Indonesia masih banyak menyuplai buruh migran ke sejumlah negara di Asia. Ironisnya, banyak di antaranya yang akhirnya terjerat berbagai permasalahan, seperti minimnya kemampuan berbahasa sehingga seringkali menghambat komunikasi.
“Yang paling penting memang dari PMI (pekerja migran Indonesia) itu sendiri. Jangan sampai nekat berangkat sebelum bekal yang cukup dia dapatkan," ujar Menteri Koordinator Bidang Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, di Bandung, Jawa Barat (Jabar), pada Kamis (7/10).
Dia mengklaim, pemerintah terus mengupayakan memberi jaminan hak, rasa aman, dan nyaman bagi PMI. Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pun disebut bertanggung jawab memastikan tidak ada yang berangkat sebelum memiliki prasyarat agar bisa bertahan hidup.
Indonesia, sambung Muhadjir, masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan terkait permasalahan PMI ini. Dirinya berjanji bakal mempelajari mata rantai dan peta penanganan masalah yang ada.
"Kemenko PMK tidak bisa secara eksplisit menyelesaikan masalah ini, tapi saya akan bicara dengan kementerian terkait. Mudah-mudahan kita bisa terus berupaya keras untuk memperbaiki dan mengatasi ini dengan lebih baik," ucapnya.
Hal tersebut dilakukan agar PMI yang dielu-elukan sebagai pahlawan devisa bagi negara justru tak mendapatkan hak, terutama perlindungan serta rasa aman dan nyaman.
"Kami berkomitmen bahwa negara harus hadir untuk melindungi mereka. Saya berharap, Deputi IV Kemenko PMK nanti bisa memberikan data masalah apa saja yang masih harus kita urai dan selesaikan satu persatu sehingga hak PMI terpenuhi secara baik," tutur Muhadjir.
Berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hanya 25% dari total buruh migran yang diberangkatkan agen resmi. Pemalsuan dokumen, seperti KTP, paspor, dan buku pelayar umum, banyak dialami para korban perdagangan orang ini.
Pemalsuan sertifikat pelaut yang diungkap Polda Metro Jaya pada Juni membuktikan hal itu. “Pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara pelaku TPPO (tindak pidana perdagangan orang) mempermudah para korban dipekerjakan,” ujar Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi, dalam keterangan tertulis, beberapa waktu lalu.
Sejak 2016 hingga Juni 2020, sebanyak 288 PMI korban TPPO mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK. Sebanyak 153 di antaranya adalah perempuan dan 10 lainnya masih anak-anak.