Menyelamatkan nyawa pasien Covid-19 lewat terapi plasma darah
Asri Yusrina—istri seorang penyintas Covid-19—mengaku linglung ketika sang suami masih menjalani perawatan di ruang unit perawatan intensif RSUD Pasar Minggu, Jakarta Selatan selama seminggu, 22-31 Desember 2020. Sepekan itu, kondisi suaminya tak kunjung membaik. Kadar oksigen di dalam darah masih di bawah 90%.
Dokter lalu menyarankan agar suaminya menjalani terapi oksigen berkadar tinggi, serta pendampingan fisioterapi untuk melatih pernapasan secara mandiri karena sang suami memiliki penyakit penyerta. Sayangnya, dua metode itu belum berhasil mengangkat saturasi oksigen dalam tubuh suaminya.
“Dokter lalu menganjurkan memakai terapi plasma konvalesen (darah). Kami sekeluarga setuju karena enggak ada salahnya juga mencoba,” ucap Asri saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (11/1).
Asri menyetujui terapi plasma darah, setelah mendapat informasi pasien lain yang membaik usai menjalani terapi itu. Dengan sigap, ia dan kerabatnya mengumumkan kebutuhan donor plasma melalui jejaring pertemanan di WhatsApp. Sekitar seminggu, ia baru mendapatkan lima orang calon pendonor plasma yang difasilitasi Unit Transfusi Darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat.
Singkat cerita, suaminya mendapatkan tiga kantong plasma darah hasil donor. Kondisi fisik suaminya pun berangsur pulih berkat terapi plasma darah itu. Sejak Rabu (6/1), suaminya sudah bisa duduk dan dipindah ke ruang rawat inap biasa.
“Sudah bisa komunikasi dua arah dan sudah memegang handphone. Tapi fisiknya belum mengikuti (membaik total), belum bisa berjalan,” kata Asri.
Muhammad Fitrah Akbar merupakan salah seorang penyintas Covid-19 yang mendonorkan plasma darahnya kepada pasien Covid-19 yang membutuhkan. Fitrah, yang pernah dirawat selama 20 hari di rumah sakit rujukan Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur itu memiliki kesadaran mendonorkan plasma darahnya usai disarankan beberapa kawannya sesama alumni SMA Negeri 5 Surabaya.
Pria berusia 34 tahun itu mendonorkan plasma darah dengan datang ke UTD PMI Surabaya. Hal itu dilakukannya untuk membuktikan kelayakan antibodi dalam plasma darahnya sebagai terapi bagi pasien Covid-19.
“Orang yang selamat dari Covid-19 itu biasanya lebih kuat antibodinya untuk melawan virus Corona,” katanya saat dihubungi, Selasa (12/1).
Saling bantu sediakan plasma darah
Terapi plasma konvalesen atau darah dipercaya menjadi salah satu pengobatan yang mujarab bagi pasien Covid-19. Terapi ini memanfaatkan antibodi yang ada di dalam plasma darah dari penyintas Covid-19, lalu disuntikkan ke tubuh pasien yang terinfeksi Covid-19. Antibodi yang sudah terbentuk dari penyintas yang mendonorkan plasma darahnya itu diharapkan bisa melawan virus di tubuh pasien yang terpapar.
Saat ini, pemerintah pun tengah menyiapkan bank donor plasma konvalesen. Menurut juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, ketersediaan plasma darah yang memadai sangat dibutuhkan demi memungkinkan terapi plasma konvalesen, terutama untuk pasien Covid-19 bergejala berat dan kritis.
“Sejauh ini, yang dilibatkan ialah PMI dan Kementerian Kesehatan. Saat ini sedang mencoba membangun sistem yang kuat dan terintegrasi,” ujarnya saat dihubungi, Senin (11/1).
“Kami berusaha mengajak dan menjaring donor dari penyintas sebaik mungkin melalui sistem yang matang.”
Kepala UTD PMI Pusat Ria Syafitri menjelaskan beberapa syarat pendonor plasma darah. Dalam proses transfusi darah, kata dia, plasma yang diperoleh dari penyintas Covid-19 harus terbukti punya antibodi terhadap virus dalam kadar cukup.
“Kadarnya sekitar 400 milimeter lewat metode plasmapheresis, yaitu hanya mengambil plasma dari sel darah merah,” kata Ria ketika dihubungi, Selasa (12/1).
Di samping itu, pendonor harus berusia antara 17-60 tahun, sudah menjalani isolasi mandiri minimal 14 hari setelah dinyatakan sembuh, belum pernah menerima transfusi darah, tidak sedang sakit, dan bebas penyakit menular.
Sejauh ini PMI bergerak mencari kantong-kantong plasma darah sesuai kebutuhan atau permintaan rumah sakit. Ria mengatakan, perlu ada sistem penyokong untuk menjamin ketersediaan pasokan plasma.
Di sisi lain, makin banyak warga yang peduli terhadap ketersediaan plasma darah bagi pasien Covid-19. Misalnya, gerakan Sambatan Jogja (Sonjo) yang diinisiasi pengajar Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo.
Salah satu program Sonjo dinamakan Sonjo Husada Kovalesen (Sohibkoe), yang bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta untuk menggalang ketersediaan plasma konvalesen.
