Jalan sunyi merawat arsip dan koleksi di tengah deru revitalisasi TIM
Ruangan berukuran sekitar 10 x 5 meter di lantai tiga Gedung Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat itu, sejatinya adalah tempat seniman berdandan, sewaktu akan tampil dalam pertunjukan.
Namun, sudah sejak pertengahan Januari 2020, ruangan itu disulap menjadi tempat penampungan sementara ribuan arsip koleksi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Di sini juga dijadikan kantor sementara DKJ. Di tengah polemik revitalisasi TIM, beberapa orang justru sibuk berkutat menata serta mendigitalisasi arsip dan koleksi berharga milik DKJ itu.
Salah seorang staf perpustakaan dan dokumentasi (pusdok) DKJ Tuti Handayani menunjukkan ratusan koleksi seni rupa di ruangan itu. Tuti mengatakan, ada sekitar 390-an karya seni rupa, berupa sketsa, lukisan, dan patung milik DKJ yang dihimpun sejak 1970-an. Di antara koleksi itu, ada patung kepala sastrawan Chairil Anwar, pelukis Zaini, dan komposer Ludwig van Beethoven.
Bergelut dengan arsip
Tuti bekerja sebagai staf pusdok DKJ sejak 2004. Ia bertugas mendata dan menghitung kembali koleksi seni rupa dan arsip dokumentasi lainnya, seperti naskah drama, rekaman kaset, foto, dan audio visual.
Pada 2004, Tuti bersama seorang rekannya mendata ulang koleksi seni rupa milik DKJ. Saat itu, koleksi lukisan disimpan dengan digantung di ruangan yang disekat, dikelompokkan jenis karya berdasarkan ukuran. Lalu, pada 2006 karena ada perubahan desain kantor DKJ, perawatan koleksi lukisan tak lagi digantung.
“Hanya ditaruh di satu gudang khusus,” ucapnya saat berbincang dengan reporter Alinea.id di Gedung Teater Jakarta, TIM, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).
Sejak itulah, menurut Tuti, pendataan karya koleksi seni rupa menjadi kurang tertata. Sebelum 2006, kata dia, data koleksi seni rupa tersimpan lengkap dan rapi. Namun, kemudian koleksi itu bertumpukan dengan ratusan karya seni rupa lain koleksi unit pengelola TIM.
Kondisi karya lukis pun sebagian mulai tidak terawat. Hal itu diketahui Tuti setelah beberapa kali tim dari Galeri Nasional Indonesia mengecek kondisi koleksi itu. Beberapa tahun belakangan, kata Tuti, DKJ dan Galeri Nasional Indonesia bekerja sama untuk menggelar pameran koleksi seni rupa.
“Saat dicek ulang, ada cat lukisan yang terkelupas. Kami belum punya orang khusus untuk merawat dan merapikan kondisi arsip lukisan,” kata Tuti.
Sementara itu, arsip dan dokumentasi milik DKJ yang dihimpun sejak 1969 sedang dikelola dengan proses digitalisasi. Menurut supervisi arsip DKJ yang juga Pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Komite Teater, Adinda Luthvianti, pihaknya telah berupaya mengelola kembali arsip dan dokumentasi sejak 2011.
Sedangkan proses digitalisasi dilakukan sejak Oktober 2019. Ia mengatakan, pengelolaan arsip punya dua tujuan, yakni sebagai materi penciptaan karya seni dan sumber pengetahuan atau referensi bagi akademisi atau peneliti.
Keberadaan arsip dan dokumentasi ini, menurutnya, berperan penting dalam pengolahan program-program kesenian yang diselenggarakan DKJ di TIM.
“Hampir semua program di DKJ basisnya dari arsip,” kata Adinda ditemui di kantor DKJ, TIM, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).
Ia mencontohkan, dalam program Rawayan Award berupa sayembara penulisan naskah drama, Riyadhus Shalihin yang bergiat di Bandung Performing Arts Forum, mengolah materi arsip milik DKJ menjadi lakon.
“Naskah yang ditulisnya kini menjadi salah satu naskah yang sedang diterjemahkan di London, Inggris,” ucap Adinda.
