Selama hampir 40 tahun, industri kayu lapis Indonesia, telah turut memberi kontribusi positif bagi pembangunan nasional. Hanya saja, sebagai dampak dari Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF, pada awal 1998 kinerja industri kayu lapis mengalami kemunduran.
Tidak heran jika Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mengharapkan agar pemerintah mendorong kayu lapis kembali menjadi primadona ekspor. Tingginya biaya produksi akibat kenaikan harga kayu bulat, BBM, TDL, UMR, dan bahan-bahan pendukung lainnya, menjadi penyebab produk kayu lapis Indonesia kehilangan daya saing. Selain itu, pada industri kayu lapis harus menambah ekstra modal kerja hingga 50%. Ini sebagai akibat harus menanggung PPN atas kayu bulat yang proses restitusinya sulit dan memakan waktu yang lama.
"Setelah 20 tahun berlalu, industri kayu lapis masih belum bisa kembali ke masa keemasannya," ujar Ketua Akpindo Martias pada Munas ke-8 Akpindo, Senin (26/11) di salah satu hotel di bilangan Jakara Selatan.
Untuk itu, ada baiknya pemerintah segera menghapus PPN kayu bulat, karena kayu bulat belum mengalami penambahan nilai. Di sisi llain, sektor Hutan Tanaman Industri (HTI), tidak bisa berkembang karena tidak mendapat pendanaan pinjaman dari perbankan. Oleh karenanya dia meminta agar prasyarat dalam meminjamkan kredit pada perbankan, bisa dipermudah.
Kendati begitu, ternyata perkembangan industri kayu lapis cukup pesat di Pulau Jawa. Sekjen KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Bambang Hendroyono menyampaikan, jumlah produksi kayu lapis yang dihasilkan relatif seimbang antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
"Bahan baku yang digunakan di pabrik di Jawa sebagian besar atau sekitar 80% adalah kayu tanaman. Sebaliknya, bahan baku yang digunakan di pabrik kayu lapis di luar Pulau Jawa sekitar 85% adalah kayu alam," tuturnya.
Jika dilihat persebarannya, industri kayu lapis di luar Jawa seluruh kapasitas berjumlah 89 unit dan yang aktif berproduksi sebanyak 56 unit, dengan total produksi sebanyak 1,52 juta m3.
Di Pulau Jawa, industri kayu lapis dan veneer berjumlah 165 unit dan yang aktif berproduksi sebanyak 102 unit, dengan total produksi sebanyak 1,6 juta m3 kayu lapis.
Bahan baku yang digunakan secara nasional sebanyak 6.69 juta m3 dengan rincian kayu alam sebanyak 3,50 juta m3, kayu tanaman sebanyak 2,95 juta m3, dan kayu karet sebanyak 234.170 m3.
Untuk bahan baku yang digunakan di luar Pulau Jawa sebanyak 3,32 juta m3, terdiri dari kayu alam sebanyak 2,83 juta m3, kayu tanaman sebanyak 254 .343 m3, dan kayu karet sebanyak 229.711 m3.
Sementara itu, bahan baku yang digunakan di Pulau Jawa sebanyak 3,37 juta m3, terdiri dari kayu alam sebanyak 668.958 m3, kayu tanaman sebanyak 2,69 juta m3, dan kayu karet sebanyak 4.459 m3.
Selama enam tahun terkahir, eskpor panel kayu rata-rata sekitar US$2,35 miliar per tahun. Pada 2023, diperkirakan pasar kayu lapis sebesar US$75,2 miliar. "Nilai ekpsor ini seyogyanya dapat ditingkatkan untuk kayu lapis konstruksi," ujarnya.
Angka itu relatif berbeda dengan data yang dimiliki Akpindo. Berdasarkan perhitungan Akpindo, ekspor kayu kapis pada 2018 tinggal 3 juta m3, dengan nilai sekitar US$1,9 miliar. Dari sisi nilai, capaian itu 45% di bawah masa keemasannya sedangkan dari sisi volume turun 63%.
Lantas seperti apa strategi pemerintah untuk meningkatkan kinerja industri kayu lapis? Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, mengatakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di zaman sekarang, sudah tidak perlu lagi pohon yang besar untuk membuat kayu lapis.
Kayu lapis bisa dibuat dari bahan baku kayu karet untuk peremajaan. Kalaupun ingin mengembangkan kayu lapis di Indonesia bagian Timur, bisa menggunakan pohon kelapa sebagai bahan bakunya.
"Itu saja yang kami kerjakan, HTI dan HTR. Ini bukan industri yang investasinya milliaran dollar. Ini adalah industri yang bisa dicapai oleh banyak pengusaha," tegas Darmin.
Untuk persolan di perbankan, kata Darmin, itu hanya soal agunan atau tidak. Artinya hanya soal kesepakatan saja antara industri dan perbankan. "Ya kita bikin kesepakatan dengan OJK, sehingga bisa selesai dia. Tetapi sebelumnya selesaikan permasalahan HTI dulu. Potensinya ada di sana agar ekspor semakin meningkat," tukas Darmin.