Koalisi Penyandang Disabilitas Antiaudism mendesak Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini meminta maaf atas ajakan berbicara seorang tunarungu. Peristiwa itu pun beredar dalam video yang viral di media sosial.
Aktivis Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi menyatakan, Risma seharusnya memahami bagaimana cara berkomunikasi dengan tunarungu.
“Kami menyampaikan dan mencantumkan dalam siaran pers untuk Bu Risma sebagai Mensos untuk meminta maaf atas yang disampaikan pada Hari Disabilitas Internasional secara umum, terutama kepada penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas tuli,” ujarnya dalam konferensi pers Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Anti Audism secara virtual, Jumat (3/12).
Dia berpandangan, sikap Risma bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, khususnya tentang hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi pada Pasal 24, dan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengakui, menerima, dan memfasilitasi komunikasi penyandang disabilitas dengan menggunakan cara tertentu termasuk Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) pada Pasal 122.
Aktivis tunarungu, Surya Sahetapy menambahkan, pada dasarnya tunarungu disebut disabilitas bukan karena keadaan fisiknya, melainkan perbedaan cara berkomunikasi. Oleh karenanya, hal itu seharusnya tidak menjadi suatu masalah.
“Kalau tunarungu berkumpul semuanya akan menggunakan bahasa isyarat dan itu tidak masalah, justru yang menjadi disabilitas adalah teman dengar yang berada di antara teman tuli,” ujar Surya seperti disarikan dari juru bahasa isyarat.
Dia menekankan perbedaan budaya dan lingkunganlah yang membuat tunarungu menjadi disabilitas.
Lebih lanjut dia menuturkan, tunarungu mendapatkan informasi dengan cara visual, yaitu menggunakan indera penglihatan (mata), sehingga cara berkomunikasi dengan bahasa isyarat seharusnya dihormati dan difasilitasi. Sebaliknya, Risma justru memaksa mereka berkomunikasi dengan cara yang salah.
Orang-orang tuli, katanya, juga memiliki karakteristik berbeda-beda yang membuat kebutuhan masing-masing begitu spesifik. Kebutuhan tersebut, tergantung pada kualitas pendengarannya, seperti tuli total atau semidengar.
Seorang tunarungu, Indira Girliana menyebutkan, sikap Risma sangat memukul para orang tuli. Padahal, dia banyak terlibat dalam perayaan Hari Disabilitas Internasional. Risma pun seharusnya mempelajari kebutuhan bahasa isyarat dan orang-orang tuli.
“Inklusifitas memang belum maksimal, kami ingin mensosialisasikan dan memberi pemahaman lebih banyak lagi,” katanya.