Penyair asal Padang, Sumatera Barat, Esha Tegar Putra ikut terjun dalam digitalisasi arsip DKJ sejak beberapa bulan lalu. Ia menjelaskan, hingga akhir Februari 2020, bersama dua rekannya baru berhasil melakukan digitalisasi sekitar 8% dari seluruh isi boks arsip milik DKJ.
“Sudah ada sekitar 37.000-an arsip kertas yang kami digitalisasi. Arsip kertas ini meliputi kliping berita, buku program DKJ, makalah pembicara dalam diskusi seni, dan ulasan karya seniman,” ucap Esha saat ditemui di kantor DKJ, TIM, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).
Esha mengaku, sejak arsip-arsip itu dipindahkan ke Gedung Teater Jakarta, ia dan rekannya cukup kewalahan mengecek data yang jumlahnya ribuan.
“Saat kami memulai penelitian arsip ini, arsip sudah bertumpuk-tumpuk karena perpindahan itu. Akibatnya, saat akan mencari arsip dengan nama seniman tertentu, kami agak kerepotan,” tutur Esha yang menjadi ketua tim peneliti arsip DKJ.
“Lalu kami prioritaskan pertama, mendigitalisasi buku program DKJ sejak terbitan awal 1970.”
Selain arsip berbahan kertas, Esha juga mendigitalisasi rekaman suara berupa kaset pita. Sebagian kaset itu sudah dalam kondisi lapuk dan berjamur. Sebagian lainnya, ada yang pitanya terputus. Akibatnya, ketika akan didigitalisasi, beberapa kaset harus dibongkar dan dibersihkan karena susah untuk diputar.
Esha menuturkan, pita-pita kaset di bawah tahun 1975 tak sedikit yang putus. Pada beberapa kaset lama, ditemui pula kondisi roda pemutar kaset yang sudah patah.
“Maka setelah kami rekam untuk digitalisasi, pita kaset kami pindahkan ke wadah kaset lain yang roda pemutarnya masih baik. Kalau pita kaset putus, harus disambung dengan selotip bening,” katanya.
Untungnya, kaset di atas 1975 dan 1990-an kondisinya relatif masih baik. Proses digitalisasi dilakukan dengan alat standar rekaman berupa tape recorder kecil. Kabel suara disambungkan ke sebuah laptop, yang tengah menjalankan aplikasi pengalihan suara dalam format digital.
Merawat masa lalu
Menurut Esha, jumlah arsip DKJ yang mencapai ribuan menunjukkan betapa rajinnya kerja anggota DKJ di masa lalu dalam mendokumentasikan kegiatan. Ribuan arsip itu mencakup dokumentasi sastra, teater, film, musik, dan seni rupa.
Di dalam satu boks arsip, terdapat data seniman yang memuat catatan karya, kliping koran, makalah, dan ulasan pameran atau pertunjukan. Adinda menjelaskan, dahulu pengerjaan pengarsipan dirintis pengurus awal DKJ, seperti Ajip Rosidi dan Mochtar Lubis.
“Kerja pengarsipan mereka sangat bagus sekali,” kata Esha.
Ada banyak arsip berharga. Adinda mengatakan, salah satunya kaset rekaman diskusi “Metamorfosis dari Don Juan” yang diadakan di TIM dalam bahasa Prancis pada Desember 1974. Ada pula beberapa rekaman suara pembacaan puisi dan pertunjukan teater pada 1971-1974.
Rekaman suara pertunjukan sastrawan dan dramawan WS Rendra bersama Bengkel Teater dengan lakon “Perjuangan Suku Naga, Hamlet, dan Bip-Bop” merupakan satu di antaranya.
“Jangan-jangan anak sekarang tidak tahu bagaimana suara Rendra di panggung yang sangat karismatik dan menginspirasi banyak seniman,” ucap Adinda.
Adinda menambahkan, jika proses digitalisasi sudah rampung, koleksi arsip dan dokumentasi DKJ itu bisa diakses publik pada Maret atau April mendatang melalui situs web DKJ.
