Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjawab alasan kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 berubah-ubah.
“Bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah, kenapa harus selalu elastis dan disesuaikan keadaan. Di dalam kacamata orang dianggap selalu berubah-ubah. Sebenarnya ini tidak lepas dari keadaan perilaku dari Covid-19,” ucapnya dalam diskusi virtual, Rabu (1/9).
Ia pun mengakui banyak asumsi-asumsi kesehatan telah dibangun untuk merumuskan kebijakan penanganan Covid-19. Namun, perilaku Covid-19 yang berubah-ubah diklaim berdampak pula pada pergantian kebijakan pemerintah. Misalnya, ibu hamil yang semula diasumsikan tidak akan mudah terinfeksi Covid-19 terbantahkan. Kenyataannya, banyaknya ibu hamil yang terinfeksi Covid-19. Bahkan, tidak jarang anak yang dilahirkan pun terpapar Covid-19.
Selain itu, remaja yang dinilai memiliki imunitas sangat bagus, ternyata semakin hari banyak yang terinfeksi Covid-19. Kemudian, terkait konsep herd immunity (kekebalan kelompok) yang diasumsikan apabila sudah mencapai 70%, maka akan mampu melindungi masyarakat dari bahaya Covid-19.
“Asumsi kita kalau semua sudah divaksin lebih dari 70% maka mereka yang belum divaksin akan terpagari oleh mereka yang sudah terjangkit maupun yang divaksin. Kenyataannya jangankan yang belum divaksin, yang sudah vaksin pun bisa terserang Covid-19,” tutur Muhadjir.
Ia menganggap, teori herd immunity yang telah terbukti ampuh dalam penanganan wabah-wabah sebelumnya, kini terpatahkan oleh Covid-19. Maka, semua pihak harus betul-betul sadar dan memahami pentingnya kebijakan yang tepat terkait penanganan Covid-19.
“Termasuk infrastruktur kesehatan kita yang masih kurang baik justru dengan Covid-19 ini kita bisa bergegas untuk membangun infrastruktur kesehatan kita agar betul-betul bisa lebih andal di masa depan,” ujar Muhadjir.
Sebelumnya, pakar semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yasraf Amir Piliang menyatakan, akrobat istilah (PSBB, PPKM mikro, hingga PPKM Level 1-4) yang dimainkan merupakan karakter dari rezim pencitraan. Karenanya, banyak kebijakan pemerintah saat ini bukan mengejar substansi pencapaian prestasi, tetapi pencitraan atas capaiannya.
"(Pemerintah) bermainnya dengan hal-hal permukaan dari mulai kampanye saja sudah bermain dengan hal-hal permukaan melalui pencitraan, jargon-jargon, gambar-gambar masuk ke got,” ucapnya saat dihubungi Alinea.id, Kamis (7/2). Upaya mengejar pencitraan dengan pemberian nama atau istilah baru tersebut, sambung Amir, agar rezim terlihat berinovasi, sejatinya tidak. Dicontohkannya dengan proyek pembangunan seperti jalan tol, di mana pemerintah hanya mengejar seremoni "gunting pita", padahal pelaksanaannya membutuhkan waktu panjang.
“Nah, Covid-19 ini juga sama. Di seluruh dunia, kan, sudah memiliki istilah yang standar internasional: lockdown, karantina wilayah, karantina mandiri. Tetapi, ini, kan, karena pencitraannya seolah-olah ada inovasi dalam penanganan Covid-19," tuturnya.