Semua remaja putri kelas 7-9 harus diukur zat besinya. Kalau HB di bawah 12, diberikan tablet tambah darah (TTD) untuk memenuhi zat besi dan asam folat," ujar Budi.
Selain rutin mengonsumsi TTD, imbuh Budi, para remaja putri rutin juga disarankan memeriksa kadar hemoglobin setidaknya 6 bulan atau 1 tahun sekali. Pemeriksaan ini bisa dilakukan secara gratis di puskesmas.
"Untuk remaja putri, supaya hidupnya sehat, anaknya nanti tidak stunting, tes darah minimal 1 tahun sekali. Kalau angkanya di bawah 12, harus minum TTD. Kalau HB sudah di atas 13, jaga kesehatannya, makannya yang cukup, dan rutin aktivitas fisik," tuturnya.
Budi menyampaikan, kesehatan dan status gizi remaja harus dipersiapkan sejak dini. Apalagi, Indonesia diprediksi mendapatkan bonus demografi pada 2045.
Selain itu, Budi menekankan intervensi spesifik yang dilakukan sebelum dan saat kehamilan merupakan agenda prioritas pemerintah untuk mencegah stunting pada anak. Langkah ini dinilai lebih efektif daripada penanganan setelah bayi lahir.
"Kalau dari sisi kesehatan, prioritas paling tinggi untuk pencegahan stunting itu ibunya dulu yang harus diperhatikan. Caranya ada dua, sebelum menikah dan saat kehamilan," jelas Budi.
Salah satu upaya intervensi pada ibu hamil dilakukan dengan mencukupi kebutuhan gizi, pemberian TTD, dan pemberian makanan tambahan.
Untuk mengetahui kecukupan gizi ibu hamil, disarankan rutin memeriksa antenatal care (ANC) sebanyak 6 kali dan USG setiap bulan selama masa kehamilan. "Tujuannya, untuk mengetahui berat dan tinggi bayi apakah kekurangan atau kelebihan," papar Budi.
Budi mengimbau seluruh pihak memastikan kedua intervensi spesifik tersebut dilaksanakan secara simultan guna menekan angka stunting di Indonesia. "Dua ini sangat penting bahkan ini lebih penting daripada mengurus bayinya karena sudah telat."
Presentase kesembuhan bayi yang mengalami stunting hanya berkisar 6% dari total kasus di Indonesia. Kendati demikian, Budi menyatakan, pemerintah tetap menaruh perhatian besar terhadap bayi baru lahir.
Langkah tersebut dilakukan melalui intervensi dengan memenuhi kebutuhan gizi, khususnya pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Kemudian, memastikan pertumbuhan tinggi dan berat bayi terus meningkat dengan usianya.
"Kalau saat ditimbang beratnya tidak naik, langsung periksa ke puskesmas, jangan tunggu sampai stunting. Jadi, begitu lahir, harus sering diukur berat dan panjangnya. Kalau bisa setiap bulan. Lebih sering, lebih bagus," tandas Budi.