Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, menerima kunjungan para dokter dari Forum Dokter Susah Praktik, di Kantor Menkumham, Jakarta, Rabu (27/7). Dalam kunjungan tersebut, para dokter Indonesia yang mayoritas lulusan luar negeri itu mengeluhkan sulitnya mendapat izin praktik di Indonesia.
Yasonna mengaku prihatin terhadap kondisi tersebut. Ia menyebut pihaknya kerap mendapatkan informasi soal banyaknya putra-putri lulusan studi kedokteran di luar negeri yang sulit untuk berpraktik di Indonesia.
Akibatnya, mereka pun menjadi dokter di luar negeri, termasuk di Malaysia dan Singapura.
“Ini sangat memprihatinkan. Di saat kita kekurangan dokter, tetapi putra-putri Indonesia lulusan luar negeri sulit mendapat izin praktik di Indonesia. Padahal ada dokter spesialis, dan dokter subspesialis,” ujar Yasonna.
Tak hanya itu, menurut Yasonna, terdapat dua juta masyarakat yang berobat ke luar negeri setiap tahunnya. Yasonna menilai, Indonesia mencatatkan kehilangan devisa triliunan rupiah akibat hal tersebut.
“Uang triliunan rupiah dihabiskan orang Indonesia untuk berangkat berobat ke Penang, Malaka, Singapura, dan lainnya. Di sana ada dokter-dokter orang Indonesia juga,” pungkas Yasonna.
Yasonna menyatakan, pihaknya akan memperjuangkan aspirasi para dokter tersebut dalam revisi UU tentang Praktik Kedokteran. Revisi UU tentang Praktik Kedokteran dinilai penting sebagai upaya penguatan sistem kedokteran, agar dapat memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat.
Pada kunjungan tersebut, penasihat Forum Dokter Susah Praktik, Judilherry Justam, mengungkapkan, penyebab sulitnya lulusan studi kedokteran luar negeri untuk mendapatkan izin praktik setelah kembali ke Indonesia.
Salah satunya, adalah karena terlalu besarnya kewenangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia menilai, keberadaan IDI yang merupakan organisasi swasta namun tercantum dalam undang-undang adalah hal yang tidak lazim.
“Adanya organisasi swasta di dalam undang-undang itu enggak lazim, sehingga dia memiliki kewenangan monopoli. Monopolinya dua, rekomendasi izin praktik, dan surat rekomendasi itu diberikan kolegium yang dibentuk IDI. Ini keliru,” ujar Judilherry.
Judilherry yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat IDI pada 2012-2015 itu mengungkapkan, monopoli terjadi sebab syarat untuk mendapatkan izin praktik menjadi kewenangan IDI.
“Ini kan ada monopoli, karena untuk mengadakan praktik harus ada rekomendasi IDI, jadi dokter Indonesia kalau mau praktik harus jadi anggota IDI, itu enggak ada ketentuanya di mana pun di dunia,” terangnya.
Sulitnya mendapatkan izin praktik diungkapkan salah satu perwakilan Forum Dokter Susah Praktik, Rulando Putra Augustyn.
Rulando yang telah merampungkan studi kedokterannya di Rusia dan kembali ke Indonesia sekitar satu tahun lalu tersebut, belum juga mendapat izin praktik sebagai dokter di Indonesia. Akibatnya, saat ini Rulando mengaku bekerja di perusahaan asuransi.
“Saya tidak praktik, sekarang saya bekerja di bidang asuransi. Kenapa saya memilih jalur itu, karena saya punya keluarga dan butuh untuk membiayai hidup, untuk bisa mandiri,” ungkap Rulando.
Sementara, imbuh Rulando, rekan-rekannya sesama dokter lulusan luar negeri turut mengeluhkan prosedur dan tingginya biaya untuk mendapatkan izin praktik di Indonesia. Sehingga, mereka memutuskan kembali ke negara tempat mereka menempuh studi agar bisa praktik sebagai dokter.
Oleh sebab itu, Rulando dan rekan-rekannya berharap pemerintah Indonesia memperjuangkan aspirasi para dokter melalui revisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
“Ilmu saya rasa sama, profesi kita ini dibutuhkan banyak orang, semua butuh kesehatan,” ungkap Rulando.