Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise mencurigai adanya peran mafia dalam kasus human trafficking. Hal tersebut diungkapkannya, lantaran hingga sekarang kasus tersebut belum dapat ditangani secara optimal.
Menurut Yohana, mafia yang turut andil bukan hanya mafia skala internasional, melainkan nasional. Para mafia tersebut, dikatakannya, kerap kali merekayasa data pribadinya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).
"Misal dengan memanipulasi umur. Sebab, rekayasa data di KTP bisa terjadi karena ada uang yang dijanjikan," tegas Yohana dalam diskusi di kantor KPAI, Selasa (9/7).
Bagi Yohana, semuanya seperti telah terorganisir dengan sangat rapi. Hal tersebut membuat para stakeholder, lembaga, kedutaan, kementerian terkait kesulitan untuk menangkalnya.
Hal yang paling parah, sambung Yohana, banyak elemen yang bermain. Elemen-elemen tersebut bukan hanya sekadar masyarakat biasa, melainkan para pejabat negara.
"Belum ada kesadaran dari masyarakat kita Indonesia untuk menyelamatkan warga negara kita Indonesia, khusus perempuan masih jadi korban. Sekarang sudah pada anak-anak," tegas Yohana.
Ia mendorong agar pemerintah khusunya menteri PPPA selanjutnya agar tetap konsisten untuk menangani masalah perdagangan manusia ini. Bagi Yohana, kesadaran masyarakat akan hal ini perlu ditingkatkan oleh pemerintah.
Masih banyak masyarakat, disebutkan Yohana yang menjadi korban human trafficking. Sebagai contoh beberapa masyarakat yang ia data saat ditemukannya di Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Dubai.
"Ternyata paling banyak, ratusan perempuan-perempuan Indonesia, saya bisa catat itu kebanyakan mereka dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB. Lima wilayah ini paling besar sekali di luar negeri," kata Yohana.
Ia juga mengingatkan kepada orang tua untuk berhati-hati dengan orang asing. Dikatakan Yohana, tidak jarang para wisatawan asing lah yang melakukan tindakan trafficking. Sebagai contoh pada kasus buronan dari Australia yang kedapatan di Bali.
Yohana membeberkan, awalnya para orang tua mempercayai buronan tersebut ketika anak-anak mereka diajak untuk belajar bahasa Inggris. Tidak ada pikiran buruk seidikit pun, yang ada hanya harapan bahwa anaknya dapat belajar bahasa Inggris dengan baik.
"Nah, berdasarkan kepala dinas di sana (Bali) melaporkan bahwa banyak turis yang menganggap dirinya seperti guru. Dan mereka mengajak siswa-siswa SMP SMA yang baru pulang sekolah untuk mampir di rumahnya untuk belajar bahasa Inggris. Namun pada saat mengajar bahasa Inggris itulah terjadi pelecehan seksual, tindak pidana perdagangan orang ini terjadi. Ketika kami mendapatlan laporan, langsung diproses dan ditangkap," papar dia.
Berangkat dari hal tersebut, di massa sisa jabatannya ini Yohana menyebut, pihaknya akan melakukan survei terkait masalah ini sehingga semuanya dapat terpetakan. Ia menegaskan, perlu adanya peningkatan pengawasan di tingkat Kabupaten/Kota untuk mencegah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atau human trafficking.
Modus operandi
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan, bahwa Indonesia telah menjadi sumber tempat transit dan penerima trafficking terbanyak. Kasus tersebut akan meningkat pada saat bulan-bulan tertentu akibat adanya lonjakan pariwisata.
Daerah-daerah yang berpotensi terjadinya trafficking yaitu seperti Medan, Jakarta dan Bali. Hal tersebut dikarenakan ketiganya merupakan tempat pariwisata terbesar yang berada di Indonesia.
Komisioner KPAI, Sitti Hikmawati menerangkan terdapat 12 modus human trafficking yang berada di Indonesia. Modus-modus tersebut di antaranya seperti pengiriman buruh migran perempuan, pengiriman Pembantu Rumah Tangga (PRT) domestik, eksploitasi seksual, perbudakan, pengantin pesanan, pekerja anak, pengambilan organ tubuh, adopsi anak, penghambaan, duta seni, budaya, bahasa, kerja paksa, serta penculikan anak atau remaja.
"Oknum-oknum yang melakukan modus ini adalah orang yang hebat karena memiliki kesabaran untuk menjadikan orang tersebut menjadi mangsanya," kata Sitti di kantor KPAI.
Biasanya, para oknum lebih dulu akan berusaha mengenal korban, khususnya pada anak-anak. Mereka yang akan menjadi korban biasanya diproses hingga enam bulan masa perkenalan mulai dari memahami ritme, keseharian anak, dan berusaha menjadi penolong ketika anak calon korban memiliki masalah.
Berangkat dari itu, agar masyarakat mengetahui modus tersebut, KPAI tengah mengupayakan dengan memberikan sosialisasi apa saja yang harus diwaspadai. Akan tetapi, dalam prosesnya KPAI memiliki keterbatasan dalam memberikan sosialisasi sehingga mereka akan memberikan apresiasi kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin membantu memberikan sosialisasi kepada para masyarakat.
"Kita tidak bisa lakukan semuanya. Kita masih memiliki keterbatasan. Oleh karena itu jika ada LSM-LSM yang juga bergerak dan mau membantu kita akan sangat ter-support," tegas dia.
Lebih lanjut, Sitti memaparkan tren human trafficking sudah sedikit menurun karena pengaduan yang didapat oleh KPAI cenderung menurun. Namun, ia tetap berharap para korban trafficking sudah mendapatkan solusi di tempat lain sehingga tidak perlu menyampaikan ke KPAI.
Berdasarkan laporan yang diterima oleh KPAI, daerah yang masih banyak melaporkan kasus ini adalah Jawa Barat. “Kalau yang lapor ke kami ini kan se-Indonesia, tapi berdasarkan temuan ini Jawa Barat tertinggi,” sambung dia.
Tidak menutup kemungkinan, sudah banyak anak-anak yang menjadi korban mengalami trauma. Oleh karena itu, ia juga mendorong agar Kementerian Kesehatan juga menyediakan program rehabilitasi secara optimal.
Pasalnya, KPAI hingga sekarang masih belum menangani untuk masalah itu. KPAI, dikatakan Sitti hanya menerima laporan dan menindaklanjuti berdasarkan laporan yang ada.