Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir, meminta masyarakat tidak membenci rencana pemerintah menghadirkan rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi di Indonesia. Menurutnya, kebijakan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan peringkat universitas di Indonesia di kelas dunia.
"Kepada seluruh rakyat Indonesia, masalah rektor asing, guru besar, atau dosen asing, di semua negara menjadi hal yang biasa. Bukan hal aneh, dan ini untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia kita supaya ada kompetisi, daya saing. Kalau kita tidak mengkompetisikan diri di tingkat dunia, mana mungkin kita akan menjadi perguruan tinggi kelas dunia," kata Menteri Nasir kepada wartawan di Gedung Ristekdikti, Jakarta, Jumat (2/8).
Menurut Nasir, pihaknya akan membicarakan hal ini dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Koordinasi dengan DPR akan membedah plus-minus kebijakan ini.
Nasir menjelaskan, wacana impor rektor asing sudah muncul sejak 2016, namun telah menuai pro dan kontra di masyarakat. Pada 2019, rencana ini baru mendapat persetujuan dari Presiden Jokowi.
"Saya bicara ini sudah 2016 tapi karena mereka mem-bully saya habis-habisan, ya saya stop dulu lah, wah ini perlu di-challenge kembali nih, saya lebih keras lagi," ujarnya.
Bagi dia, kebijakan ini dapat menjadi jalan keluar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. "Saya hanya ingin Indonesia punya perguruan tinggi yang masuk 200 besar dunia," ucapnya.
Nasir menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki 292.000 dosen. Jumlah tersebut menurutnya membuat Indonesia menjadi negara yang memiliki dosen terbanyak di Asia Tenggara.
Hanya saja, para dosen Indonesia tidak memiliki produktivitas yang terlalu membanggakan. Kompetisi dengan dosen dan rektor asing, menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas mereka.
"Persaingan harus kita datangkan, kita ciptakan, kalau tidak diciptakan, tidak ada kompetisi. Kalau tidak ada kompetisi, tidak bisa meningkatkan daya saing," ujarnya.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mempertanyakan rencana ini. Menurutnya, kebijakan tersebut menunjukkan Menteri Nasir tak punya konsep untuk mengelola dan memajukan pendidikan tinggi.
"Untuk mengembangkan dan memajukan perguruan tinggi di Indonesia, jangan ujug-ujug mengundang orang asing untuk menjadi rektor di perguruan tinggi negeri di Indonesia, tapi konsep pembangunan dan pengembangannya yang harus disiapkan. Saya tanya kepada menterinya, apakah punya konsep untuk mengembangkan dan memajukan pendidikan tinggi menjadi berkelas dunia," katanya lagi.
Fahri menegaskan, para pakar dan ilmuwan Indonesia pun memiliki kemampuan menjadi rektor di kampus kelas dunia. Hanya saja, mereka tidak memiliki kesempatan untuk itu.
"Bukan orang Indonesia atau orang asing yang menjadi rektor, tapi konsep pengembangan pendidikan perguruan tinggi yang perlu diperbaiki. Ini yang saya tanyakan kepada menterinya, ada enggak?" kata Fahri.
Sejumlah dosen dan rektor Indonesia juga mempertanyakan kebijakan ini. Menurut mereka, impor rektor asing tidak menyentuh akar masalah yang menjadikan perguruan tinggi Indonesia tak masuk dalam daftar kampus terbaik dunia.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, tenaga pendidikan universitas di Indonesia selama ini tidak mendapatkan dukungan berkualitas untuk mengeluarkan hasil yang diharapkan.
Rektor UI Muhammad Anies mengatakan, dosen dan rektor Indonesia memiliki kualitas yang tak kalah saing dengan tenaga pendidik luar negeri. Senada dengan Hikmahanto, dia menyebut kendala selama ini adalah pendanaan yang disediakan untuk mendukung keperluan perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitasnya.
“Kalau dari kompetensi kita mampu, buktinya saya pernah membuktikan waktu saya sekolah di Inggris dulu. Bahkan saya mengalahkan orang-orang yang dari Inggris-nya sendiri. Secara kapasitas, kompetensi kita bisa,” katanya.
“Kalau berani, kita melakukan benchmark berapa biaya-biaya yang dibutuhkan dan dana yang tersedia untuk perguruan tinggi di dalam negeri, dengan perguruan tinggi negara tetangga kita saja Malaysia, coba aja dicek. Jauh berbeda bumi dan langit biayanya,” ucapnya. (Ant)