Menwa di persimpangan zaman: Saatnya bubar jalan?
Dua belas hari setelah seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Gilang Endi Saputra, meninggal dunia usai mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar (diklatsar) Resimen Mahasiswa (Menwa) UNS, pada Jumat (5/11) kepolisian menetapkan dua tersangka. Dari hasil penyelidikan dan penyidikan kepolisian, dua tersangka diduga melakukan tindak kekerasan berlebihan kepada Gilang.
Sepak terjang Menwa UNS dinilai Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS, Zakky Musthofa Zuhud beberapa tahun belakangan memang merisaukan karena erat dengan praktik kekerasan.
Zakky menyebut, banyak alumni Menwa UNS dari angkatan terdahulu yang mengaku bahwa praktik kekerasan lazim terjadi saat diklatsar. Bahkan, bisa berlanjut sesudah resmi menjadi anggota.
“Ternyata pada 2008, 2013, dan tahun lalu (2020), polanya (kekerasannya) sama,” kata Zakky kepada Alinea.id, Rabu (3/11).
“Di tahun 2008, ada orang tua yang cerita kalau anaknya punya gangguan kesehatan yang cukup lama, setelah menjalani kegiatan Menwa.”
Meninggalnya Gilang ibarat fenomena gunung es. Sejak itu, banyak pihak yang buka mulut soal praktik kekerasan di lingkungan Menwa UNS. Banyak pula pihak yang mulai mempertanyakan proses diklatsar. Berdasarkan segala temuan tadi, Zakky mengatakan, BEM UNS mendesak kampus membubarkan Menwa karena dinilai sudah tak relevan lagi.
“Kami melihat, hal ini sudah harus disetop,” ujarnya.
Kasus kematian serupa menimpa seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) bernama Nailah Khalishah. Pada April 2021, Nailah diduga meninggal dunia usai mengikuti diklatsar Menwa di kampusnya. Zakky menegaskan, tindak tanduk Menwa di UNS bertolak belakang dengan semangat dunia akademis.
“Dunia akademis adalah proses untuk menjadi cendekiawan. Sementara Menwa sangat erat unsur militer,” ujar dia.
Ia menilai, kultur militer yang diadopsi Menwa sudah berlebihan. “Lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya,” tuturnya.
Lahir dari kebutuhan militer
Secara historis, Menwa memang terkait erat dengan militer. Menurut Raditya Christian Kusumabrata dalam skripsinya Resimen Mahasiswa sebagai Komponen Cadangan Pertahanan 1963-2000: Pembentukan Resimen Mahasswa Mahawarman (2011) di Universitas Indonesia (UI), Menwa lahir dalam kondisi keamanan negara yang tengah bergejolak.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Indonesia menghadapi pemberontakan DI/TII, konfrontasi dengan Malaysia, dan upaya merebut Irian Barat. Cikal-bakal Menwa hadir pada 1959. Ketika itu, Kodam III/Siliwangi menerapkan wajib latih militer bagi mahasiswa di Bandung. Mereka dipersiapkan untuk Operasi Pagar Betis menumpas gerombolan DI/TII di Jawa Barat.
Kemudian, pada 1962 Pangdam IV/Siliwangi menerbitkan keputusan penguasa perang tentang pembentukan resimen serbaguna mahasiswa. Lalu, pada 1963, Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan dan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan mengeluarkan surat keputusan bersama pembentukan Menwa di perguruan tinggi.
Setelah itu, pada 1964 Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/KASAB) AH Nasution menginstruksikan pembentukan Menwa di bawah koordinasi Komando Daerah Militer (Kodam). Seiring waktu, karena desakan berbagai pihak, pada 2000 Menwa diturunkan statusnya menjadi hanya kegiatan ekstrakulikuler mahasiswa di kampus, lepas dari Kodam.
Kasus kekerasan Menwa di UNS dan UMS itu bukan kali pertama terjadi. Raditya dalam skripsinya mencatat beberapa aksi kekerasan Menwa. Misalnya, pada Juli 1993 terjadi kericuhan antara Menwa Universitas Riau (Unri) dengan wartawan setempat.
Lalu, pada Agustus 1993, terjadi pemukulan oleh anggota Menwa kepada aktivis koran kampus di depan Universitas Katolik Soegijapranata dan di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang.
“Sebelumnya, ada penyanderaan dan interogasi yang dilakukan anggota Menwa terhadap rekan mahasiswa Undip yang menyebarkan selebaran berisi ajakan menghadiri sidang kasus golput di Pengadilan Negeri Semarang,” tulis Raditya.
Pada November 1988, usai upacara bendera peringatan Hari Pahlawan di Universitas Trisakti (Unsakti), Jakarta, ratusan mahasiswa Fakultas Teknik Industri terlibat adu jotos dengan anggota Menwa kampus tersebut.
“Anggota Menwa pada berlagak. Mereka sok merasa jagoan, terutama kalau sedang berpakaian seragam,” kata seorang mahasiswa Unsakti, dikutip dari Tempo, 19 November 1988, dalam artikel berjudul ”Mahasiswa Berseragam yang Berlagak”.
Menurut Tempo, akhir Oktober 1988 dua mahasiswa Politeknik Jawa Dwipa, Semarang diinterogasi dan digebuki tujuh anggota Menwa. Lalu, pada April 1988, dua anggota Menwa UNS menggebuk seorang dosen.