“Kami tentu saja harus berpikir keselamatan koleksi arsip dan dokumentasi DKJ. Karena ada alur penciptaan seni yang bisa dibaca, diakses generasi masa kini secara terus-menerus,” katanya.
“Arsip ini merupakan sumber pengetahuan yang harus dapat dibaca dan dirawat bersama-sama.”
Adinda menegaskan, dirinya dan anggota pelaksana tugas DKJ lain akan berfokus pada pembangunan ekosistem kota, melakukan edukasi, dan advokasi publik melalui penyelenggaraan berbagai program kesenian. Upaya itu, kata dia, selalu menyertakan pengolahan dan pemanfaatan arsip.
“Proses produksi pengetahuan bila hanya berdasarkan wacana yang berkembang saat ini, tanpa arsip dan data, akan ada proses berpikir yang terputus. Proses berpikir terputus ini perlu diatasi dengan membuka akses publik terhadap arsip,” ucapnya.
Kendala utama
Adinda tak ingin ambil pusing dengan sebagian pihak yang mendorong penghentian sementara proses revitalisasi TIM. Ia terus melanjutkan upaya penyelamatan arsip dan dokumentasi DKJ.
Arsip terkait karya seni rupa, kata dia, pendataannya yang berhasil baru mencakup informasi mengenai empat perupa.
“Itu juga perlu pembacaan periodisasinya karena belum lengkap dan komprehensif, belum termasuk data kesejarahannya,” ucapnya.
Di tengah usaha itu, Adinda mencemaskan penanganan koleksi seni rupa DKJ. Selain membutuhkan tempat khusus dengan suhu ruangan yang kompatibel, koleksi itu membutuhkan tenaga ahli restorasi dan sejarawan yang paham seni rupa.
“Koleksi seni rupa itu butuh ruangan dengan kondisi udara tertentu. Kami harus mengelola dengan kecemasan,” kata dia.
Belum lagi, pihaknya menghadapi dua kendala utama, yakni anggaran dan penyediaan peralatan pengarsipan yang mumpuni.
Menurut Adinda, dalam pertemuan anggota DKJ dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 17 Februari 2020, sudah disampaikan permintaan kebutuhan anggaran khusus untuk pengelolaan arsip. Dalam pertemuan itu, Anies sepakat dan berjanji mengalokasikan anggaran bagi pengelolaan arsip itu pada 2021.
Di sisi lain, Plt Sekretaris Jenderal DKJ sekaligus Ketua Komite Film Hikmat Darmawan mengatakan, dalam pertemuan itu belum disebutkan nominalnya karena masih belum lengkap hitungannya.
Yang lebih belum dihitung lagi, kata Hikmat, adalah preservasi dan penyimpanan koleksi lukisan DKJ dan TIM, yang totalnya lebih dari 600 lukisan.
“Usul kami, ada program valuasi, kalau perlu dari lembaga seni internasional seperti Southeby’s. Ini lukisan-lukisan penting, bisa jadi se-Asia Tenggara, untuk periode 1970-an hingga 1980-an,” kata Hikmat saat dihubungi, Senin (2/3).
Sementara itu, mantan anggota tim revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM, Arie Batubara mengatakan, pemeliharaan arsip dan dokumentasi DKJ adalah hal sekunder terkait program utama revitalisasi TIM.
“Soal revitalisasi TIM itu jauh lebih besar daripada urusan arsip. Arsip itu soal kecil, urusan teknis. Kalau revitalisasi TIM berjalan dengan benar, maka pengarsipan ini dengan sendirinya akan selesai,” kata Arie saat dihubungi, Kamis (27/2).
Ia pun menyanggah bahwa perhatian kerja pengarsipan di DKJ yang masih lemah. Arie menyebut, adanya perubahan desain kantor DKJ pada 2007 membuat usaha penyimpanan arsip agak terbengkalai.
“Pengarsipan itu sudah dari dulu ada, tetapi tidak pernah dikerjakan dengan benar dan serius. Bahkan, sebelum 2000-an lebih rapi, belakangan arsip itu berantakan,” kata mantan anggota Komite Teater DKJ itu.