Program yang diluncurkan pada 27 Desember 2020 ini dijalankan dengan memanfaatkan grup WhatsApp sebagai pusat informasi bagi warga yang ingin donor dan membutuhkan plasma darah.
“Sampai hari ini, jumlah anggota di grup WA sekitar 170-180 orang,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (13/1).
Rimawan mengatakan, inisiatif membuat gerakan ini didasari keprihatinan bersama dalam menangani kebutuhan pasien Covid-19. Hingga Senin (11/1), jumlah calon pendonor yang mendaftarkan diri dalam Sohibkoe sebanyak 55 orang. Para calon pendonor ini kemudian di arahkan untuk menjalani tes kesehatan di RSUP Dr. Sardjito, yang dimanfaatkan sebagai bank donor plasma.
Sejumlah tenaga kesehatan di RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang, Jawa Timur juga mendirikan Komunitas Pendonor Plasma Konvalesen. Penggagasnya adalah dokter Ariani. Ia terusik dengan kondisi tingginya permintaan donor plasma darah yang tak berimbang dengan ketersediaan pendonor.
“Kalau sudah ada komunitasnya kan gampang. Kita mengontak mereka untuk memenuhi kebutuhan pasien sewaktu-waktu,” kata Ariani saat dihubungi, Rabu (13/1).
Selain melalui WhatsApp, komunitas ini bergerak di media sosial Twitter. Peran komunitas ini lantas berkembang untuk memasangkan antara pasien yang membutuhkan dan calon pendonor plasma.
“Kami sesuaikan dengan lokasi dan golongan darahnya. Kami carikan pendonor,” ucapnya.
Pihaknya menyaring orang dengan riwayat sembuh dari Covid-19 gejala sedang dan berat. Antibodi plasma darah penyintas yang bisa dipakai untuk terapi, kata Ariani, memiliki batas maksimal tiga bulan dari hasil tes swab negatif.
“Jika lebih dari tiga bulan sudah tidak ada antibodinya. Apalagi penyintas yang isolasi mandiri dan OTG (orang tanpa gejala), maka sebulan kemudian sudah enggak ada antibodinya,” katanya.
Pasien Covid-19 yang layak menerima donor plasma diharuskan menunjukkan surat rekomendasi dari dokter. Karena tingginya permintaan, Ariani dan koleganya merasa kewalahan. Mereka lantas menjalankan mekanisme penyaluran informasi permintaan donor kepada UTD PMI di Malang dan kota lainnya.
Tantangan dan hambatan
Ariani menegaskan, terapi plasma konvalesen masih dalam proses pengujian. Ia mengakui, hingga kini belum ada standar baku pelaksanaan terapi plasma untuk penyembuhan pasien Covid-19.
Persediaan plasma darah di fasilitas pelayanan kesehatan, diakui Ariani, juga selalu terbatas. Menurut dia, penyebabnya masih sedikit pendonor yang mau datang ke PMI atau unit transfusi darah lainnya. Selain itu, katanya, tak semua pendonor lolos pengujian kelayakan untuk menyumbangkan plasma darahnya.
“Banyak yang berdonor, tetapi kadar antibodinya tidak memenuhi kriteria. Ada yang terlalu rendah sehingga tidak bisa didonorkan,” ujarnya.
Ariani menyarankan agar koordinasi PMI dengan rumah sakit rujukan Covid-19 perlu lebih diaktifkan. Hal ini penting segera dilakukan, mengingat permintaan plasma darah terus bertambah. Selain itu, upaya menghimpun data para penyintas Covid-19 juga perlu dilakukan. Ia pun menilai, sistem pemenuhan stok plasma konvalesen di PMI belum terpusat secara nasional dan tak dapat diakses secara daring.
“Selama ini basis data donor darah masih dikelola sebatas di unit PMI masing-masing wilayah,” kata dia.
Sementara itu, ahli kesehatan masyarakat dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sekaligus epidemiolog University of Derby Dono Widiatmoko mengkritik kelemahan sistem koordinasi nasional untuk stok dan distribusi plasma darah.
Idealnya, menurut Dono, dibutuhkan basis data terpusat untuk mengelola kebutuhan dan ketersediaan donor darah yang reguler dan yang spesifik, termasuk untuk terapi plasma konvalesen.
“Alokasi darah diberikan pada siapa yang lebih membutuhkan, bukannya siapa yang mampu membayar atau siapa yang lebih populer,” kata dia saat dihubungi, Kamis (14/1).
“Begitu pun alokasi ideal donor plasma, ditujukan pada mereka yang paling merasakan gunanya, yaitu mereka yang potensial dan responsif dengan terapi ini.”
Ia membandingkan penerapan bank donor darah di negara maju untuk kepentingan transplantasi. Di negara maju, kata dia, alokasi organ dari pendonor benar-benar dipastikan peruntukannya bagi pihak yang paling membutuhkan. Ia menilai, upaya membangun sistem ini membutuhkan proses cukup rumit.
“Setahu saya di Kemenkes beberapa tahun lalu sudah mulai ada proses diskusi seperti ini, dan sudah ada tim yang dibentuk. Tetapi proses masih panjang,” katanya.