Wacana pembubaran Menwa pun membucah kembali usai kasus kematian Gilang. Namun, Komandan Menwa Jayakarta, Raden Umar tak sepakat organisasinya dibubarkan. Umar memandang, keberasaan Menwa sangat penting untuk menyalurkan minat dan bakat mahasiswa dalam bidang kemiliteran.
“Intinya, Menwa itu tetap harus ada di kampus-kampus,” ucap Umar saat dihubungi, Rabu (3/11).
“Dalam rangka menyalurkan aspirasi anak-anak untuk dididik, dilatih nasionalisme, dan kedisiplinan kepada mereka.”
Ia mengatakan, Menwa juga tak jarang berperan dalam membantu masyarakat ketika terjadi bencana alam. “Seperti dulu saat tsunami di Aceh dan gempa di Palu,” ucap Umar.
Umar menilai, persoalan hukum yang sedang membelit anggota Menwa UNS seharusnya diselesaikan dengan perbaikan dan pembinaan, bukan pembubaran organisasi.
“Sebab, banyak juga organisasi kemahasiswaan atau di luar organisasi kemahasiswaan yang pernah mengalami musibah yang sama,” katanya.
“Tapi, bukan lembaganya harus dibubarkan. Pola pendidikan dan pelatihannya yang perlu diperbaiki.”
Meski begitu, Umar sepakat proses hukum oknum Menwa yang mengakibatkan Gilang meninggal harus diusut tuntas. “Tapi Menwa jangan dibubarkan,” katanya lagi.
Masihkah relevan?
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Nasional (Unas) Zainul Djumadin mengaku, sejak 1997 Menwa di kampusnya sudah bubar jalan.
“Waktu menjelang reformasi, ada demonstrasi mahasiswa antidwifungsi ABRI. Menwa kita mendapat kecaman dari mahasiswa,” ujar Zainul, Kamis (4/11).
“Anak-anak mulai menolak karena melihat Menwa ini salah satu bentuk dwifungsi ABRI.”
Menurutnya, Menwa tak cocok dengan kultur aktivisme mahasiswa di Unas. Hal itu yang menyebabkan hingga kini, kata Zainul, Menwa di Unas tak dapat bisa tumbuh karena mahasiswa masih menolak keras simbol militerisme.
Kendati demikian, Zainul kurang sepakat bila Menwa dihapus di semua kampus. Alasannya, ia melihat, Menwa masih relevan di kampus lain sebagai saluran bela negara dan perangkat pengabdian masyarakat.
“Tinggal yang penting terkontrol. Toh untuk membantu kampus juga,” ucap Zainul.
Senada dengan Zainul, Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dikti Ristek) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbu Ristek) Nizam juga tak setuju Menwa dihapus dari kampus. Ia memandang, permasalahan organisasi tak mesti harus membubarkan organisasi.
“Untuk mengambil kebijakan lebih lanjut tentu harus dilakukan kajian. Manfaat dan mudarat programnya seperti apa,” kata Nizam, Kamis (4/11).
“Kalau ada yang belum baik, ya dilakukan perbaikan. Jangan sampai karena seekor tikus, lumbung dibakar.”
Ia menuturkan, bakal membuka laporan bagi setiap kampus yang Menwa-nya bermasalah. Masukan dari kampus-kampus itu akan menjadi dasar untuk mengambil kebijakan secara nasional.
Lebih lanjut, Nizam menyebut, Kemendikbud Ristek sudah berkomitmen menghapus tiga dosa besar kampus, yakni kekerasan, pelecehan seksual, dan intoleransi. Ia mengatakan, bakal memberikan sanksi kepada kampus yang melakukan tiga dosa besar itu.
"Sudah ada aturan tentang sanksi dan pembinaan atas pelanggaran yang terjadi di perguruan tinggi," ucap Nizam.
Perkara Menwa UNS Solo, Nizam mengaku sudah memerintahkan pimpinan kampus itu untuk melakukan evaluasi. “Kalau ada kelalaian apalagi kesengajaan, harus diambil tindakan yang tegas, sesuai dengan aturan,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute—lembaga swadaya masyarakat yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia—Halili Hasan mengatakan, sudah seharusnya Menwa terhapus dari kampus.
“Dugaan kekerasan sebagai penyebab kematian dalam diklatsar merupakan alasan yang lebih dari cukup,” kata Halili, Kamis (4/11).
“Kultur militeristik tidak relevan dengan iklim demokrasi Indonesia yang lebih terbuka.”
Halili menilai, Kemendikbud Ristek perlu mengambil langkah evaluasi keberadaan Menwa di perguruan tinggi. Sebab, kejadian nahas di UNS Solo, kata dia, bukan yang pertama terjadi. Ia mengatakan, dunia pendidikan harus bebas dari tindak kekerasan.
“Apa yang terjadi di UNS tidak tunggal. Instrumentasi kekerasan banyak juga dilakukan oleh Menwa-Menwa di kampus lain,” katanya.
Kemudian, menurut Halili, evaluasi mesti pula dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Ia menduga, sangat mungkin kultur militeristik berlangsung juga sejak pendidikan dasar dan menengah. Ia pun menegaskan, Menwa sudah tak cocok tumbuh di lingkungan mahasiswa zaman kekinian.
“Milenial itu sudah membawa kultur baru yang lebih inovatif. Kaderisasi di ormawa (organisasi mahasiswa) juga harus menyesuaikan dong,” ucap Halili.